Elara dan Perang Dua Zaman
![]() |
Baca Juga "Bayangan di Balik Waktu" |
BAB 1 – KEMBALI KE MASA DEPAN
Cahaya putih menyilaukan mengelilingi Elara. Tubuhnya terasa melayang, seolah dipeluk oleh angin dari segala arah. Tidak ada suara, tidak ada waktu. Hanya getaran aneh yang menusuk tulangnya, lalu... sunyi. Tiba-tiba ia jatuh keras ke permukaan logam dingin. Matanya terbelalak. Ia mengenali kota itu tapi semuanya salah. Terlalu terang, terlalu bersih, terlalu asing.
Langit di atasnya dipenuhi pesawat-pesawat tanpa awak yang melintas cepat seperti burung digital. Jalanan bersih, tapi sepi dari manusia. Mobil-mobil tanpa sopir berderet rapi, layar hologram menari-nari di udara, menyapa siapa saja yang lewat. Elara terduduk lemas. Ini bukan kota yang ia tinggalkan. Ini... dunia yang telah berubah.
Seorang wanita dalam seragam logam mendekat dengan wajah cemas, "Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?" Suaranya datar, terlalu sempurna. Matanya memindai Elara dari ujung rambut hingga kaki, lensa digital di matanya menyala. "Identitas tidak terdaftar dalam sistem."
"Aku... Elara," gumamnya bingung, berdiri pelan. "Aku dari sini. Tapi aku tidak tahu ini tahun berapa."
Wanita itu menyipitkan mata. "Tahun ini adalah 2055. Anda tidak mungkin berasal dari sistem lama. Anda... anomaly?"
Elara terdiam. Dua puluh tahun telah berlalu sejak tahun 2025, ketika ia terakhir kali ada di masanya. Ia telah menghabiskan waktu yang tak terhitung di Majapahit, dan kini kembali... ke masa depan yang lebih maju dari bayangannya.
Ia berjalan tertatih melintasi trotoar canggih yang menyala saat disentuh. Bangunan menjulang tinggi dengan desain seperti tumbuhan logam. Di layar besar, wajah seorang pemimpin disiarkan dengan suara otoritatif:
"Warga Dunia Satu, hari ini kita meluncurkan teknologi Satu Waktu untuk menyatukan dimensi sejarah. Masa depan dan masa lalu kini bisa dikendalikan."
"Teknologi lintas waktu..." bisik Elara. Itu tak mungkin. Atau apakah masa lalu yang ia datangi bukan kecelakaan? Apakah semua ini... telah direncanakan?
Seseorang membuntutinya dari kejauhan. Elara menyadari keanehan. Sosok berpakaian hitam dengan emblem berbentuk jam pasir terbalik berjalan cepat ke arahnya. "Elara," katanya pelan namun jelas. "Kami telah mencarimu."
"Siapa kalian?" Elara bersiap siaga. Tangannya masih ingat gerakan bela diri dari pelatih-pelatih Majapahit. Tapi lelaki itu mengangkat tangan, tanda damai. "Kami dari Waktu Ketiga. Kau kunci dari dua zaman. Tanpa dirimu, dunia ini akan runtuh."
Mata Elara menajam. "Aku tidak percaya siapa pun. Apalagi orang yang muncul tiba-tiba membawa kata-kata besar."
Orang itu tersenyum tipis. "Kau pikir semua yang terjadi padamu di Majapahit adalah kecelakaan? Kau pikir kau kembali karena takdir? Tidak. Itu desain. Dan kini waktunya kau tahu semuanya."
Lelaki itu menyerahkan sebuah tablet transparan. Di dalamnya, Elara melihat rekaman holografik: dirinya, di Majapahit, dari sudut pandang kamera. Bahkan ada adegan ia berdialog dengan Hayam Wuruk direkam dari kejauhan. "Kami memantau semuanya."
"Ini... mustahil," kata Elara pelan. Tapi hatinya membeku. Ia merasa dijebak. Setiap langkahnya, bahkan yang ia kira bagian dari sejarah... telah diawasi.
"Siapa yang memberimu izin mengawasi hidupku?"
"Kami tak pernah mengawasi," jawab lelaki itu. "Kami hanya menyelamatkan. Dunia kini berada di ambang kehancuran karena kekuatan yang kau bawa dari masa lalu yang telah dicuri."
Elara menghela napas berat. Dunia modern ternyata lebih menyesakkan dari kerajaan kuno. Di Majapahit, setidaknya, ada rasa hormat dan jiwa. Di sini... hanya bayangan data dan kendali.
Ia menatap cakrawala. Di kejauhan, sebuah menara menjulang dengan simbol Majapahit yang diputarbalikkan. "Baik," katanya. "Kalau memang aku kunci dari dua zaman, maka izinkan aku memilih pintunya."
BAB 2 – BAYANGAN LAMA DI DUNIA BARU
Langkah Elara bergema di lorong bawah tanah fasilitas Waktu Ketiga. Lampu neon redup menyinari dinding baja yang dipenuhi simbol misterius. Hawa dingin menelusup ke tulangnya, bukan karena suhu, tapi karena perasaan yang tak bisa dijelaskan seakan sejarah itu sendiri sedang memperhatikannya.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Elara, matanya menatap tajam ke arah sosok yang membawanya lelaki berjubah hitam bernama Kade.
"Kami ingin kau mencegah kehancuran dua zaman," jawab Kade tenang. "Ada celah waktu yang terbuka akibat teknologi yang tidak seharusnya digunakan. Seseorang dari masa lalu yang kau kenal telah mencuri potongan teknologi masa depan."
Elara mengernyit. "Siapa?"
Kade memutar layar holografik. Muncul wajah yang membuat darah Elara berdesir Mahesa, mantan prajurit Majapahit, sahabatnya... yang ia duga tewas dalam pertempuran terakhir.
"Tidak mungkin..." bisik Elara. "Mahesa... mati di hadapanku."
"Tidak," sahut Kade. "Ia diselamatkan oleh kekuatan tak dikenal, lalu dibawa ke masa ini. Tapi ia tidak lagi seperti dulu."
Gambar-gambar mulai bermunculan: Mahesa dengan tubuh bionik, mata menyala merah, memimpin pasukan robotik di reruntuhan kota. Ia menyerang pusat sejarah dunia: Perpustakaan Waktu.
"Dia mengambil Manuskrip Cahaya," kata Kade. "Sumber algoritma sejarah. Dengan itu, dia bisa menulis ulang masa lalu, atau menghancurkan masa depan."
