“Langit Jingga di Ujung Kota Jogja”
Genre: Romantis, Emosional, Drama
Setting Tempat: Kota Yogyakarta — kota pelajar yang menyimpan banyak kenangan, penuh suasana romantis dan nuansa nostalgia.Langit Yogyakarta petang itu memerah, seperti mewarnai perasaan yang belum punya nama. Surya duduk di bangku halte dekat Taman Pintar, matanya mengamati kendaraan lalu lalang tanpa benar-benar melihat. Buku sastra di tangannya terbuka, tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Ia baru saja dari kampus, dosennya membatalkan bimbingan skripsi, dan kini ia hanya ingin pulang. Tapi bukan hanya ke rumah, ia ingin pulang ke sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang belum ia temukan.
Suara langkah cepat menghentikan lamunannya. Seorang gadis berseragam SMA duduk di ujung bangku halte, sedikit menjauh darinya. Rambutnya diikat ekor kuda, wajahnya tertunduk sambil memegang ponsel yang retak layarnya. Surya sempat melirik sekilas, lalu kembali pada bukunya. Tapi detik berikutnya, ia mencuri pandang lagi.
Gadis itu menghela napas pelan, lalu tanpa sadar berbicara pada dirinya sendiri, “Kenapa harus hari ini sih…?”
Suara itu membuat Surya tersenyum kecil. Bukan karena ia mengejek, tapi karena ia tahu rasanya hari buruk. Ia menutup bukunya dan memberanikan diri berkata pelan, “Hari buruk, ya?”
Gadis itu menoleh kaget, mata cokelatnya bertemu mata Surya. Ada keraguan, lalu senyum singkat, canggung. “Iya. Banget.”
Surya mengangguk. “Selamat datang di klub. Hari ini, dosen pembimbing saya ngilang entah ke mana.”
Nayla—begitu nama gadis itu, meski Surya belum tahu—tertawa kecil. “Saya… jatuh dari sepeda pas pulang sekolah. HP saya pecah, baju kotor, dan… ya begitulah.”
Hening sejenak menyelimuti mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti jeda yang menyamankan. Lalu, Surya berkata, “Saya Surya. Mahasiswa. Tinggal di Pogung.”
Gadis itu tersenyum. “Nayla. Kelas 12. Rumah saya di Kotagede.”
Dua dunia yang biasanya tak bertemu. Tapi di bawah langit jingga yang sama, mereka saling memperhatikan dalam diam. Surya merasa ada sesuatu yang berbeda dari Nayla. Bukan hanya karena wajahnya yang manis atau tawanya yang ringan, tapi karena sorot matanya—ada kesedihan yang tak dikatakan.
Bus tak kunjung datang. Hujan rintik turun perlahan. Surya membuka tasnya dan mengeluarkan payung kecil. “Kita jalan kaki aja sampai lampu merah. Biasanya lebih cepat dapet angkot di sana.”
Nayla ragu sejenak, lalu mengangguk. Mereka berjalan berdampingan di trotoar yang basah, berbagi payung kecil yang membuat pundak mereka saling bersentuhan. Hujan menambah keheningan, tapi juga keintiman yang tak biasa.
“Orang tuamu enggak marah kamu pulang telat?” tanya Surya hati-hati.
Nayla menggeleng, lalu menjawab lirih, “Mereka lagi sibuk cerai. Kayaknya udah enggak peduli aku pulang jam berapa.”
Kalimat itu membuat Surya terdiam. Ia menatap Nayla lebih dalam, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan lebih pelan, memastikan langkah gadis itu tetap sejajar dengannya.
Sampai di pertigaan, Nayla berhenti. “Aku ambil angkot dari sini. Makasih udah nemenin.”
Surya tersenyum. “Sama-sama. Semoga hari besokmu lebih baik, Nayla.”
Nayla sempat menatapnya lebih lama, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya ia hanya berkata, “Semoga hari kamu juga lebih baik, Surya.”
