Genre; fantasi, petualangan, drama, emosional, romantis Setting Tempat: Kabupaten Jember BAB 1 – AKU, JAKA Namaku Jaka. Seorang mahasiswa semester tujuh jurusan Kimia, Fakultas MIPA, di salah satu universitas negeri di kota Jember. Di usia dua puluh dua tahun ini, aku merasa seperti berada di ujung tebing, menatap jurang bernama “Drop Out” yang seakan siap menelanku kapan saja. Nilai-nilaiku kacau, tugas menumpuk, dan aku sudah tak tahu lagi bagaimana menjelaskan kegagalan ini pada orang tuaku. Pernah satu malam aku duduk termenung di atap kos, menatap bulan yang dingin, berharap waktu bisa mundur sebentar agar aku bisa memperbaiki semuanya. Tapi harapan itu selalu kandas oleh kenyataan: aku tersesat di jalan yang aku pilih sendiri. Aku tinggal di sebuah kamar kos kecil di daerah Sumbersari, tak jauh dari kampus. Kamarku sempit, dengan satu kasur tipis, meja belajar penuh buku-buku sejarah dan catatan kuliah yang sudah lama tak tersentuh. Di dinding, tergantung rak kayu yan...
Baca Juga "Bayangan di Balik Waktu" BAB 1 – KEMBALI KE MASA DEPAN Cahaya putih menyilaukan mengelilingi Elara. Tubuhnya terasa melayang, seolah dipeluk oleh angin dari segala arah. Tidak ada suara, tidak ada waktu. Hanya getaran aneh yang menusuk tulangnya, lalu... sunyi. Tiba-tiba ia jatuh keras ke permukaan logam dingin. Matanya terbelalak. Ia mengenali kota itu tapi semuanya salah. Terlalu terang, terlalu bersih, terlalu asing. Langit di atasnya dipenuhi pesawat-pesawat tanpa awak yang melintas cepat seperti burung digital. Jalanan bersih, tapi sepi dari manusia. Mobil-mobil tanpa sopir berderet rapi, layar hologram menari-nari di udara, menyapa siapa saja yang lewat. Elara terduduk lemas. Ini bukan kota yang ia tinggalkan. Ini... dunia yang telah berubah. Seorang wanita dalam seragam logam mendekat dengan wajah cemas, "Apakah Anda baik-baik saja, Tuan?" Suaranya datar, terlalu sempurna. Matanya memindai Elara dari ujung rambut hingga kaki, lensa digital di ...
Baca juga : Bayangan di Balik Waktu BAB 1 – Hening yang Meresahkan Langit Majapahit berwarna jingga keemasan saat Elara berdiri di puncak balairung istana. Angin lembut menerpa rambutnya yang kini sedikit lebih panjang. Ia menghirup udara pagi itu dalam-dalam, mencoba merasa damai—namun perasaannya justru berkata sebaliknya. “Ada yang aneh dengan pagi ini,” gumamnya pelan. Di bawahnya, kehidupan berjalan seperti biasa: pedagang membuka lapak, suara genderang latihan prajurit terdengar dari kejauhan, dan aroma rempah dari dapur istana tercium samar. Tapi bagi Elara, semuanya terasa... terlalu tenang. Lintang, yang kini menjadi pendampingnya dalam banyak urusan, datang membawakan gulungan naskah. “Ada laporan dari Patih Reksawira. Gerakan dagang dari timur mendadak terhenti.” “Apakah karena cuaca?” tanya Elara sambil membuka gulungan itu. Lintang menggeleng. “Tidak. Mereka bilang... langit malam berubah warna. Seperti cahaya aurora. Dan ada suara gemuruh d...
Komentar
Posting Komentar