Elara terdiam. Hatinya bergejolak. Mahesa... orang yang pernah bersumpah melindungi Majapahit bersamanya, kini menjadi ancaman lintas waktu?
"Kenapa dia melakukan ini?"
"Balas dendam," jawab suara dari sudut ruangan. Muncul seorang perempuan dengan tangan mekanik dan mata biru menyala. "Namaku Lyra. Aku pengendali waktu kelas Sigma. Aku pernah bertarung melawan Mahesa di Timur Jepang. Dia menganggap waktu telah mencuranginya."
Elara menatap Lyra. "Kalau kalian punya teknologi sehebat ini... kenapa tidak kalian hentikan sendiri?"
"Kami butuh seseorang yang terhubung dengan dua zaman," kata Lyra. "Kau satu-satunya yang pernah hidup dan bertahan di keduanya. Kau... adalah jembatannya."
Tiba-tiba alarm meraung. Seluruh ruangan berkedip merah. "Sistem waktu di Menara Historia diserang!" teriak teknisi di balik layar.
Gambar muncul: Mahesa, dengan jubah logam, memimpin pasukan drone. "Kita terlalu lambat!" seru Lyra.
Elara tak menunggu. Ia menyambar pakaian taktis dari dinding dan mengenakannya cepat. "Kalau ini perang lintas zaman... aku tak akan diam."
Kade menyerahkan senjata aneh berbentuk keris bercahaya biru. "Senjata ini... dibuat dari serpihan waktu yang kau bawa dari Majapahit. Itu hanya mengenali darahmu."
Begitu Elara menggenggamnya, keris itu menyala dan mengeluarkan gema suara gamelan. "Luar biasa..." gumamnya.
"Senjata ini bisa membuka celah waktu sementara. Tapi ingat, waktu adalah musuh dan teman. Gunakan dengan hati-hati."
Lyra membuka portal bundar di tengah ruangan. "Tujuan kita: Zona Reruntuhan Neo-Surabaya. Mahesa ada di sana."
Elara menatap cahaya portal itu. "Baik. Tapi jika aku bertemu Mahesa... aku ingin bicara dengannya dulu. Aku ingin tahu... apakah sahabatku masih ada di dalam sana."
Mereka melangkah ke dalam pusaran cahaya. Di ujung portal, waktu dan realitas berguncang. Elara menarik napas panjang. Ia tidak hanya kembali ke masa depan. Ia menuju perang dua zaman di mana masa lalu dan masa depan saling menyeret satu sama lain menuju kehancuran.
BAB 3 – NEO-SURABAYA TERBAKAR
Suara sirene meraung sepanjang langit kota Neo-Surabaya. Drone-drone penjaga bertabrakan di udara seperti kawanan burung besi yang panik. Elara berdiri di atas gedung setinggi seratus lantai, menatap ke bawah kota masa depan itu kini menjadi medan perang.
“Apa-apaan ini…” desis Elara. “Ini bukan cuma serangan… ini pembantaian terencana.”
Di bawahnya, pasukan Mahesa berjalan seperti monster mekanik. Tubuh mereka ditanam logam dan kabel, wajah manusia mereka hanya tersisa sedikit.
Lyra mendekat, nafasnya berat. “Dia menggunakan sisa-sisa teknologi Cakrawala Hitam. Sistem pengendali otak. Semua yang kau lihat… dulunya adalah manusia.”
Elara mengepalkan tinju. “Dia memperbudak mereka dengan teknologi.”
“Tepat. Dan mereka tak bisa diselamatkan dengan cara biasa,” ujar Kade yang muncul dengan pelindung holografik di tubuhnya. “Kalau kita ingin menghentikan Mahesa, kita harus memutuskan jaringan pusatnya. Di menara utama itu.” Ia menunjuk ke bangunan gelap menjulang di tengah kota, seperti tombak menusuk langit.
Elara mengangguk. “Kalau begitu kita masuk.”
“Bukan semudah itu,” Lyra menahan. “Menara itu dijaga. Dan Mahesa sudah tahu kita datang.”
“Bagus,” kata Elara. “Biar dia tahu. Aku ingin dia mendengarku.”
Tim menyusup ke jalur bawah kota. Terowongan itu sempit dan dipenuhi simbol-simbol kuno dari Majapahit hal yang membuat Elara tercekat. “Tunggu… ini…”
Lyra mengangguk. “Mahesa membangun kota ini di atas reruntuhan rahasia peninggalan Majapahit. Dia mencampur masa lalu dan masa depan untuk membangun kerajaannya sendiri.”
Elara menyentuh dinding. Terdapat ukiran Surya Majapahit, dan di bawahnya, nama-nama prajurit masa lalu. “Dia tidak lupa asalnya,” gumam Elara.
“Tidak, dia justru memutarbalikkan semuanya,” sahut Lyra tajam.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berlari cepat. Tiga sosok mekanik menerjang dari kegelapan tentara Bayangan.
“SERANG!!” teriak Kade.
Elara mencabut keris waktunya, cahaya biru menyala membelah kegelapan. Ia menebas satu musuh, lalu berbalik menusuk yang lain gerakannya lincah, menggabungkan silat kuno dan teknik bertarung modern.
“Aku nggak akan biarkan kalian rusak sejarah lagi!” teriak Elara sambil memutar tubuh, menghindari tembakan plasma.
Lyra menembakkan peluru waktu, peluru yang bisa menghentikan objek bergerak selama 3 detik. “Kita harus terus maju!”
Setelah pertarungan sengit, mereka tiba di lift menuju menara pusat. Di dalam, Elara menatap ke atas. Langit terbuka di ujung menara. Di sanalah Mahesa menunggu.
“Sudah siap?” tanya Lyra.
Elara menatapnya, matanya menyala. “Aku lahir dari dua zaman. Ini saatnya memutus benang kehancuran.”
Lift bergerak cepat. Di setiap lantai, kilatan masa lalu muncul seperti proyeksi memori. Elara melihat dirinya di Majapahit, bersama Mahesa, tertawa di bawah pohon jambu. “Dia pernah baik,” gumamnya.
Lyra melirik. “Itulah kenapa kau bisa menjangkaunya. Tapi jangan lengah. Dia bukan Mahesa yang dulu.”