Bus melintas. Hujan masih turun. Tapi hati Surya hangat. Ia tahu, pertemuan itu mungkin cuma kebetulan—tapi perasaan yang tumbuh darinya bukan.
BAB 2: Rasa yang Tak Bernama
“Woy! Tumben sore-sore nongol. Badai asmara?” seru Tian dari pojok ruangan, sambil mengangkat dua gelas kopi dan wajah yang selalu terlihat seperti habis tertawa.
Surya duduk, meletakkan tasnya, dan menarik napas panjang. “Gue ketemu cewek di halte. Anak SMA.”
Tian nyaris menyemburkan kopinya. “Lo naksir anak sekolah? Gila juga ya, Sastra bikin lo drama abis.”
“Gue enggak bilang gue naksir,” kata Surya, meski wajahnya tak bisa berbohong. “Tapi… ada yang beda. Dia sedih, tapi kuat. Dan dia bilang orang tuanya cerai.”
Tian mengangguk pelan, lalu menatap Surya lebih serius. “Lo hati-hati. Dunia dia beda. Lo bukan cuma harus bisa jaga hati lo sendiri, tapi hati dia juga.”
Di sisi lain kota, Nayla duduk di kantin sekolah bersama Alya, sahabatnya sejak SMP. Alya sedang memandangi Nayla dengan pandangan penuh tanya. “Lo kenapa sih akhir-akhir ini sering bengong?”
Nayla menggigit sedotan es teh-nya. “Kemarin aku ketemu cowok di halte. Mahasiswa. Namanya Surya.”
Alya langsung meletakkan roti bakar yang tadi hampir masuk ke mulut. “Hah?! Mahasiswa?! Nayla, lo waras enggak?”
“Aku cuma ngobrol, Alya. Dia baik. Enggak aneh-aneh. Dan… dia bikin aku ngerasa tenang.”
Alya mencibir. “Cowok baik itu biasanya kamuflase. Apalagi mahasiswa. Mereka bisa ngomong manis kayak pujangga. Hati-hati ya, Nay.”
Tapi Nayla hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu Surya bukan seperti itu. Ada sesuatu di sorot mata lelaki itu—sebuah kesedihan yang serupa dengan miliknya. Bukan tipu-tipu, tapi luka yang saling memahami.
Sore berikutnya, mereka bertemu lagi. Kali ini bukan di halte, tapi di toko buku bekas. Nayla datang untuk mencari novel yang dipesan guru Bahasa Indonesia-nya. Surya ada di sana karena mencari puisi Sapardi edisi lama. Mereka kaget saling bertemu, tapi senyum mereka seolah berkata: ini bukan kebetulan.
“Kamu ngikutin aku ya?” tanya Nayla sambil tertawa kecil.
Surya mengangkat dua buku. “Kalau iya, berarti aku mahasiswa paling iseng di Jogja.”
Mereka duduk di kursi kecil di pojok toko buku itu. Di antara rak-rak berdebu dan suara kipas yang berderit, mereka bicara soal puisi, soal hidup, soal keluarga. Surya mendengar Nayla bicara tentang ayahnya yang sudah tak pulang seminggu, dan ibunya yang kini sibuk dengan urusan hukum.
Nayla menatap Surya sejenak. “Kamu tahu nggak? Rasanya kayak enggak punya rumah, padahal rumahnya ada. Tapi dingin.”
Surya menunduk. Ia ingin meraih tangan Nayla, tapi ia tahu belum waktunya. Jadi ia hanya menjawab pelan, “Mungkin bukan rumahnya yang salah, tapi waktu yang salah. Tapi rumah bisa ditemukan… bahkan di seseorang.”
Di kejauhan, Alya mengamati dari luar toko buku. Wajahnya curiga. Ia tak percaya Surya hanya seorang mahasiswa baik-baik. Ia bersumpah akan mencari tahu siapa sebenarnya Surya, dan apakah Nayla aman bersamanya.
Sementara itu, Tian duduk di kosnya sambil membaca DM dari Surya. “Lo pernah ngerasa jatuh ke orang yang lo tahu enggak boleh lo cintai?”