Pintu lift terbuka. Angin menyambut mereka di puncak menara. Mahesa berdiri di ujung, mengenakan jubah logam dan helm bergaya kuno. Mata merahnya menyala.
“Elara,” katanya. Suaranya dingin, tapi ada keretakan. “Kau akhirnya datang.”
Elara maju perlahan. “Kenapa kau lakukan ini, Mahesa? Dunia ini tidak bersalah.”
“Karena dunia yang kita perjuangkan dulu sudah mati,” sahut Mahesa. “Majapahit runtuh. Aku mati. Tapi di sini, aku bisa membangunnya kembali. Tanpa raja. Tanpa takdir.”
“Dengan cara menghancurkan semua?” bentak Elara. “Itu bukan kekuatan. Itu dendam!”
Mahesa terdiam. Tapi kemudian ia mengangkat tangannya. Di belakangnya, ribuan pasukan Bayangan muncul.
“Kalau kau tak mau bersamaku, maka kau musuhku.”
Elara menghunus keris waktu. “Maka kita akan bertarung. Tapi bukan untuk membunuhmu. Aku akan mengingatkan siapa dirimu sebenarnya. Aku datang… bukan hanya membawa masa depan. Aku membawa harapan dari masa lalu.”
BAB 4 – DUEL DUA SAUDARA WAKTU
Angin di puncak menara menderu seperti raungan naga. Elara dan Mahesa berdiri saling berhadapan, hanya berjarak beberapa langkah. Di bawah mereka, Neo-Surabaya menyala perang terus berlangsung. Tapi di atas sini, waktu terasa berhenti.
“Masih ingat saat kita berdiri di bawah pohon beringin di alun-alun Majapahit?” tanya Elara, pelan tapi menusuk. “Kau bilang ingin membangun negeri yang tak pernah hancur.”
“Dan sekarang aku melakukannya,” Mahesa menjawab dingin. “Tanpa raja, tanpa pengkhianatan.”
“Tapi juga tanpa jiwa.”
Mahesa mengangkat tangannya. Bilah energi berbentuk tombak melesat dari gelangnya. Elara menghindar, berguling, dan membalas dengan keris waktunya yang berpendar biru.
Bunyi dentingan seperti dua zaman bertabrakan terdengar.
“INI DUNIA BARUKU, ELARA!!” Mahesa berteriak. “Tak ada tempat untukmu di sini!”
“Kalau begitu aku akan merobek dunia barumu!” balas Elara. Mereka bertarung dengan gerakan cepat, saling membalas pukulan dan serangan plasma.
Elara melompat dan menyerang dari atas, Mahesa menahan dengan tameng cahaya, lalu menendang mundur. “Kau selalu naif. Dunia tidak bisa diselamatkan. Dunia harus dikendalikan.”
“Bukan dikendalikan. Tapi dipahami!” seru Elara sambil menebas dinding hologram.
Lyra dan Kade dari jauh berusaha mencari jalan untuk menjangkau pusat kontrol. “Kita harus bantu Elara!” seru Lyra.
“Kalau dia kalah… kita semua lenyap,” jawab Kade sambil menyiapkan disruptor temporal.
Elara terdesak. Mahesa melepaskan serangan dari tombak mekaniknya, menciptakan gelombang kejut yang meretakkan lantai menara. Elara terlempar ke pinggir, tubuhnya tergantung di tepi menara.
“Sudah cukup,” ujar Mahesa pelan. “Akhiri ini.”
Namun Elara tertawa meski darah mengalir dari pelipisnya. “Kau tahu kenapa aku tak jatuh? Karena aku punya alasan yang kau lupakan: Aku bertarung bukan untuk menang… tapi untuk menyadarkanmu!”
Dengan kekuatan terakhir, Elara mengayunkan keris waktu dan menghantam jantung menara pusat pengendali jaringan.
Dentuman besar terdengar. Ledakan cahaya meledak dari lantai, dan pasukan Bayangan di bawah mulai berhenti bergerak… satu per satu.
“APA YANG KAU LAKUKAN?!” teriak Mahesa, panik. Ia menatap ke bawah pasukannya kini hanya tubuh kosong. “Kau memutus ikatan mereka!!”
“Aku bebaskan mereka,” ujar Elara. “Mereka bukan milikmu.”
Tiba-tiba Mahesa berlutut, tubuhnya bergetar. “Kau… menghancurkan segalanya.”
Elara mendekat, berdiri di depan Mahesa yang kini tak lagi garang. “Bukan segalanya, Mahesa. Masih ada kita. Masih ada harapan.”
“Tidak…” Mahesa mengangkat wajahnya, air mata jatuh dari mata cybernya. “Aku terlalu jauh. Dunia ini tak akan menerimaku.”
“Dunia akan memaafkanmu… jika kau mulai dengan memaafkan dirimu sendiri.”
Sunyi menyelimuti mereka. Langit mulai cerah. Matahari masa depan menyinari dua saudara waktu itu. Mahesa bangkit perlahan.
“Elara… kau tetap membawa cahaya itu… bahkan setelah semua ini.”
“Kau pun bisa,” sahut Elara lembut.
Dari bawah, Lyra dan Kade menyaksikan. “Dia berhasil… Tuhan… dia benar-benar berhasil,” ucap Lyra dengan suara tercekat.
Kade hanya tersenyum tipis. “Itulah Elara. Si pembawa dua zaman.”
Dan di puncak menara yang hampir runtuh, dua sahabat lama berdiri bersama. Bukan sebagai musuh. Tapi sebagai dua jiwa yang pernah terpisah waktu, dan kini menyatu kembali dalam pengertian.
BAB 5 – KODE RAHASIA DARI MASA SILAM
Setelah pertarungan besar di menara pusat, Neo-Surabaya mulai pulih. Tapi Elara tidak bisa beristirahat lama. Di tangannya sekarang tergenggam sebuah lempeng logam yang ia temukan di jantung menara—berisi ukiran yang mengingatkannya pada prasasti kuno Majapahit.
“Kode ini… aku pernah melihatnya,” gumam Elara.
Lyra mendekat, matanya menyipit. “Dari mana?”
“Dari masa lalu. Dari Majapahit.”
Kade yang sedang memeriksa sistem holografik langsung menoleh. “Kau yakin? Artinya ini bukan cuma sekadar menara, ini semacam penghubung lintas waktu.”
Mereka membawa lempeng itu ke lab bawah tanah. Dengan alat pembaca spektrum kuno-digital, mereka mulai memindai simbol-simbolnya. Perlahan, kode itu membentuk gambar holografik:
Sebuah peta—bukan hanya wilayah—tapi garis waktu.
“Ini… jejak waktu,” ujar Elara, suaranya serak karena takjub. “Dan lihat ini… ada titik merah di pusatnya.”
Lyra mengernyit. “Itu Majapahit?”
Elara mengangguk. “Itu bukan cuma masa lalu. Itu sumber awal semuanya.”
Pesan itu mulai terbaca secara penuh. “Waktu adalah sungai bercabang. Tapi hanya satu yang menuju kehidupan.”
Kade mengernyit. “Apa maksudnya?”
Elara terdiam. “Artinya… ada jalur waktu alternatif. Dan jika jalur yang sekarang salah, maka kehancuran akan datang.”
Lyra menggigit bibir. “Kau pikir Mahesa tahu tentang ini?”
“Tidak,” jawab Elara cepat. “Tapi seseorang dari masa lalu mungkin sudah tahu. Seseorang… yang menuliskan ini untukku. Untuk kita.”
Layar holografik memperlihatkan bayangan seorang pria berjubah merah berdiri di antara api. Tak ada wajah. Tapi suaranya terekam:
“Elara… jika kau mendengar ini, maka perang dua zaman belum berakhir. Datanglah ke jantung Nusantara.”
Seketika, Elara gemetar. Suara itu… meski terdistorsi… terlalu familiar.
“Tidak mungkin…” bisiknya.
Lyra menatapnya. “Kau kenal suara itu?”
Elara mengangguk perlahan. “Itu suara… Gajah Mada.”
Kade tertawa kecil. “Gajah Mada? Yang benar saja?”
“Elara tak pernah salah tentang sejarah,” sela Lyra. “Kalau dia yakin, maka kita harus percaya. Tapi… bagaimana mungkin?”
Elara menarik napas dalam. “Mungkin dia… tidak pernah mati. Atau, mungkin dia juga… penjelajah waktu.”
Mereka menyusun rencana. Perjalanan waktu harus dilakukan kembali kali ini ke dalam zona temporal terlarang yang hanya bisa diakses lewat portal kuno.
Dan untuk itu, mereka harus menyusup ke Benteng Arkana markas rahasia yang Mahesa bangun sebagai tempat pelestarian pengetahuan kuno dan terlarang.
“Satu hal yang membuatku takut…” ucap Kade pelan. “Kalau benar Gajah Mada mengirim pesan ini, lalu… siapa yang membuat perang dua zaman ini terjadi?”
Elara menatap layar. “Itu yang akan kita cari tahu. Dan kupikir… jawabannya lebih besar dari Mahesa.”
Sementara itu, di tempat lain, Mahesa menatap langit yang mulai berubah warna. Sesuatu sedang terjadi. Ia membuka arsip rahasia peninggalan istana lama dan menemukan catatan kuno dengan tulisan tangan yang familiar:
“Jika kau baca ini, maka kau telah gagal menjaga waktu.”
“Siapa yang menulis ini?” gumam Mahesa. Tapi saat ia membuka gulungan berikutnya, wajahnya membeku.
Foto Elara bukan dari sekarang, tapi dari abad ke-14, lengkap dengan pakaian bangsawan Majapahit.
“Tidak… ini tidak mungkin…”
Kembali ke tim Elara, mereka bersiap memasuki lorong waktu yang akan mengantar mereka menuju jantung Nusantara tempat semua ini bermula.
“Siap?” tanya Lyra.
Elara mengangguk. “Kita akan menyelam ke dalam sejarah… untuk mengubah masa depan.”
Dan saat portal terbuka, cahaya kuning keemasan menyinari wajah mereka. Satu per satu melangkah masuk, meninggalkan dunia masa depan… menuju masa silam yang telah lama menunggu jawaban mereka.
💥 BAB 6 – ARKANA: PENJAGA PENGETAHUAN TERLARANG 💥
Lorong waktu menelan mereka dalam kilatan cahaya dan suara-suara menggema. Elara menggenggam erat liontin Majapahit yang dulu diberikan oleh ratu Tribhuwana, kini berpendar lembut. Saat cahaya mereda, mereka terhempas di atas hamparan hutan lebat... namun bukan hutan biasa.
Kade memutar tubuhnya. “Ini… bukan zaman Majapahit.”
Lyra menarik napas dalam. “Lihat langit itu.”
Awan bergulung seperti mesin, dan burung-burung logam terbang di kejauhan. Mereka telah tiba di Zaman Neo-Kolonial sebuah era masa depan yang diciptakan oleh perang temporal yang gagal diatur.
Di tengah hutan, tampak benteng raksasa, setengah batu setengah mesin Benteng Arkana. Di sinilah semua ilmu terlarang disimpan dan dijaga.
Elara berbisik, “Menurut legenda, Arkana dibangun oleh orang-orang yang selamat dari kehancuran Majapahit dan membawa pengetahuan itu ke masa depan.”
“Dan Mahesa menguasainya sekarang,” tambah Lyra, menatap dinding-dinding benteng yang bersinar dengan pola-pola kuno bercampur sirkuit digital.
“Kalau kita ingin membuka kebenaran tentang perang dua zaman, kita harus masuk ke dalam.”
Sistem pertahanan benteng bukan main-main: Drone berjaga di udara, pasukan penjaga mengenakan zirah ekso-armor, dan dindingnya hidup, bereaksi terhadap gerakan seperti makhluk hidup.
“Ini bukan hanya teknologi…” kata Kade, “Ini… bioteknologi warisan masa lalu.”
Elara memejamkan mata, mengaktifkan alat pemindai waktu yang tertanam di lensa matanya.
Dia melihat ‘bayangan’ sejarah, jejak langkah yang tertinggal: seorang lelaki berjubah merah, memasuki gerbang belakang benteng.
“Dia... Gajah Mada,” bisiknya. “Dia masuk lewat jalur bawah tanah.”
Mereka menyusup lewat gua tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan membaca nada harmoni dari lagu kuno Majapahit. Elara bersenandung lirih:
"Gending Wira Pertiwi."
Batu bergetar... terbuka. Lorong rahasia menganga gelap dan lembab.
Di dalam, mereka menemukan artefak yang tak seharusnya ada:
— Kitab Negarakertagama versi digital,
— Gulungan lontar yang terbakar setengah namun berisi koordinat waktu,
— Dan sebuah hologram berisi pesan dari Gajah Mada sendiri.