Tian hanya menjawab, “Setiap cinta yang bener, awalnya memang terasa salah.”
Dan langit Yogyakarta kembali berwarna jingga, saat dua hati yang tak seharusnya bertemu, justru saling menemukan tempat pulang yang tak pernah mereka kira.
BAB 3: Jangan Jatuh Padaku
Siap?! Kita gasss ke BAB 3, makin dekat, makin manis, tapi juga makin penuh tekanan. Cinta mereka mulai tumbuh, tapi dunia mulai tak mengizinkan. Yuk!
Nayla mulai punya kebiasaan baru setiap pulang sekolah: menunggu sebentar di halte yang sama, berharap sosok Surya muncul dari arah berlawanan dengan senyum yang selalu menenangkan. Dan sore itu, harapannya dikabulkan. Surya datang, berjalan santai dengan ransel di pundaknya dan buku di tangan. Ia seperti puisi yang hidup, dan Nayla—tak ingin mengakuinya—sudah mulai jatuh terlalu dalam.
“Hari ini mau nungguin siapa, Nayla?” tanya Surya sambil duduk di sampingnya, suaranya ringan tapi matanya memerhatikan tiap gerak bibir Nayla.
“Mau nungguin bus, tapi malah dapet kamu lagi. Ya sudah, nggak apa-apa,” jawab Nayla sambil tersenyum.
Mereka tertawa, dan dunia di sekitar mereka seakan menjadi latar belakang yang kabur. Waktu berhenti ketika mereka bicara, dan tak ada yang lain yang penting selain kehadiran satu sama lain.
Di warung kopi “Lara Senja”, Tian menatap layar ponselnya sambil menggeleng. “Lo beneran suka sama anak SMA itu?”
“Iya, Tian. Tapi gue takut. Bukan takut dipenjara—tapi takut ngelukai dia,” balas Surya jujur.
Tian menghela napas. “Lo boleh cinta, tapi jangan egois. Jangan bikin dia tumbuh dalam bayangan lo kalau lo sendiri belum yakin bisa jaga dia.”
Sementara itu, Alya mulai menyusun rencana. Ia diam-diam mencari tahu nama lengkap Surya, mengintip profil media sosialnya, bahkan sampai mencari tahu fakultasnya. Semuanya demi satu hal: memastikan Nayla tidak masuk ke dalam masalah.
Pagi berikutnya, Nayla menerima pesan WhatsApp dari Alya. “Kita perlu ngobrol. Ini soal Surya.”
Dan saat mereka bertemu di taman sekolah, Alya langsung membuka dengan nada serius, “Lo tahu nggak, cowok itu udah semester akhir. Dia udah hidup di dunia yang beda. Kalau nanti lo patah hati, dia bisa pergi. Lo nggak bisa.”
Nayla menggigit bibirnya. “Aku tahu. Tapi aku juga nggak milih ini, Alya. Aku cuma… nemuin tempat tenang saat dunia aku lagi berantakan.”
Alya tak bisa berkata apa-apa. Ia tahu Nayla butuh sesuatu untuk bertahan. Tapi ia juga tahu dunia tidak seindah harapan seorang gadis 17 tahun.
Malam itu, Surya dan Nayla bertemu di toko buku yang sama. Surya memegang buku kumpulan puisi, Nayla membawa sketchbook kecil.
“Aku nggak jago gambar,” kata Nayla sambil menunjukkan sketsa wajah Surya. “Tapi… ini yang aku lihat kalau lagi mikirin kamu.”
Surya terdiam. Jantungnya seperti diikat. Ia menatap mata Nayla dan berkata pelan, “Nayla… kamu tahu ini salah, kan?”
Nayla menunduk. “Aku tahu. Makanya aku takut.”
“Kalau kamu takut, kenapa masih di sini?”
Nayla menatapnya, penuh rasa yang tak bisa ditahan. “Karena setiap kali aku pergi… aku pengin balik lagi. Ke kamu.”