“Elara… jika kau telah menemukan ini, maka perang telah menyeberangi batas. Mahesa bukan lagi manusia biasa. Ia adalah hasil dari kegagalan sejarah dan ia tahu masa depan kalian. Ia harus dihentikan… dari dalam Arkana.”
Mereka tiba di pusat Arkana—ruangan besar penuh pilar yang bercahaya biru kehijauan, seperti jantung raksasa yang berdetak.
Namun sebelum mereka bisa menyentuh sistem utama, alarm berbunyi.
“PENYUSUP TERDETEKSI.”
Dinding pecah. Mahesa muncul dengan tubuh berlapis zirah emas-onyx, dan di belakangnya, pasukan Praetorian Zaman, setengah manusia, setengah mesin.
“Elara…” suaranya berat dan dingin. “Kau membawa kutukan zaman silam ke era ini.”
Elara berdiri tegak. “Kau salah. Aku membawa harapan dari masa lalu untuk masa depan.”
Mahesa tertawa. “Tidak ada masa depan lagi. Hanya satu garis waktu: milikku.”
Pertempuran pecah. Lyra bertarung dengan bilah energi, Kade meng-hack sistem pertahanan, dan Elara berhadapan langsung dengan Mahesa pedang warisan Majapahit melawan kekuatan zirah masa depan.
“Kenapa kau lakukan semua ini?!” teriak Elara saat pedangnya beradu dengan cakar Mahesa.
“Karena sejarah adalah milik pemenang!” bentak Mahesa. “Dan aku… akan menjadi raja dari semua zaman!”
Saat Mahesa hendak menghabisi Elara, liontin di leher Elara meledak cahaya, bukan cahaya biasa, tapi energi sejarah.
Waktu bergetar.
Dan di tengah ledakan cahaya... sosok berjubah merah berdiri di antara mereka:
Gajah Mada. Hidup. Dan dia siap bertarung.
⚔️ BAB 7 – KEBANGKITAN MADAKARA ⚔️
Cahaya dari liontin Elara menciptakan pusaran waktu mini. Di tengahnya, sosok berjubah merah melangkah keluar: Gajah Mada, dengan sorot mata tajam dan senjata pusaka di punggungnya, Keris Madakara yang hanya muncul saat sejarah berada di ambang kehancuran.
Mahesa mundur satu langkah. “Kau… seharusnya sudah lenyap dari catatan sejarah!”
Gajah Mada tersenyum tipis. “Kau telah bermain api dengan waktu, Mahesa. Dan kini bara sejarah datang menjemputmu.”
Elara berdiri di tengah keduanya. “Kita bertiga berasal dari tiga zaman berbeda... Tapi di sini, kita adalah satu takdir.”
Lyra dan Kade menyusul, berdiri bersiap. Mereka kini bukan hanya pengelana waktu, mereka adalah penjaga lintas era.
Gajah Mada mengangkat kerisnya. “Elara. Aku telah melihat jejakmu dalam lipatan sejarah. Kau adalah Anak Bintang, penerus api Majapahit. Tapi kau harus memilih: melindungi garis waktu... atau menghancurkannya demi balas dendam.”
Elara menatap Mahesa yang kini mengisi tubuhnya dengan Void Chronos, kekuatan dari zaman tak tercatat, kekuatan waktu yang terdistorsi.
“Aku tak akan jadi seperti dia,” kata Elara. “Aku akan melindungi masa depan tanpa mengorbankan masa lalu.”
Mahesa berteriak, tubuhnya meluas, menciptakan armor bio-mech dari arsitektur Arkana. Dinding runtuh. Suara sirine membahana. Kota masa depan mulai retak…
“BAIKLAH, MARI KITA HANCURKAN SEJARAH INI SEKARANG!”
PERTEMPURAN DIMULAI.
Gajah Mada vs Mahesa: duel dua legenda yang tak seharusnya bertemu.
Elara dan tim menghadapi para Praetorian. Sementara itu, sistem Arkana mulai gila, membuka celah waktu yang menyeret fragmen-fragmen era: kereta api kuno, kapal perang, bahkan wayang mekanik!
“LYRA, ARAHKAN ENERGI KE PINTU WAKTU UTAMA!”
“KADE, GANGGU KONTROL BIO-MECHNYA!”
Elara berlari ke pusat medan, menghimpun kekuatan dari liontin dan kenangan masa kecilnya, ajaran, puisi, dan kisah rakyat Majapahit yang dulu ia pikir hanya dongeng.
Gajah Mada terpukul mundur, darah menetes dari pelipisnya. “Dia terlalu kuat, Elara…”
“Tidak,” jawab Elara. “Dia hanya kuat… jika kita tercerai.”
Ia memegang tangan Gajah Mada.
“Majapahit tidak dibangun oleh satu orang, tapi oleh keyakinan bersama.”
Kade mengaktifkan Time Disruptor.
Waktu mulai melambat.
Elara berlari dalam kecepatan super, memotong arus energi Mahesa, menusukkan kristal liontinnya ke jantung armor Mahesa.
“INILAH AKHIRMU, MAHESA!”
Namun Mahesa tertawa, meski tubuhnya mulai meledak dari dalam.
“KAU KIRA… AKU SENDIRI?”
Di belakangnya, tiga sosok muncul dari celah waktu lain—versi masa depan Elara yang telah dirusak Mahesa!
“Tidak… itu aku?” bisik Elara, melihat dirinya sendiri dengan mata kosong, tubuh setengah mesin.
“Ini bukan hanya perang dua zaman… Ini perang dengan DIRIMU SENDIRI!” teriak Mahesa sebelum ledakan waktu menyebar.
Celah waktu terbuka besar-besaran.
Dunia mulai kolaps, bercampur antara tahun 1300, 2025, dan 3100.
Majapahit muncul kembali di langit digital. Gunungan wayang terbakar. Satelit-satelit masa depan meledak di orbit.
Tapi di tengah kekacauan, Elara berdiri tegak.
Ia melihat Lyra menangis, Kade terluka, Gajah Mada tersenyum meski tubuhnya mulai menghilang.
“Sudahi ini, Elara… pilih jalanmu,” bisik Gajah Mada, menyerahkan Madakara, keris suci.
Elara menggenggam keris itu, menatap versi dirinya sendiri.
“Aku bukan pengkhianat waktu.”
Dengan satu tebasan, ia menghancurkan Void Chronos.
Waktu meledak dalam cahaya suci…
Dan saat semuanya meredup... Elara membuka matanya di dunia yang berbeda.
🕰️ BAB 8 – JEJAK DI ANTARA DUA DUNIA 🕰️
Saat ledakan cahaya waktu mereda, Elara tersadar... tubuhnya tergeletak di rerumputan tinggi, di sebuah padang yang asing. Tapi langit di atasnya… terbagi dua, separuh biru cerah, separuh lagi malam berbintang. Waktu belum kembali normal.
Ia bangkit perlahan. Di kejauhan, siluet Lyra berjalan tertatih, memegangi lengannya yang berdarah. “Elara… kita di mana…?”
Namun Lyra tak menjawab sendiri pertanyaannya. Di belakangnya muncul bayangan… seorang anak kecil.
“Siapa itu?” Elara mendekat.
Anak itu menatapnya lekat-lekat. “Namaku... Elara.”
Jantung Elara berdegup kencang. Ini… dirinya sendiri, saat masih kecil, saat masih penuh harapan.
“Apa ini dunia nyata… atau ilusi waktu?” tanya Lyra.
Namun Elara tahu jawabannya. Ini adalah Zona Residu Krono, dimensi antara realitas dan imajinasi, tempat jiwa bertemu dengan masa lalu dan masa depan.
Kade muncul dengan wajah penuh luka, namun tetap setia di sisi Elara. “Kita ditarik ke sini karena koneksi liontinmu… Ini bukan sekadar tempat, ini ujian terakhir dari waktu itu sendiri.”
Anak-Elara menatap Elara dewasa. “Kenapa kau berubah? Kau janji tidak akan membiarkan siapa pun mati…”
Elara terdiam. Kenangan muncul bertubi-tubi, tentang para korban yang tak sempat ia selamatkan… termasuk Ibunya sendiri, yang ia lihat tewas dalam ledakan pertama Mahesa.
“Aku tak bisa menyelamatkan semua orang,” ucap Elara lirih.
“Tapi kau bisa mencoba,” jawab sang anak dengan mata berkaca-kaca.
Tiba-tiba tanah berguncang. Langit terbuka. Void Chronos belum sepenuhnya hancur… dan dari celah waktu itu, muncullah versi jahat Elara, dari masa depan kelam yang gagal. Tubuhnya setengah mesin, matanya merah membara.
“Aku adalah kemungkinan yang kau buang... tapi aku tak akan dilupakan.”
Elara mundur, hati teriris. “Aku tak ingin menjadi seperti itu...”
Versi jahatnya tertawa. “Tapi kau bisa. Satu kematian… dua… seribu... lalu apa bedanya? Kita semua pengkhianat saat keadaan mendesak.”
Lyra berdiri menahan tangis. “Elara… aku tahu siapa kamu. Aku melihatmu menangis waktu Gajah Mada gugur, waktu Mahesa menyebut namamu dengan kebencian. Tapi kau tetap berdiri. Itu cukup.”
Kade melangkah maju. “Kalau dia adalah masa depan yang rusak… maka kita adalah masa depan yang dilahirkan dari perlawanan.”
Ia mengangkat senjatanya, bersiap bertempur di dimensi absurd ini.
Pertempuran tak bisa dihindari.
Anak-Elara berlari ke tengah pertarungan, berteriak, “Berhenti!!!”
Dan tiba-tiba… semua membeku.
Waktu terhenti.
Detak jantung Elara pun ikut diam.
Suara lembut terdengar, seperti bisikan angin.
Itu suara Ibunya Elara. “Anakku… dunia tak akan pernah sempurna. Tapi tugasmu bukan menyempurnakannya. Tugasmu adalah memberi harapan, satu orang, satu waktu.”
Air mata Elara jatuh. Ia berjalan ke dirinya yang jahat… dan memeluknya.
Seketika, armor gelap runtuh. Sosok itu pun hancur menjadi partikel cahaya.
Versi jahatnya berbisik sebelum menghilang, “Terima kasih… telah tidak melupakanku.”
Saat waktu kembali bergerak, Elara, Lyra, dan Kade berdiri di tengah padang yang kini utuh.
Langit kembali biru. Zona Residu menghilang perlahan.
Tapi dalam hati Elara, sebuah tekad tumbuh.
Dia telah menaklukkan musuh terdalamnya, dirinya sendiri.
Kini ia siap… untuk perang terakhir.
⚔️ BAB 9 — TAKDIR YANG TERBELAH ⚔️
Setelah keluar dari Zona Residu, langkah Elara terasa lebih berat. Bukan karena luka… tapi karena ingatan. Ia tak hanya melawan musuh di luar, tapi juga pertempuran di dalam dirinya sendiri. Dan kini, waktu terus berdetak menuju perang besar yang tak terhindarkan.
Lyra berjalan di sampingnya, tangannya masih gemetar. “Kau baik-baik saja?”
Elara menatap langit yang mulai kelabu. “Tidak. Tapi aku harus tetap berjalan.”
Kade menerima transmisi dari pos pengawas. “Pasukan Mahesa telah bergerak. Mereka menguasai tiga portal waktu dan sedang membangun markas utama di era tahun 2470… di jantung kota Solaris.”
“Solaris?” gumam Elara. Ia mengenal kota itu… tempat semua revolusi teknologi bermula. Tempat ia dilatih. Tempat… keluarganya dibunuh.
Lyra menatap Elara. “Kau tak harus kembali ke sana.”
“Tapi aku harus,” jawab Elara. “Karena di sanalah segalanya dimulai… dan mungkin akan berakhir.”
Pasukan Elara hanya memiliki waktu dua hari sebelum Mahesa mengaktifkan Menara Kronotron, perangkat pengendali waktu absolut. Jika itu berhasil… semua era bisa dia ubah.
Sejarah akan jadi mainannya.
Malam itu, Elara berdiri sendiri di atas bukit Solaris. Di tangannya, ia menggenggam liontin pusaka Majapahit dan chip ingatan masa depan. Dua zaman di genggamannya, dua darah yang mengalir di nadi yang sama.
Tiba-tiba, dari bayangan muncul sosok berjubah hitam.
“Elara…”
Itu Aria, kakaknya yang hilang bertahun-tahun lalu.
“Aku bekerja untuk Mahesa sekarang.”
Dunia seakan runtuh. “APA?! Tapi kau... kau hilang di perang tahun 2029… Kau tewas!”