Hening sejenak. Surya memegang tangan Nayla, tapi hanya sebentar. Lalu ia berkata dengan suara bergetar, “Kalau suatu hari aku nyakitin kamu, tolong ingetin aku hari ini. Hari saat kamu bilang kamu pengin balik. Karena aku juga ngerasa hal yang sama. Tapi aku… aku nggak boleh egois.”
Langit malam Yogyakarta kembali menyembunyikan bintang-bintang. Tapi dua jiwa yang terhubung, kini mulai sadar, bahwa cinta ini bukan hanya tentang rasa. Tapi tentang keberanian. Tentang memilih. Tentang menyakiti, atau melindungi.
BAB 4: Seperti Hujan di Hutan Pinus
Udara pagi di Yogyakarta basah oleh embun. Surya berdiri di depan rumah Nayla dengan helm cadangan di tangan. Motor matic-nya menyala pelan, dan ia mengenakan jaket abu-abu yang tak terlalu tebal, tapi cukup untuk menahan dingin Bukit Mangunan. Ketika pintu pagar terbuka, Nayla muncul dengan hoodie putih dan tas kecil di punggung. Wajahnya cerah meski masih setengah mengantuk.
“Kita beneran ke luar kota, Mas?” tanyanya pelan.
“Masih di Jogja. Tapi rada naik ke atas. Hutan Pinus Mangunan,” jawab Surya sambil menyodorkan helm. “Kalau kita enggak bisa nyatu di kota, mungkin hutan bisa bantu.”
Perjalanan menuju Mangunan terasa seperti perjalanan diam-diam menuju dunia lain. Jalanan mulai menanjak, udara makin dingin, dan pohon-pohon pinus mulai tampak di kiri kanan. Nayla memeluk pinggang Surya erat-erat. Ia tak berbicara, tapi degup jantungnya terasa di punggung Surya.
Sesampainya di Hutan Pinus, kabut pagi masih menggantung di sela-sela pohon. Cahaya matahari menyelinap lembut di antara batang pinus yang tinggi menjulang. Tak banyak pengunjung pagi itu, hanya suara daun gugur dan langkah kaki mereka berdua yang bergema di tanah berlumut.
“Kayak film,” bisik Nayla. “Kayak tempat orang hilang… atau jatuh cinta.”
Surya tertawa kecil. “Atau keduanya.”
Mereka berjalan menyusuri jembatan kayu kecil yang menghubungkan satu sisi hutan ke sisi lain. Setiap langkah terasa seperti menjauh dari kenyataan. Di tengah hutan, ada satu bangku kayu tua. Mereka duduk di sana, tak berbicara untuk waktu yang lama. Hanya suara alam, dan sesekali angin yang membuat daun-daun menari.
“Aku suka tempat ini,” kata Nayla akhirnya. “Di sini, enggak ada yang bisa nyalahin kita.”
Surya menatap wajah Nayla yang diterpa sinar matahari pagi. “Tapi begitu kita turun gunung… semua bakal kembali kayak semula.”
“Aku tahu,” Nayla berbisik. “Tapi hari ini… aku cuma mau jadi cewek yang jatuh cinta. Bukan siswi SMA. Bukan anak dari orang tua yang cerai. Cuma... Nayla.”
Dan Surya menjawab pelan, “Hari ini aku juga bukan mahasiswa. Aku cuma Surya. Cowok biasa, yang cuma pengin bikin kamu bahagia meskipun sehari.”
Mereka melanjutkan berjalan ke Puncak Becici, tak jauh dari sana. Dari atas, pemandangan luas terbentang: sawah, desa-desa kecil, dan kota Jogja dari kejauhan. Nayla membuka tangannya, merasakan angin menerpa wajahnya.
“Aku pengin waktu berhenti di sini,” katanya.
Surya berdiri di belakangnya. “Kalau bisa, aku pun mau. Tapi waktu itu kayak angin, Nay… kita enggak bisa tahan dia, cuma bisa ikut alurnya.”
Lalu, gerimis tipis turun. Mereka berdua tak beranjak. Hujan kecil itu seperti berkah yang membasuh luka dalam diam. Nayla menengadah, menutup matanya, membiarkan hujan mengenai wajahnya.
“Rasanya kayak mimpi, ya…” katanya pelan.
Surya menggenggam tangannya. “Kalau ini mimpi, aku enggak mau bangun.”
Di sela hujan, jauh di ujung tangga kayu, Alya berdiri dengan payung, matanya menyipit menatap pasangan itu dari jauh. Ia tak bisa menahan rasa cemas dan marah. “Nayla… kamu terlalu larut,” bisiknya sendiri.
Dan ketika hujan berhenti, Surya dan Nayla masih di sana—dua jiwa yang tahu mereka sedang menantang takdir. Tapi untuk sesaat, mereka menang.
BAB 5: Laut, Langit, dan Hal yang Tak Bisa Kita Miliki
Dua hari setelah perjalanan ke Hutan Pinus, dunia mereka mulai retak. Pesan dari Alya muncul di grup kelas: “Ada yang pacaran sama kakak mahasiswa ya? Hebat banget, bisa naik motor sampai Bukit Mangunan.” Disertai emoji menyindir dan foto blur yang jelas-jelas diambil diam-diam.
Nayla terdiam. Ia menggenggam ponsel erat-erat, jantungnya berpacu seperti genderang perang. Bukan karena malu—tapi karena takut ini akan sampai ke telinga orang tuanya. Dan ternyata, kekhawatirannya benar.
Malam itu, ibunya berdiri di ambang pintu kamar dengan tatapan tajam. “Kamu kenal cowok bernama Surya Adiwirya?”
Nayla hanya diam.
“Kamu tahu dia bukan anak SMA? Kamu tahu apa akibatnya kalau kamu main dengan orang yang jauh lebih tua dari kamu, Nayla?”
“Ibu… dia nggak kayak yang ibu pikir. Dia baik. Dia nggak pernah—”
“Dia bukan bagian dari hidup kamu! Titik!”
Setelah pintu dikunci dari luar, Nayla hanya bisa menangis. Ia merasa seperti burung kecil yang dipaksa tinggal di sangkar. Satu-satunya tempat pelariannya adalah Surya. Dan ia tahu ke mana harus pergi.
Pagi-pagi buta, Nayla kabur dari rumah. Ia sudah mengirim pesan singkat ke Surya: “Aku pengin lihat laut. Aku pengin lari.”
Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di tepi Pantai Parangtritis. Ombak besar bergulung, angin pantai menampar wajah mereka dengan aroma garam dan kebebasan. Pasir hitam terasa hangat di telapak kaki mereka.
“Parangtritis itu tempat rindu,” kata Surya sambil menatap horison. “Orang datang ke sini buat ninggalin sesuatu, atau nyari sesuatu.”
“Aku pengin ninggalin rasa takut,” jawab Nayla pelan. “Dan nyari alasan buat percaya lagi.”
Mereka berjalan menyusuri pantai, tak berkata-kata. Angin membuat rambut Nayla berantakan, dan Surya membantunya mengikatnya ke belakang. Sentuhan itu kecil, tapi terasa seperti dunia menyetujui mereka.
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Gumuk Pasir Parangkusumo. Di tengah padang pasir kecil itu, Nayla berdiri sambil memejamkan mata. Surya mengambil foto diam-diam, tak untuk disimpan, tapi untuk dikenang.
“Aku selalu ngerasa kayak kamu bukan dari dunia yang sama,” kata Nayla. “Tapi di tempat ini… kita nyatu.”
“Tempat ini emang aneh. Kayak bukan Jogja,” balas Surya sambil tersenyum.
Hari hampir sore ketika mereka naik ke Tebing Breksi. Dari atas batuan kapur yang curam dan diukir dengan relief megah, mereka memandang langit yang mulai berwarna jingga. Surya menggenggam tangan Nayla, erat.
“Nay… kalau ini terakhir kalinya kita bisa ketemu kayak gini, kamu bakal nyesel?”
Nayla menatap matanya, matanya merah karena angin dan emosi. “Aku nggak bakal nyesel pernah milih kamu. Tapi aku bakal nyesel kalau kita nyerah.”
“Kalau dunia bilang kita salah?”
“Kita buktiin kalau cinta kita nggak sesempit aturan mereka.”
Tiba-tiba, ponsel Nayla berdering. Ayahnya menelepon. Tiga belas panggilan tak terjawab. Dunia nyata sedang mengejar mereka.
“Aku harus balik,” kata Nayla pelan.
Surya mengangguk. “Aku tahu.”
“Tapi janji satu hal,” ucap Nayla, menahan air mata. “Kalau suatu hari aku nggak bisa lagi nyari kamu… kamu yang cari aku.”
Surya mencium kening Nayla. “Aku akan cari kamu. Sampai ke ujung tebing ini. Sampai laut berhenti berombak.”
Langit menjadi saksi, dan batu-batu kapur menyimpan jejak langkah mereka. Cinta mereka diuji, bukan hanya oleh waktu—tapi oleh batas, oleh dunia, oleh orang-orang yang tak pernah benar-benar mengerti.
BAB 6: Saat Dunia Menjadi Diam
Hari-hari setelah perjalanan ke Tebing Breksi terasa seperti dunia berhenti berputar. Nayla dikurung total. Tak ada ponsel, tak ada akses keluar rumah. Ayahnya bahkan mengganti kunci pagar. Ia hanya bisa memandang langit dari balik jendela, dan berharap angin membawa namanya sampai ke Surya.
Sementara itu, Surya duduk termenung di sebuah warung kopi kecil di daerah Kotagede. Tempat itu sepi, hanya ada suara clinking cangkir dan musik jazz pelan dari pengeras suara lawas. Ia menatap sepotong surat yang belum pernah dikirim. Surat untuk Nayla. Ia menuliskannya semalam setelah pulang dari Parangtritis.
Nayla, aku tahu dunia tidak berpihak pada kita. Tapi kalau cinta ini salah, kenapa rasanya begitu benar? Kalau kamu membaca ini suatu hari nanti, aku harap kamu masih ingat aku… seperti aku mengingatmu di setiap hembusan angin malam Jogja.
Kotagede dengan rumah-rumah tua dan lorong sempit seperti menyimpan gema masa lalu. Setiap langkah di gang-gang itu terasa seperti menyusuri hati sendiri—berliku, sepi, dan penuh jejak kenangan yang tak bisa dihapus.
Sore harinya, Surya menuju Taman Sari. Kompleks keraton yang dulu menjadi taman rahasia para bangsawan, sekarang jadi tempat pelarian bagi pria yang sedang mencari jawaban. Ia duduk di pinggir kolam, menatap air tenang yang memantulkan langit mendung.
“Kalau kamu di sini, Nay… mungkin kita bisa nyelam di kolam ini dan ngilang bareng. Jadi legenda,” gumamnya sambil tersenyum getir.
Hari-hari berikutnya diisi dengan penantian. Surya tetap mengirimkan surat lewat email—walau tak tahu apakah Nayla bisa membacanya. Ia menuliskan puisi, kenangan, dan harapan kecil. Di malam hari, ia pergi ke Bukit Bintang, menatap kelap-kelip lampu kota Jogja, berharap satu di antaranya adalah Nayla yang mengirim sinyal.
Sementara itu di rumahnya, Nayla kembali menulis di buku hariannya. Halaman-halaman yang penuh goresan tinta air mata. Ia tulis semuanya—tentang laut, tentang pasir, tentang tebing, tentang tangan Surya yang tak mau melepas.
Surya… dunia kita mungkin berbeda. Tapi jiwaku milikmu. Aku akan tetap tunggu hari di mana kita bisa jalan lagi… bahkan kalau itu harus dimulai dari gang sempit Kotagede atau taman rahasia di Taman Sari.
Waktu berjalan. Tak ada pesan. Tak ada suara. Tapi cinta mereka tetap hidup dalam diam. Dan di sebuah sore yang hening, ibu Nayla diam-diam masuk ke kamarnya, membaca salah satu halaman di buku harian itu, dan terdiam lama.
Keesokan harinya, ia mendekati suaminya dan berkata, “Mungkin… kita salah. Kita terlalu takut anak kita jatuh, sampai lupa bahwa dia sedang tumbuh.”
Tak ada keputusan langsung. Tapi ada retakan kecil di tembok larangan. Dan dari sanalah cahaya mulai menyelinap.
BAB 7: Pelangi di Tengah Gelap
Alya: “Dia bisa keluar malam ini. Setengah jam lagi. Lokasi: Taman Pelangi, Monjali. Tapi cuma 1 jam, Sur. Jangan sampai ketahuan.”
Jantung Surya langsung melompat. Ia menghidupkan mesin motornya tanpa pikir panjang dan melaju cepat ke Taman Pelangi Monjali. Lampu-lampu warna-warni berbentuk bunga, kupu-kupu, dan pelangi yang melengkung tinggi menyambutnya seperti lorong ajaib.
Dan di bawah cahaya pelangi buatan itu… Nayla berdiri.
Ia mengenakan jaket hitam dan masker, tapi Surya tahu itu dia dari caranya berdiri. Dari matanya yang langsung berair saat mereka bertatapan.
Surya menghampirinya perlahan. Tak ada pelukan. Tak ada teriakan rindu. Hanya hening. Tapi hening yang dalam, yang berbicara lebih keras dari kata-kata.
“Aku kangen kamu,” bisik Nayla, suara bergetar. “Kayak... sesak.”
Surya menggenggam tangannya. “Aku nunggu setiap malam. Aku kirim email, kamu baca nggak?”
“Aku baca semuanya… di kepala. Karena nggak bisa buka HP.”
Mereka berjalan menyusuri taman, di antara lampion-lampion yang bersinar. Taman Pelangi malam itu seperti tempat lain. Dunia yang lupa pada mereka. Di sanalah, Surya mengusap pipi Nayla, dan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, ia tersenyum lepas.
“Besok… aku mau bawa kamu ke tempat yang lebih jauh,” bisik Surya. “Ke tempat yang bikin kita lupa dunia.”
Dan keesokan harinya, dengan bantuan Alya yang berpura-pura menemani “belajar kelompok”, Nayla dan Surya naik motor ke Museum Ullen Sentalu—sebuah museum budaya Jawa yang tersembunyi di lereng Merapi. Di dalam bangunan tua dan taman-taman rahasia, mereka berjalan berdampingan, membaca surat cinta kuno dari masa kerajaan, memandang lukisan perempuan bangsawan yang kisahnya seperti bayang-bayang kisah mereka.
“Aku suka tempat ini,” kata Nayla. “Seolah waktu di sini nggak berlaku.”
“Kayak kita,” bisik Surya. “Di luar kita diburu waktu, tapi di sini… kita tetap.”
Sore mulai turun, dan mereka melaju naik ke Kaliurang, sebuah kawasan dingin di atas bukit. Di sana, di pinggir warung kecil dengan lampu remang dan kabut tipis menggantung, mereka minum wedang jahe sambil memandang kota Jogja dari kejauhan.
Angin menyapu rambut Nayla. Ia bersandar di bahu Surya.
“Kalau waktu berhenti sekarang, aku rela,” katanya.
“Tapi aku pengen waktu terus jalan,” balas Surya, “biar kita bisa sampai ke hari di mana nggak ada lagi pertemuan sembunyi-sembunyi kayak gini.”
Di kejauhan, cahaya kota Jogja berkilauan seperti ribuan harapan kecil. Dan malam itu, mereka berjanji dalam diam: apapun yang terjadi, mereka akan terus cari cara untuk saling menemukan… dan tetap bertahan.
Baca juga:
sekuel Elara: Bayang di Balik Tahta.
Komentar
Posting Komentar