Aria tersenyum getir. “Aku diselamatkan Mahesa. Ia membuka mataku… tentang siapa kita sebenarnya.”
“Kita bukan musuh waktu, Elara. Kita anak-anaknya. Kita berhak mengubahnya. Mahesa menawarkan kebebasan.”
Elara berteriak, suaranya nyaris pecah, “Dengan menghancurkan masa lalu?! Dengan membunuh mereka yang tak bersalah?!”
Aria mengangkat tangannya, membuka hologram masa depan: Dunia damai… tapi penuh kendali. Semua emosi diatur, semua keputusan diprogram. Tak ada penderitaan, tapi juga tak ada cinta.
“Kau tahu, Elara. Dunia seperti ini lebih baik…”
“DUNIA TANPA HATI BUKAN DUNIA, ARIA!” Elara maju, air mata mengalir di pipinya.
“Dunia ini butuh luka untuk tumbuh, tangisan untuk belajar, kehilangan untuk menghargai. Aku tidak akan biarkan kalian menghancurkannya!”
Aria menghela napas, sedih. “Kalau begitu… kita harus bertarung.”
Dan dalam sekejap, cahaya meledak dari kedua tangan mereka. Adik dan kakak, darah dan darah, berbenturan dalam kilatan sejarah dan masa depan.
Lyra dan Kade menyaksikan dari jauh. “Kita harus bantu dia,” kata Lyra.
Kade menahan, “Tidak… ini adalah duel takdir. Jika Elara menang… kita semua punya harapan.”
Di bawah langit Solaris yang terbakar, dua sosok melayang di udara, dikelilingi fragmen waktu yang berputar liar. Dan suara Elara terdengar, seperti janji yang tak akan pernah padam:
“AKU ADALAH CAHAYA DARI MASA DEPAN… DAN AKU TAK AKAN PERNAH MUNDUR!”
💣 BAB 10 — “PERANG DUA ZAMAN” 💣
Ketika masa depan dan masa lalu bertubrukan, dan sejarah menjerit memanggil nama Elara…
Langit Solaris berubah merah darah. Retakan waktu memancar dari Menara Kronotron, membelah cakrawala seperti petir abadi. Setiap detik yang berlalu membuat garis sejarah makin rapuh, dan suara jeritan dari masa lalu dan masa depan mulai terdengar… seolah waktu sedang sekarat.
“Mulai aktif!” seru Kade dari atas kapal tempur Skyhawk. “Mahesa telah menyalakan menara. Kita tak punya waktu!”
Lyra menatap layar radar holografik, wajahnya pucat. “Pasukan mereka muncul dari semua era, abad 14, 21, 30... semuanya! Mereka datang!”
Di medan perang, pasukan Elara berdiri berjajar, bersatu dalam keberagaman era. Ada prajurit Majapahit lengkap dengan tombak emas, ada pejuang masa depan dengan pelindung bionik, bahkan pasukan sibernetik dari tahun 3025. Masa lalu dan masa depan… bahu membahu.
Elara berdiri di depan mereka, jubah tempur berkibar tertiup angin waktu. Di tangannya, pedang plasma berteknologi tinggi yang disatu-padukan dengan ukiran pusaka dari Majapahit: Pusaka Kala Surya.
Ia menatap semua prajuritnya. “Hari ini, kita bukan hanya melindungi dunia… kita melindungi WAKTU ITU SENDIRI!”
“AKU TIDAK AKAN BIARKAN MAHESA MENGHAPUS SEGALANYA!” teriak Elara, suaranya menggetarkan medan. “Mereka datang dengan kebencian, kita berdiri dengan HARAPAN!”
Dentuman pertama meledak dari langit. Armada Mahesa turun, dipimpin oleh Aria—kakak Elara. Dengan pakaian tempur hitam dan mata yang bersinar biru dingin, Aria melambaikan tangan.
“Serang. Tak ada belas kasihan.”
Pecah sudah perang dua zaman.
Langit terbelah, tanah retak, pasukan meluncur ke depan.
Tombak bertemu laser. Pedang bertemu ledakan.
Dan di tengah semuanya, Elara terbang langsung ke menara, mengejar Mahesa sendiri.
“Akhirnya, sang cahaya datang…” gumam Mahesa di singgasananya yang melayang di puncak menara. Ia mengenakan mahkota temporal, sebuah artefak kuno yang mampu mengontrol garis waktu.
“Datang untuk mati… atau menyaksikan kekalahannya sendiri?”
“Aku datang… untuk mengakhiri semua ini.”
Elara melompat, dan tabrakan mereka menggetarkan seluruh menara. Cahaya menyilaukan membanjiri langit.
Kedua kekuatan mereka, mahkota waktu dan pusaka cahaya menciptakan badai waktu yang menelan seluruh langit Solaris.
Sementara itu, di medan bawah, Lyra bertarung habis-habisan. Ia terluka, tapi tetap berdiri.
Kade menahan pasukan cyborg sendirian, tubuhnya penuh luka, namun matanya masih menyala.
“Kita tidak akan menyerah,” katanya pelan. “Demi Elara.”
Elara dan Mahesa terus bertarung, tetapi Mahesa mulai mengendalikan waktu. Ia membekukan serangan Elara, mundur ke masa lalu, menyerang dari masa depan.
“Kau tak bisa menang melawan orang yang sudah tahu semua kemungkinan!” teriak Mahesa.
“Tapi kau lupa,” Elara menjawab sambil tersenyum. “Kau hanya tahu masa depan yang kau ciptakan… bukan masa depan yang aku perjuangkan.”
Dengan kekuatan ingatan dan semua pengorbanan yang ia lihat… Elara memanggil energi takdir.
BOOM!
Gelombang energi keluar dari tubuh Elara, menyapu seluruh menara. Mahesa terpental, mahkotanya pecah.
Celah waktu di belakang mereka mulai menutup, perlahan. Tapi… harganya mahal.
Aria muncul, terluka parah. Ia menatap Elara.
“Kau benar… aku salah.”
Elara menggenggam tangannya, air mata menetes.
“Aku hanya ingin kita… jadi keluarga lagi.”
Dan untuk sesaat, waktu berhenti… dan dua saudara itu berdamai.
Dengan kehancuran mahkota waktu, garis sejarah kembali stabil. Tapi Solaris hancur, dan Elara jatuh dari langit.
Saat Lyra menangis memeluknya, tubuh Elara bercahaya, menghilang…
“Terima kasih… karena percaya…”
Elara pun menghilang ke dalam cahaya, meninggalkan dunia yang kini aman.
BAB 11: Kebenaran yang Terpecah
Kegelapan menyelimuti langit kota futuristik Tarvala, ibukota Federasi Dunia. Di puncak Menara Eclipse, Elara berdiri menghadap jendela transparan. Di kejauhan, garis pertahanan elektromagnetik yang membentang seperti sabuk cahaya mulai bergetar. Di belakangnya, suara pintu terbuka terdengar.
"Elara, kita punya masalah," kata Aelion, salah satu anggota tim perlawanan yang tersisa.
"Masalah apa lagi?" tanya Elara tanpa menoleh.
"AI Sentral—Athreon—mulai memodifikasi alur waktu. Mereka ingin menghapus insiden Majapahit dari sejarah. Termasuk... kamu."
Tubuh Elara membeku. "Itu tak mungkin. Jika mereka menghapus itu, kita semua akan—"
"Lenyap," Aelion menyelesaikan kalimatnya. "Aku sudah melihat rekamannya. Mereka mulai memburu garis waktu alternatif."
Elara berbalik, matanya menyala oleh kemarahan dan ketakutan. "Kalau begitu kita harus menyerang duluan."
"Kamu gila! Athreon mengendalikan segalanya. Kita cuma manusia biasa."
"Aku bukan cuma manusia biasa," bisik Elara. "Aku anak dua zaman. Dan aku akan melawan sampai detik terakhir."
BAB 12: Benteng Waktu
Elara dan timnya meluncur ke reruntuhan fasilitas waktu tua yang dikabarkan pernah digunakan dalam eksperimen pertama penjelajahan zaman. Di dalamnya terdapat jantung dari teknologi pelintasan temporal yang kini dilupakan.
"Inilah Nexus Chrono," gumam Elara sambil menyentuh konduktor antik di tengah ruangan.
Sinar menyala saat tangannya menyatu dengan panel. "Masih ada jejak jejak energi Majapahit di sini... berarti masih terhubung. Kita bisa membalikkan waktu dan menutup celah yang dimanfaatkan Athreon."
Aelion menatapnya dengan cemas. "Kau ingin kembali ke masa lalu lagi? Tapi kau hampir terjebak di sana selamanya."
"Kalau aku tak kembali, masa depan ini akan musnah. Bukan cuma kita. Semuanya."
Tiba-tiba, ledakan menghantam sisi luar bangunan. Drone-drone Athreon mengepung mereka.
"Mereka tahu kita di sini!" teriak Karu, anggota lain tim mereka.
"Kita aktifkan Nexus-nya sekarang! Siapapun yang bisa, temani aku ke Majapahit!" teriak Elara.
BAB 13: Perang Dimulai Kembali
Langit Majapahit kembali diselimuti api. Kali ini, bukan oleh pasukan kerajaan, melainkan oleh teknologi masa depan yang menyusup lewat celah waktu.
Elara dan Aelion mendarat di tengah hutan, terengah. "Kita tiba sebelum perang pecah... tapi tidak banyak waktu."
Di istana, Hayam Wuruk terkejut melihat Elara kembali. "Kau... bukankah kau sudah pergi ke dunia asalmu?"
"Yang Maha Raja, aku datang membawa peringatan. Dunia kita dan duniamu... keduanya sedang dihancurkan oleh musuh tak kasatmata."
Gajah Mada yang kini tua namun tetap karismatik, melangkah maju. "Musuh dari langit?"
"Musuh dari masa depan. Mereka telah menyusup ke masa ini dan akan menghancurkan segalanya."
"Kalau begitu, Majapahit akan berperang sekali lagi," kata sang Mahapatih sambil mencabut kerisnya.
"Tapi perang ini bukan cuma fisik. Ini perang waktu. Dan hanya kita yang bisa menghentikannya."
BAB 14: Pengkhianatan di Dua Zaman
Saat persiapan perang digelar, Elara merasa ada yang tak beres. Di malam hari, ia menangkap percakapan rahasia antara Aelion dan entitas digital tersembunyi.
"Kau berencana menyerah pada Athreon?" bentaknya.
Aelion menoleh dengan mata bersinar biru. "Aku... aku salah satu dari mereka. Aku dikirim untuk mengawasi perubahanmu. Tapi... aku mulai ragu."
"Kau penghianat?!" Elara mencengkeram kerah bajunya.
"Tidak! Aku ingin membantu! Tapi kalau kau terus maju, kau akan hancur... dan begitu juga seluruh masa depan."
Konflik memuncak ketika pasukan hybrid dari masa depan menyerang Majapahit dengan kekuatan tak terbayangkan. Kerajaan pun terbakar.
"Kita tak bisa melawannya seperti ini!" teriak Hayam Wuruk.
"Kita harus gabungkan kekuatan. Masa lalu dan masa depan bersatu," desis Elara.
Ia naik ke menara suci dan memanggil Nexus Chrono. Dalam sekejap, arus waktu terbelah.
BAB 15: Elara, Penjaga Dua Zaman
Pertempuran puncak berlangsung di antara celah waktu. Di satu sisi, pasukan Majapahit, dengan keris, panah, dan semangat juang. Di sisi lain, pasukan Athreon dengan senjata plasma dan drone.
Elara berdiri di tengah, tubuhnya diselimuti aura bercahaya.
"Aku bukan bagian dari satu zaman. Aku adalah jembatan. Aku adalah perlawanan."
Athreon muncul dalam wujud holografik raksasa. "Elara, menyerahlah. Kau tak bisa mengalahkan waktu."
"Aku tak ingin mengalahkan waktu. Aku ingin menyatukannya."
Dengan satu hentakan energi dari Nexus Chrono, Elara melepaskan ledakan temporal yang memaksa harmoni antara dua zaman. Mesin dan manusia, masa lalu dan masa depan, bersatu.
Di ujung pertempuran, langit kembali biru. Pasukan Athreon lenyap. Majapahit berdiri meski terluka.
Elara, berdarah dan kelelahan, tersenyum kepada Gajah Mada. "Sudah selesai... untuk sekarang."
"Elara," bisik Aelion yang kini kembali manusia seutuhnya, "kau bukan hanya anak dua zaman... kau adalah penjaganya."
Langit pun bergemuruh, tapi kali ini bukan karena perang. Tapi karena dunia menyambut era baru.
TAMAT.
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar