MASA DEPANKU DI MASA LALU

 Genre; fantasi, petualangan, drama, emosional, romantis

Setting Tempat: Kabupaten Jember


BAB 1 – AKU, JAKA

Namaku Jaka. Seorang mahasiswa semester tujuh jurusan Kimia, Fakultas MIPA, di salah satu universitas negeri di kota Jember. Di usia dua puluh dua tahun ini, aku merasa seperti berada di ujung tebing, menatap jurang bernama “Drop Out” yang seakan siap menelanku kapan saja. Nilai-nilaiku kacau, tugas menumpuk, dan aku sudah tak tahu lagi bagaimana menjelaskan kegagalan ini pada orang tuaku. Pernah satu malam aku duduk termenung di atap kos, menatap bulan yang dingin, berharap waktu bisa mundur sebentar agar aku bisa memperbaiki semuanya. Tapi harapan itu selalu kandas oleh kenyataan: aku tersesat di jalan yang aku pilih sendiri.

Aku tinggal di sebuah kamar kos kecil di daerah Sumbersari, tak jauh dari kampus. Kamarku sempit, dengan satu kasur tipis, meja belajar penuh buku-buku sejarah dan catatan kuliah yang sudah lama tak tersentuh. Di dinding, tergantung rak kayu yang aku isi dengan buku-buku tua—sebagian aku temukan di lapak loakan dekat kampus, sebagian lain warisan dari almari buku kakekku. Meskipun aku kuliah di jurusan Kimia, entah mengapa aku selalu tertarik pada sejarah, terutama tentang kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Buku-buku tentang Majapahit, Sriwijaya, hingga kerajaan-kerajaan kecil seperti Sadeng, selalu membuatku terhanyut dalam imajinasi masa lalu.

Setiap malam sebelum tidur, aku punya ritual pribadi: menonton video YouTube bertema sejarah atau film kartun lawas dari era 90-an. Sebuah pelarian yang aneh, mungkin, tapi itu cara terbaikku menghindari rasa bersalah karena menelantarkan studiku. Dunia modern terasa terlalu bising untukku. Aku merasa tidak cocok dengan ritme cepat perkuliahan, dengan target-target akademik, dengan sistem yang menuntut angka tapi melupakan makna. Bahkan ketika dosen menyebutkan bahwa aku sudah hampir habis masa studi, aku hanya bisa mengangguk dengan wajah datar. Apa lagi yang bisa kulakukan?

Suatu sore, aku duduk sendirian di pojok perpustakaan kampus, membaca ulang catatan dari semester pertama. Di sekelilingku, mahasiswa berlalu-lalang dengan semangat mengejar mimpi mereka. Sementara aku, masih duduk di tempat yang sama, tak bergerak, seolah waktu berhenti untukku. Aku tidak bodoh, aku hanya kehilangan arah. Aku tak tahu lagi apakah ini jalur yang benar, atau aku hanya sedang terperangkap di dalam cerita yang bukan untukku.

Pernah suatu kali ibuku menelepon, suaranya lembut seperti biasa. “Jaka, kamu sehat, Nak?” tanyanya. Dan seperti biasa, aku menjawab, “Iya, Bu. Baik. Nilai juga lumayan.” Padahal kenyataannya aku belum mengisi KRS, belum ikut beberapa UTS, dan sudah dapat peringatan akademik dari fakultas. Aku tahu aku membohongi orang tuaku, tapi aku tak sanggup membuat mereka kecewa. Ayah bekerja keras sebagai guru SMA, ibuku mengelola toko kelontong kecil di kampung. Aku adalah harapan mereka, satu-satunya anak laki-laki yang katanya akan membawa nama keluarga ke jenjang yang lebih tinggi.

Satu-satunya hal yang memberiku sedikit pelipur lara adalah dunia fiksi—buku, sejarah, dan film. Aku suka membaca tentang tabib-tabib di masa lalu, tentang strategi perang kerajaan, tentang bagaimana orang hidup dan mati demi kehormatan dan cinta. Mungkin karena dalam dunia itu, segala sesuatu memiliki tujuan yang jelas, tidak seperti dunia modern yang terasa abu-abu dan penuh kebisingan. Pernah terlintas dalam pikiranku: bagaimana rasanya hidup di masa lampau, ketika kehormatan lebih berharga dari angka IPK?

Di kampus, aku bukan siapa-siapa. Teman-teman sudah sibuk skripsi atau kerja paruh waktu, sementara aku masih berkutat dengan remedial dan tugas akhir yang tak kunjung rampung. Aku lebih sering sendirian, jalan kaki ke kampus atau naik motor matik butut yang sering mogok. Suatu hari, motorku berhenti tiba-tiba di tengah jalan, dan aku hanya bisa tertawa miris. Seolah benda tua itu tahu betul isi hatiku: penuh keraguan dan ketidakpastian.

Namun, di balik semua itu, aku punya satu kekuatan kecil: rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu yang tak pernah padam tentang masa lalu, tentang kehidupan sebelum teknologi mengambil alih, tentang bagaimana manusia dulu menghadapi rasa takut, cinta, dan harapan. Aku membayangkan menjadi seorang pengembara, atau tabib, atau pangeran yang menyamar, menjelajahi kerajaan demi mencari makna hidupnya. Terdengar konyol, mungkin, tapi itu satu-satunya hal yang membuatku tetap bertahan.

Malam itu, seperti biasa, aku membaca buku tentang Kerajaan Sadeng. Kerajaan kecil yang dulunya berada di wilayah selatan Jember. Tidak banyak yang tahu soal kerajaan ini, tapi aku menemukannya di arsip lama perpustakaan. Sadeng pernah menjadi salah satu lumbung pangan bagi Majapahit. Sebuah kerajaan yang kecil tapi penting, dan konon memiliki banyak misteri yang belum terungkap. Aku membayangkan diri hidup di zaman itu, menjadi bagian dari kisah yang hilang dalam catatan sejarah.

Sambil membaca, aku sesekali menatap langit malam dari jendela kamar kosku. Kota Jember tertidur dalam cahaya remang-remang lampu jalanan. Di kejauhan, Gunung Argopuro berdiri diam, siluetnya samar seperti bayangan dari masa lalu. Aku merasa ada sesuatu yang memanggilku dari balik waktu, sesuatu yang lebih dari sekadar imajinasi. Mungkinkah aku terlalu larut dalam dunia fiksi sampai mulai kehilangan pijakan di dunia nyata?

Namun, satu hal yang pasti, aku masih di sini—di kamar kos kecil, dengan secangkir kopi dingin di atas meja, dan dunia masa lalu yang hanya hidup di dalam buku. Aku tak tahu bahwa esok hari segalanya akan berubah. Aku tak tahu bahwa takdirku bukan berada di ruang kelas atau laboratorium kampus. Takdirku akan melintasi waktu. Menuju masa lalu yang dulu hanya aku baca… dan kini akan menjadi kehidupanku yang baru.


BAB 2 – PERJALANAN YANG TAK PERNAH KEMBALI

Pagi itu seperti pagi biasanya. Jaka mengenakan jaket tipis abu-abu yang sudah mulai memudar warnanya. Di bawahnya, kaus oblong bertuliskan nama band favoritnya yang sudah tak relevan lagi bagi anak-anak sekarang. Ia memasukkan dua buku catatan ke dalam tas selempang cokelat yang mulai terkelupas di ujungnya. Dengan langkah malas, ia turun dari kamar kos menuju halaman parkir. Di sana, motor matik tua berwarna merah kusam menantinya. Motor yang sudah sering mogok, namun tak pernah benar-benar mengecewakannya. Jaka menyebutnya "Si Butut"—kendaraan setia yang menemaninya ke kampus, ke warung kopi, hingga ke perpustakaan tempat pelariannya.

Mesin motor meraung serak ketika dinyalakan. Asap putih tipis mengepul dari knalpotnya. Dengan helm usang yang talinya sudah longgar, Jaka melaju pelan menyusuri jalan sempit menuju kampus. Udara pagi Jember masih lembab, dengan sedikit kabut yang turun dari arah pegunungan. Ia menyusuri Jalan Kalimantan, melewati pedagang kaki lima yang menjual sarapan, tukang tambal ban, dan mahasiswa lain yang juga tergesa-gesa menuju kampus. Jaka tidak terburu-buru. Mata kuliah Kimia hari ini sudah sangat akrab baginya—lebih karena sudah tiga kali mengulang daripada karena ia benar-benar menguasainya.

Sesampainya di kampus, Jaka memarkir motornya di bawah pohon mahoni yang rindang. Ia berjalan memasuki gedung perkuliahan, mengikuti kuliah dengan kepala setengah sadar, mencatat seadanya, dan sesekali melirik jam tangan digital murahnya. Seperti biasanya, pikirannya mengembara entah ke mana—mungkin kembali ke halaman-halaman buku sejarah yang belum selesai dibacanya, atau ke dalam adegan film kartun yang ia tonton semalam. Kuliah terasa seperti formalitas yang melelahkan. Ia hanya menunggu waktu agar bisa segera kembali ke tempat favoritnya: perpustakaan.

Setelah kuliah usai, Jaka bergegas menuju parkiran. Sinar matahari mulai menyengat kulit, dan keringat sudah membasahi pelipisnya. Ia menaiki motornya dan kembali menyusuri jalan utama kampus, kali ini menuju perpustakaan yang berada di ujung barat kampus. Namun takdir telah menuliskan cerita lain di balik sinar terang siang itu. Ketika ia melintas di tikungan dekat gedung rektorat, suara klakson nyaring menembus udara, disusul teriakan panik dari arah berlawanan. Hanya dalam sepersekian detik, Jaka menoleh ke kiri dan melihat sebuah motor melaju tak terkendali ke arahnya.

“Astaga...!” pekiknya lirih, tapi sudah terlambat.

Motor itu menghantam bagian depan motornya dengan keras. Dentuman logam dan plastik bersatu dalam ledakan suara yang memekakkan. Tubuh Jaka terlempar beberapa meter, terjatuh menghantam aspal yang panas dan kasar. Pandangannya langsung buram, dunia seolah berputar, dan seluruh tubuhnya seperti kehilangan gravitasi. Suara orang-orang yang berteriak panik menjadi gema yang jauh dan tak jelas. Ia bisa mendengar langkah-langkah tergesa, suara seseorang memanggil namanya, dan deru kendaraan yang mendadak berhenti di sekelilingnya.

“Mas! Mas, sadar, Mas?!” suara perempuan terdengar cemas, tetapi Jaka tak mampu merespon.

Ia ingin membuka mata, ingin menjawab, tapi tubuhnya berat, sangat berat. Udara seperti menolak masuk ke dalam paru-parunya. Rasa nyeri menjalar dari pundak ke dada, lalu ke kepala. Darah terasa hangat di sisi wajahnya. Ia tidak tahu bagian mana yang terluka, tapi rasa sakit itu nyata. Namun lebih dari itu, yang paling menakutkan adalah rasa melayang—rasa seperti kehilangan pijakan antara dunia nyata dan entah apa.

“Ambulans! Tolong panggil ambulans!” teriak seseorang.

Tapi suara itu terdengar jauh, seolah berasal dari dunia lain. Jaka merasakan sesuatu yang aneh: tubuhnya terasa dingin meskipun sinar matahari masih menyengat. Perlahan, matanya mulai tertutup, bukan karena ia ingin tidur, tapi karena cahaya perlahan memudar. Ia mencoba mengingat nama orang tuanya, mencoba mengingat nama-nama teman kuliahnya. Tapi semuanya kabur. Yang tertinggal hanya suara detak jantung yang kian pelan, dan suara desir angin yang entah datang dari mana.

Di antara kesadaran yang memudar, Jaka merasa bumi berputar di bawah tubuhnya. Semua benda seperti berputar dan bergeser. Ia merasa seolah-olah sedang ditarik oleh kekuatan besar yang tak kasat mata. Tubuhnya ringan, lalu berat, lalu ringan lagi. Tidak ada rasa sakit, hanya kehampaan. Dan kemudian, segalanya menjadi gelap. Pekat. Hening. Tak ada suara, tak ada cahaya. Dunia seperti mati untuknya, dan ia tidak tahu apakah ia sedang tidur... atau sedang mati.

Dalam kehampaan itu, satu kilasan memori muncul—siluet Gunung Argopuro yang ia tatap dari jendela kamarnya semalam. Entah kenapa, bayangan itu begitu jelas. Seolah gunung itu sedang menatapnya kembali, memanggilnya untuk datang. Sebuah panggilan yang tak bisa ia tolak. Panggilan dari sesuatu yang jauh... dan kuno.

Waktu berhenti. Nafas terakhirnya tertahan. Jaka tidak lagi mendengar suara sirine ambulans. Ia tidak lagi merasakan tubuhnya di aspal. Hanya gelap, gelap yang tenang. Dan dalam kegelapan itu, pelan-pelan sebuah cahaya samar muncul. Cahaya hangat yang bukan berasal dari lampu jalan atau langit kota... tapi dari obor. Obor di lorong-lorong kayu. Cahaya dari masa lalu.

Jaka tidak tahu bahwa saat ia memejamkan mata dalam dunia modern, ia akan membukanya kembali di dunia yang berbeda. Dunia yang telah lama hilang dari peta. Dunia tempat sejarah menjadi kenyataan. Dunia tempat namanya bukan lagi Jaka... tapi Saka.


BAB 3 – BAYANGAN YANG TAK AKU KENALI

Cahaya keemasan menembus celah-celah kisi kayu di atas kepala, menari perlahan di antara kabut kesadaran yang masih menggantung di kepala Jaka. Ia mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat, namun perlahan ia mulai menyadari bahwa dirinya masih hidup. Atau, setidaknya, belum sepenuhnya mati. Aroma kayu, campuran minyak sereh, dan entah apa lagi yang asing memenuhi udara. Saat ia membuka mata sepenuhnya, yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit dari kayu gelondongan, lengkap dengan ukiran bunga-bunga kecil yang tak dikenalnya. Dinding di sekelilingnya bukan tembok semen, melainkan papan-papan kayu rapi yang dipaku tanpa paku logam. Ada tiang penyangga besar di setiap sudut ruangan, membuatnya seperti berada di rumah panggung tempo dulu.

Jaka menegakkan tubuhnya perlahan, tubuhnya terasa berat, tapi tidak sakit. Ia memutar kepala, dan baru menyadari bahwa ruangan tempat ia berada dipenuhi oleh orang-orang. Pria dan wanita dari berbagai usia duduk bersila di lantai, mengenakan pakaian panjang dari kain tenun dan batik, berwarna coklat, merah tua, dan hitam. Beberapa dari mereka menunduk dalam diam, sementara yang lain menatap ke arahnya dengan mata berkaca-kaca, seolah baru saja melihat keajaiban. Seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis haru, dan segera berdiri menghampiri.

“Saka… Nak Saka... puji syukur kau sudah sadar, Nak…” ucap wanita itu lirih sambil menyentuh bahunya dengan tangan gemetar. Air mata jatuh di pipinya yang mulai keriput, namun sorot matanya penuh cinta.

Jaka hanya bisa menatapnya bingung. ‘Saka?’ pikirnya. Siapa itu? Mengapa dia memanggilku begitu? Dan kenapa semua orang di ruangan ini berpakaian seperti pemeran sinetron kerajaan di televisi? Jaka berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya gelap. Kecelakaan. Motor menabraknya. Suara klakson. Dentuman keras. Dan… kegelapan. Tapi sekarang? Ia berada di ruangan asing, dikelilingi oleh orang-orang yang tampak hidup di abad ke-13.

Suara-suara pelan mulai terdengar. Seseorang berkata, “Ajaib... Gusti Allah paring mukjizat. Saka slamet...” yang lain berbisik, “Aku kira dia sudah tidak akan kembali...” Jaka makin bingung. Ia menyandarkan punggung pada dinding kayu di belakangnya, mencoba mengatur napas. Jantungnya masih berdegup cepat. ‘Apa ini mimpi? Apakah aku belum sadar sepenuhnya?’ pikirnya sambil mencubit lengan sendiri. Nyeri. Nyata.

Ketika pandangannya menyapu seluruh ruangan, matanya menangkap kilauan logam di sudut ruangan. Sebuah lempengan tembaga, digantungkan di atas meja persegi kecil. Mungkin digunakan sebagai cermin. Tanpa sadar, ia bangkit dan menghampirinya. Langkah-langkahnya berat, tapi stabil. Ia menunduk dan menatap bayangannya. Lalu, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat. Di sana, bukan wajah Jaka si mahasiswa semester tujuh dari Jember yang ia lihat. Tapi seorang pemuda berwajah cerah, kulit putih bersih, rambut tebal, dan mata tajam. Usianya sekitar 17 tahun. Tubuhnya tegap, mengenakan pakaian kain panjang yang dililit di pinggang, lengkap dengan selendang berwarna merah tua.

“Itu... bukan aku...” gumamnya. Tapi suaranya sendiri terasa aneh di telinga. Lebih muda, lebih jernih. Ia menyentuh pipinya dan wajah di pantulan ikut bergerak. Ia memutar kepala, menunduk, dan wajah itu melakukan hal yang sama. Tidak ada keraguan. Dirinya kini berada dalam tubuh orang lain. Dalam tubuh seorang anak muda yang... tampaknya sangat dihormati oleh semua orang di ruangan ini.

“Panjenengan tenang mawon, Raden. Sampeyan sampun selamet saking ciloko niku,” suara seorang pria tua menggetarkan kesadarannya. Lelaki itu tampaknya semacam penasihat atau orang terpandang. Tubuhnya kurus, tapi cara bicaranya lembut dan penuh wibawa.

Jaka menatapnya, mencoba meresapi ucapan dalam bahasa Jawa halus yang ia pahami sebagian besar artinya. "Ciloko" berarti kecelakaan. Jadi, tubuh ini... tubuh pemuda bernama Saka... juga mengalami kecelakaan? Dan aku... menggantikannya?

Suasana dalam ruangan mulai sedikit reda. Orang-orang mulai keluar satu per satu, menyisakan hanya beberapa orang terdekat. Salah satunya kembali menjelaskan bahwa Saka, putra dari saudagar ternama Kerajaan Sadeng, mengalami kecelakaan saat pulang dari Majapahit setelah mengantar bahan pangan. Kudanya liar, keretanya terguling, dan ia ditemukan tergeletak tak sadarkan diri oleh para pengawal yang menyusulnya di jalanan hutan. Semua mengira Saka akan mati. Tapi sekarang, ‘keajaiban’ telah terjadi.

Jaka hanya bisa menyimak, menyembunyikan keterkejutannya di balik diam yang dalam. Dalam hatinya berkecamuk tanya tak berujung. Dimensi apa ini? Apakah ini masa lalu? Apakah ini sejenis mimpi yang luar biasa nyata? Atau lebih gila lagi—apakah ia mengalami reinkarnasi?

Saat orang-orang mulai sibuk mempersiapkan ramuan untuk pemulihan fisik Saka, Jaka duduk diam di atas bale-bale kayu. Ia mengamati sekeliling, menghafal detail ruangan, suara di luar, dan aroma yang tak ia kenali. Tapi satu hal pasti—ini bukan dunia yang ia kenal. Dan yang lebih penting lagi... dia harus berpura-pura menjadi orang lain agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia kini adalah Saka, pemuda bangsawan muda dari Sadeng.

Dalam malam yang sunyi, ketika semua orang telah tertidur, Jaka duduk di pinggir jendela. Di luar sana, langit bertabur bintang yang tak terhalang cahaya lampu kota. Suara binatang malam bersahutan, dan angin membawa aroma kayu dan tanah basah. Ia menarik napas dalam-dalam. Hatinya campur aduk. Takut. Bingung. Tapi juga... penasaran. Dunia ini benar-benar nyata. Dan ia telah menjadi bagian dari sejarah yang dulu hanya bisa ia baca dari buku perpustakaan.

Jaka, mahasiswa biasa yang hampir DO, kini menjelma menjadi Saka, anak saudagar terpandang di era kerajaan. Ia tahu satu hal: rahasia ini harus ia simpan. Dunia tidak siap mengetahui bahwa jiwa dari masa depan kini menempati tubuh pemuda masa lalu. Dan mungkin... mungkin memang takdirnya ada di sini. Di masa lalu yang tak pernah ia bayangkan.


BAB 4 – DI BALIK SENYUM MANIS GADIS PUTRI SEORANG TABIB

Hari-hari pertama setelah kesembuhan Saka dihabiskan untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas baru yang begitu asing bagi Jaka—atau kini, dirinya sebagai Saka. Ia mulai terbiasa bangun pagi dengan suara ayam jantan, sarapan bubur jagung dan ikan asin, lalu berjalan kaki ke pasar besar Kadipaten bersama ayahnya yang dipanggil Ki Danang oleh para warga. Ki Danang adalah seorang saudagar terpandang yang memiliki kios cukup luas di sisi timur pasar, tepat di dekat pelataran yang sering digunakan para prajurit jaga Kadipaten berlatih bela diri. Pasar itu sendiri ramai dari fajar hingga menjelang senja, menjadi pusat perdagangan utama untuk rakyat Sadeng dan sekitarnya. Dari hasil bumi, pakaian, garam, hingga rempah-rempah semuanya ada di sana.

Jaka mulai belajar bagaimana berdagang secara langsung—menimbang beras dengan takaran kayu, menakar garam dengan kantung kain, dan tentu saja, melayani pelanggan dengan sopan santun khas masyarakat kerajaan. Ayahnya sempat heran dengan perubahan sikap putranya. Saka yang dahulu dikenal pendiam dan cenderung tertutup, kini menjadi lebih ramah, lebih cepat belajar, dan bahkan terlihat menikmati berinteraksi dengan orang-orang.

Suatu siang, ketika matahari mulai condong ke barat dan bayangan tiang pasar memanjang, Saka melihat seorang gadis berdiri ragu di depan kios. Ia mengenakan kain berwarna biru laut dan selendang putih yang disampirkan ke bahu. Rambutnya dikepang rapi dan kulitnya cerah. Mata gadis itu mengedarkan pandangan, dan ketika pandangannya bertemu dengan Saka, ia mengangguk sopan. “Ampun, Paman, saya hendak membeli garam dan beras.”

Saka tersenyum. “Tentu, Nimas. Berapa banyak yang panjenengan perlukan?”

“Garam satu kati, beras dua kati saja,” jawab gadis itu sambil menyodorkan kantung kecil dari anyaman pandan. Saka mulai menimbang, tapi matanya tak bisa lepas dari wajah si gadis. Ia ingin tahu siapa dia, dari mana asalnya, dan kenapa rasanya seperti dunia sekitar mendadak hening saat gadis itu berbicara.

“Nama panjenengan siapa, Nimas?” tanya Saka sambil tersenyum hati-hati. Gadis itu tampak malu-malu, namun menjawab tanpa ragu.

“Laras,” ujarnya pelan, sembari menunduk sopan. “Putri dari Tabib Darma.”

Nama itu langsung melekat dalam kepala Saka seperti mantra. Sejak pertemuan itu, mereka kerap bertemu—entah ketika Laras berbelanja, atau sekadar menyapa saat lewat di pasar. Saka merasa ada getaran asing dalam dadanya tiap kali gadis itu datang. Laras bukan hanya cantik, tapi juga punya sorot mata yang tajam, penuh percaya diri. Dan lebih dari itu, dia seperti pintu menuju dunia lain—dunia yang lebih dalam di balik hiruk-pikuk Sadeng.

Suatu pagi, setelah beberapa kali bertukar sapa dan cerita ringan, Saka memberanikan diri bertanya di mana tempat tinggal Laras. Dengan senyum tenangnya, Laras menunjuk ke arah barat daya pasar. “Tidak jauh dari sini, di balik ladang singkong. Rumah kami di dekat hutan kecil. Banyak orang datang ke sana mencari obat.”

Maka siang itu, usai pasar mulai sepi dan kios ditutup lebih awal, Saka melangkah menyusuri jalan tanah yang dikelilingi pohon randu dan pisang. Ia membawa sekeranjang kecil berisi buah dan sedikit kain tenun untuk oleh-oleh. Hatinya berdebar, langkahnya terasa ringan. Rumah Tabib Darma ternyata cukup besar, dikelilingi pagar kayu rendah. Halamannya luas dan ditanami ratusan tanaman aneh—berdaun lebar, berduri, dan beberapa bahkan berbau menyengat.

Laras sudah menunggunya di depan rumah, berdiri dengan senyum ramah. “Saka, panjenengan datang juga. Monggo, masuk.”

Saka masuk ke halaman, matanya terbelalak melihat deretan pot tanah liat yang berisi tanaman obat. Beberapa pria muda—murid tabib tampaknya—tengah menyirami dan merawat tanaman tersebut. Di sudut halaman, ada bangku bambu tempat Laras biasa membaca atau membantu ayahnya meracik ramuan. Rumah itu sederhana tapi teduh. Di dalam, aroma rempah dan akar-akaran menyambut seperti pelukan.

Tabib Darma, ayah Laras, menyambut dengan ramah. Ia pria berumur sekitar lima puluh tahun dengan janggut putih tipis dan mata yang dalam. Pembawaannya tenang, seperti air yang mengalir. Ia mengajak Saka duduk, menyuguhkan air jahe hangat dan mulai berbicara tentang tanaman dan dunia pengobatan.

“Panjenengan suka tanaman obat, Raden Saka?” tanya Tabib Darma sambil menyeruput minuman. “Saya melihat dari cara panjenengan memandangi daun-daun itu, ada ketertarikan yang jujur.”

Saka tersenyum kecil, berusaha jujur tanpa membongkar rahasia dirinya. “Saya... belum paham banyak, Bapa. Tapi saya ingin belajar. Apalagi... saya yakin kelak ilmu seperti ini sangat bermanfaat untuk rakyat Sadeng.”

Tabib Darma tampak senang mendengarnya. Ia mulai menjelaskan bagaimana sistem sosial di Sadeng bekerja: dari para petani yang menggarap tanah Kadipaten, saudagar yang mengatur jalur logistik, hingga para tabib dan pengajar yang menjadi bagian dari lapisan terhormat namun tak memegang kekuasaan langsung. Di atas mereka semua adalah Adipati Sadeng, yang memerintah di bawah naungan Kerajaan Majapahit, serta memiliki dewan penasihat dan pengawal elit.

Saka mendengarkan dengan seksama, menyerap semua informasi seperti spons. Ia sadar, bila ingin bertahan di dunia ini, ia harus memahami sistemnya. Dan jika ingin lebih dekat dengan Laras, memahami dunia sang ayah adalah langkah awal yang bijak.

Ketika matahari mulai tergelincir dan bayangan pohon sirih merambat panjang di halaman, Saka pamit pulang. Laras mengantarnya hingga pagar kayu, dan sebelum Saka berbalik, gadis itu berucap pelan, “Panjenengan selalu diterima di sini, Saka. Ayah senang punya tamu yang suka belajar.”

Ucapan itu membuat langkah Saka terasa ringan hingga ke rumah. Ia tahu, hari ini bukan hanya langkah kecil untuk mengenal dunia barunya, tapi juga awal dari sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang tumbuh perlahan, di balik senyum seorang gadis bernama Laras.

--------- Bersambung ------------

BAB 5 – PANGGILAN DARI AROMA BELERANG

Keesokan paginya, setelah selesai membantu Ki Danang mengangkat karung beras dan menata ulang bumbu dapur di kios mereka, Saka buru-buru membersihkan diri dan berjalan menuju rumah Laras. Hatinya berdebar seperti biasanya, tapi hari ini berbeda. Ia tak sekadar datang karena ingin bertemu Laras, tapi ada rasa penasaran dan semangat baru yang membuncah sejak percakapan terakhir dengan Tabib Darma. Ia ingin tahu lebih banyak tentang dunia pengobatan, tentang tanaman dan ramuan, dan terutama, ia ingin tahu apakah pengetahuannya dari masa depan bisa bermanfaat di sini.

Begitu sampai di rumah Laras, ia mendapati suasana halaman rumah yang berbeda. Penuh orang. Sejumlah pasien duduk di bangku panjang di bawah pohon jambu, menunggu giliran. Beberapa dari mereka membawa anak kecil, sebagian tampak pucat, dan ada juga yang hanya menunggu sambil bercakap pelan. Tabib Darma tengah sibuk memeriksa seorang lelaki tua yang duduk di dalam ruangan terbuka, dengan wajah lesu dan kulit yang tampak penuh luka berair.

Bau tak sedap menyengat hidung. Saka berusaha menahan napas dan berdiri agak jauh, tapi matanya tetap memperhatikan. Pria itu, mungkin berusia lima puluhan, menderita penyakit kulit parah yang tampaknya menahun. Luka-lukanya bernanah dan tampak menyakitkan. Tabib Darma dengan sabar membersihkan luka-luka itu dengan ramuan cair berwarna hijau kecokelatan, lalu membungkusnya dengan kain bersih yang dibasahi air daun.

Setelah pasien itu pulang dengan tertatih dan dituntun seorang kerabat, Saka akhirnya memberanikan diri bertanya, “Ampun, Bapa Tabib, ramuan apa yang panjenengan gunakan untuk penyakit seperti itu?”

Tabib Darma menoleh, mengusap peluh di dahinya, dan menjawab tenang, “Dari tanaman lidah mertua dan daun sambiloto. Kami tumbuhkan sendiri di belakang rumah. Obat ini hanya mempercepat keringnya luka dan meredakan rasa gatal. Tapi untuk menyembuhkan sepenuhnya, perlu waktu dan kesabaran.”

Saka mengangguk pelan, tapi ingatannya melayang jauh ke masa ketika ia masih Jaka. Saat itu, ia pernah diajak teman-teman kosnya mendaki Gunung Ijen. Di sana, ia menyaksikan langsung para penambang mengangkut bongkahan belerang dari kawah. Saat itu, mereka sempat bercakap tentang bagaimana belerang digunakan untuk obat kulit. Jaka bahkan sempat membaca artikel ilmiah tentang sifat antimikroba dan antijamur dari belerang.

“Bapa,” ujar Saka hati-hati, “di tempat yang jauh dari sini, ada bahan dari gunung yang namanya belerang. Warnanya kuning, aromanya menyengat, dan bisa digunakan untuk penyakit kulit. Apakah panjenengan pernah mendengarnya?”

Tabib Darma terdiam sejenak. Ekspresinya bingung. “Belerang? Hm... saya pernah mendengar bahan kuning yang terbentuk dari perut bumi. Tapi... tidak banyak yang tahu itu bisa digunakan untuk obat.”

Saka merasakan semangat di dadanya. “Jika panjenengan berkenan, saya ingin mencoba membuat ramuan dari bahan itu. Saya tahu di mana mencarinya... di Gunung Ijen. Gunung itu tak terlalu jauh dari sini, bukan?”

Seketika Laras yang sejak tadi menyimak dari ambang pintu berseru, “Aku ingin ikut! Aku ingin melihat gunung itu juga... dan membantu panjenengan, Saka.” Suaranya riang namun tegas, membuat jantung Saka berdegup lebih kencang.

Tabib Darma memandangi putrinya dengan alis sedikit terangkat, lalu mengangguk pelan. “Kalau begitu, kalian tidak boleh pergi hanya berdua. Saya akan tugaskan Wiryo dan Sunar, dua murid saya, untuk menemani. Perjalanan ke gunung tidak mudah. Harus ada yang tahu cara bertahan di hutan.”

Keputusan itu membuat hati Saka lega, tapi juga membuat pikirannya kembali terusik. Ia mulai menyadari betapa ia semakin menjauh dari kehidupan lamanya sebagai Saka, anak saudagar yang seharusnya meneruskan bisnis keluarga. Ayahnya pasti akan kecewa bila tahu anaknya mulai lebih sering berurusan dengan tanaman dan pasien, alih-alih beras dan rempah.

Sore harinya, saat pulang ke rumah dan membantu Ki Danang menyiapkan laporan catatan dagang, Saka mulai merasakan tekanan batin. Ayahnya bercerita soal rencana memperluas jalur distribusi garam ke wilayah pesisir dan ingin Saka ikut bertemu dengan para saudagar dari Kadipaten Sempolan minggu depan. Tapi pikiran Saka sudah terbang ke Gunung Ijen, ke belerang, ke dunia pengobatan, dan tentu saja... ke Laras.

Malam itu, Saka duduk di serambi rumah, memandangi bintang-bintang di langit yang bersih. Ia tahu, keputusannya menekuni dunia tabib bukan tanpa risiko. Ia akan dihadapkan pada pilihan: mengikuti jejak ayahnya sebagai saudagar besar, atau mendobrak takdir, merintis jalan baru sebagai penyembuh... seorang tabib yang membawa ilmu dari masa depan ke masa lalu.

Dan di balik semua itu, ada hati seorang gadis yang kini selalu ada dalam doanya—Laras. Gadis yang membuatnya yakin, bahwa takdirnya di masa lalu ini bukanlah sebuah kutukan, tapi anugerah yang membawanya pada jalan hidup yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.


BAB 6 – Langkah Menuju Kawah

Pagi itu, Saka duduk bersimpuh di ruang dalam rumahnya. Udara terasa hangat namun menekan. Ibunya, Nyai Raras, duduk di seberangnya dengan wajah tegang. Di antara mereka, secangkir teh daun pandan mengepul pelan, namun tak seorang pun berniat menyentuhnya. “Gunung Ijen, Nak?” suara Nyai Raras nyaris seperti bisikan yang sarat kekhawatiran. “Itu jauh. Hutan lebat, jalannya menanjak. Belum lagi kawah dan asap racun yang keluar dari perut gunung…”

Saka menunduk hormat, mencoba tetap tenang. “Ibu, ini bukan untuk main-main. Warga kadipaten mulai banyak yang terkena penyakit kulit. Bahkan sampai bernanah dan mengeluarkan bau. Tanaman obat yang ada tak cukup manjur. Tapi belerang… aku percaya itu bisa membantu.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Aku tak pergi sendiri. Laras akan ikut, dan juga dua murid Ki Darma. Kami akan hati-hati.”

Tatapan ibunya melembut, tapi air mata sudah mulai menggenang. “Kau lupa, Nak? Belum lama ini kami hampir kehilanganmu. Kudamu terperosok ke jurang, dan tubuhmu ditemukan tak sadarkan diri. Aku masih terbangun tiap malam membayangkan itu. Dan kini kau ingin naik gunung?”

Dari balik tirai kayu, ayah Saka masuk dan duduk perlahan di samping istrinya. Ia mengangguk pada Saka, lalu menggenggam tangan istrinya. “Raras, Saka kita bukan anak kecil lagi. Apa kau tak lihat bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang pengobatan dan membantu orang? Mungkin ini jalan hidupnya. Kita tak bisa menahannya terus-menerus dalam bayang-bayang ketakutan.”

Nyai Raras menatap suaminya dengan mata sembab. Ia tak menjawab langsung, melainkan mengalihkan pandangan pada Saka. “Kalau kau benar-benar yakin, kau harus janji. Janji kau akan kembali dengan selamat. Janji tidak nekat dan selalu dengarkan mereka yang lebih berpengalaman.”

Saka tersenyum kecil dan mengangguk dalam-dalam. “Aku janji, Ibu.” Ia lalu berdiri dan membungkuk hormat. “Terima kasih, Ayah, Ibu. Aku akan membawa hasil dari gunung itu, bukan hanya untuk diriku… tapi untuk semua yang membutuhkan.”

Malam sebelum keberangkatan, Saka mengemas beberapa perlengkapan yang ia siapkan: kantong dari anyaman rotan, botol tanah liat untuk membawa sampel belerang, dan pakaian hangat dari wol tipis yang ia beli dari saudagar utara. Di luar, bulan purnama menggantung sempurna. Ia sempat keluar dan menatap ke arah selatan, membayangkan jalur yang akan ditempuh ke Gunung Ijen—sebuah perjalanan yang mungkin akan mengubah arah hidupnya.

Keesokan harinya, di halaman rumah Ki Darma, Laras sudah bersiap dengan ransel sederhana di punggungnya. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Saka mendekatinya dan berbisik, “Kau yakin ingin ikut?” Laras tersenyum tenang. “Ini bukan hanya untuk warga. Ini juga demi kita. Aku ingin tahu, sejauh mana kita bisa berguna untuk dunia.”

Dua murid Ki Darma, Wiryo dan Sunar, datang membawa dua ekor kuda dan perbekalan yang dikemas rapi. Wiryo yang berperawakan tinggi dan pendiam hanya mengangguk pada Saka. Sedangkan Sunar, yang lebih cerewet, langsung membuka percakapan, “Gunung Ijen ya? Kudengar ada jin penjaga di kawahnya. Jangan-jangan nanti kita pulang bawa belerang… plus kutukan!” Ucapannya disambut tawa kecil, meskipun wajah Laras sedikit memucat.

Di perjalanan, medan makin berat. Mereka melewati hutan, menyeberangi sungai, dan kadang harus berhenti untuk beristirahat. Malam pertama mereka habiskan di bawah langit terbuka, dengan api unggun kecil dan suara serangga yang mendominasi. Saka mulai merasakan perbedaan antara semangat dan kenyataan. Tubuhnya letih, namun pikirannya tetap terjaga, memikirkan wujud belerang yang akan ia cari.

Namun, konflik mulai muncul ketika Wiryo mulai bersikap tak ramah. “Kakang Saka, kenapa kau begitu yakin tentang belerang? Kau bukan tabib, bukan pula murid bapak guru. Lalu, kenapa kami harus ikut misi ini?” Nada bicaranya tenang, namun menusuk.

Saka menghela napas. Ia menatap ke arah api unggun sebelum menjawab, “Aku tahu aku bukan tabib. Tapi aku juga bukan pedagang yang hanya ingin mencari untung. Aku cuma ingin membantu. Apa itu salah?” Sunar yang biasanya cerewet pun hanya tertunduk, seolah menyadari ketegangan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Laras menengahi dengan suara lembut tapi tegas, “Kita semua di sini karena kita percaya pada sesuatu yang belum tentu bisa dijelaskan dengan logika. Mari kita lanjutkan perjalanan ini dengan niat baik. Tak ada satu pun dari kita yang sempurna, tapi selama tujuannya jelas, kita pasti akan sampai.”

Dan malam pun kembali tenang, namun hati Saka bergolak. Ia merasa seperti berdiri di dua dunia—sebagai anak saudagar yang dibesarkan untuk berdagang, dan sebagai pemuda yang mulai jatuh hati pada dunia pengobatan. Dunia yang menyakitkan, namun penuh harapan. Ia tahu, ketika mereka sampai di Gunung Ijen nanti, bukan hanya belerang yang akan diuji… tapi keyakinan dan persatuan mereka sebagai manusia.


BAB 7 – Melawan Demi Pengobatan

Perjalanan menuju Gunung Ijen dimulai saat embun masih menempel di pucuk-pucuk daun. Saka, Laras, Kang Wiryo, dan Kang Sunar telah siap di pelataran rumah Tabib Darma. Empat ekor kuda berdiri tenang, tali kekang mereka sudah ditarik, dan bekal perjalanan telah dimasukkan ke dalam kantung kulit serta tas kain yang diikat di samping pelana. Saka melirik langit yang masih semburat ungu, sementara hatinya dipenuhi semangat dan sedikit kecemasan. “Perjalanan ini bukan hanya soal belerang,” gumamnya dalam hati, “tapi mungkin tentang siapa diriku sebenarnya di dunia ini.”

Baru beberapa jam perjalanan menyusuri jalan tanah berbatu yang mengarah ke timur laut, mereka mulai memasuki jalur sunyi yang dikelilingi pepohonan lebat. Suara jangkrik bersahutan, menambah kesan sepi dan asing. Di tengah perjalanan itu, dari balik semak-semak, muncul enam orang lelaki dengan wajah kasar dan membawa golok serta tombak. “Hentikan langkah kalian!” teriak salah satu dari mereka. “Tinggalkan semua barang dan kuda kalian jika tidak ingin terluka.”

Saka segera menarik tali kekangnya dan menoleh ke Kang Wiryo yang tak menunjukkan rasa takut sedikitpun. “Kau yang mencoba merampok orang dalam perjalanan untuk menolong sesama? Malu kau, menyebut dirimu lelaki!” sahut Kang Sunar dengan suara lantang. Laras, yang semula duduk tenang, turun dari kudanya dan berdiri di sisi Saka. Tangannya menggenggam tongkat kayu keras yang biasa ia bawa untuk menumbuk ramuan obat. “Kami tidak akan menyerahkan apapun tanpa perlawanan,” tegasnya.

Salah satu begal menyerbu ke arah Laras, namun tongkat kayu Laras menyambar tepat ke arah pergelangan tangannya, membuat senjatanya jatuh. Kang Wiryo bergerak cepat, tubuhnya seperti angin berputar—dalam sekejap dua orang begal tumbang dengan teknik yang mencerminkan latihan bertahun-tahun. Kang Sunar tak kalah cekatan. Ia melompat dan menendang perut salah satu begal yang hendak menusuk Saka dari belakang. Saka sendiri, meski sempat bingung, ingat pelatihan pencak silat waktu SMA dulu. Ia menangkis serangan satu begal dengan siku dan balasan pukulan di ulu hati.

Pertarungan itu berlangsung cepat. Begal-begal yang selamat memilih kabur ke arah semak. Nafas semua orang tersengal-sengal, peluh membasahi dahi, dan suasana sunyi kembali menyelimuti jalanan hutan. “Kalian luar biasa,” ucap Saka kagum. “Tak kusangka kalian pendekar.” Kang Wiryo hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. “Kami pernah menjalani masa-masa kelam, Nak. Tapi sekarang hidup kami untuk melindungi, bukan merampas.”

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap saat mereka menemukan tepian sungai yang cukup datar untuk mendirikan kemah sederhana. Suara aliran air menenangkan hati, dan Laras mulai menyiapkan makanan dari bekal yang dibawa. Saka duduk di samping api unggun, memandangi langit malam sambil membayangkan kehidupan yang semakin aneh dan tak terduga sejak kecelakaan itu. Apakah dirinya memang ditakdirkan menjadi Saka, bukan lagi Jaka?

Esok pagi, setelah beristirahat semalaman, perjalanan dilanjutkan. Mereka melewati sebuah desa kecil yang tampak asri dan bersih. Anehnya, kulit para penduduk terlihat sangat bersih dan sehat, dari anak-anak hingga orang tua. Laras yang penasaran langsung menyapa seorang perempuan tua yang sedang menjemur pakaian. “Ibu, kenapa kulit kalian bisa sebersih ini?” tanya Laras. Perempuan itu tersenyum lebar. “Kami mandi menggunakan air dari mata air panas bercampur belerang, Nduk. Sudah jadi tradisi turun-temurun.”

Mata Saka langsung berbinar. “Mata air belerang? Di mana letaknya, Bu?” Perempuan itu menunjuk ke arah barat. “Dari sini setengah perjalanan lagi ke arah kaki gunung. Kami bisa antar, kalau kalian tak keberatan.” Dengan penuh semangat, rombongan kecil itu mengikuti beberapa penduduk desa. Jalan menanjak dan berliku, namun pemandangan alam yang mereka lewati luar biasa: pepohonan cemara, burung-burung bersiul, dan udara belerang yang mulai terasa samar.

Sesampainya di lokasi, mata mereka langsung disambut pemandangan luar biasa: kawah belerang kecil yang mengepulkan asap putih ke langit. Tanah di sekitar berwarna kekuningan, dan ada beberapa bongkahan belerang yang terlihat jelas di permukaan. Kang Wiryo dan Kang Sunar langsung bekerja memotong dan mengemas bongkahan belerang ke dalam tas kain. Laras membantu membersihkan dan memilah serpihan yang bagus, sementara Saka memungut satu bongkahan belerang kecil dan menatapnya dalam diam.

“Dulu aku hanya tahu belerang ini dari buku atau pelajaran,” bisiknya, “tapi sekarang… aku menggenggamnya, mengambilnya sendiri demi menyembuhkan orang-orang.” Sebuah kesadaran pelan-pelan tumbuh dalam dirinya—bahwa mungkin ia tidak hanya terjebak dalam waktu, melainkan dikirim untuk memberi sesuatu yang tak bisa diberikan orang lain.

Setelah belerang terkumpul—empat tas kain penuh—mereka mengucapkan terima kasih kepada penduduk desa dan bersiap kembali. Jalur pulang terasa lebih ringan karena mereka sudah tahu arah dan tantangan yang mungkin menghadang. Namun di kepala Saka, satu hal terus berdengung: perasaan tak biasa saat menyadari dirinya bukan hanya putra seorang saudagar, tapi juga seorang calon tabib.

Perjalanan pulang menuju rumah Laras memakan waktu hampir dua hari. Mereka singgah sebentar untuk beristirahat, dan sepanjang perjalanan Laras dan Saka saling bertukar pandangan dan cerita. Diam-diam, hati mereka mulai dipenuhi kehangatan yang belum sempat mereka pahami. Namun, jauh di balik hutan yang mereka tinggalkan, mata seseorang mengintai dari kejauhan, memperhatikan perjalanan mereka dengan rasa curiga dan dendam.


BAB 8 – Bayang Dendam dan Obat Pengharapan

Perjalanan pulang selama dua hari melelahkan, namun saat Saka melihat gerbang kayu rumah Tabib Darma dari kejauhan, ia merasa lega. Laras menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil, senyum yang diam-diam telah menjadi candu bagi Saka. Setelah mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan, Saka menepuk pelan pundak Kang Wiryo dan Kang Sunar, lalu menaiki kudanya kembali ke rumah. Di punggung kudanya tergantung satu tas kain berisi belerang yang ia simpan hati-hati, seolah membawa emas paling berharga.

Setibanya di rumah, ia disambut pelukan hangat sang ibu dan wajah penasaran ayahnya. Saka segera membuka tas kain dan menunjukkan bongkahan-bongkahan belerang berwarna kekuningan yang berkilau lembut di bawah sinar sore. “Ini, Ayah… belerang. Dari Gunung Ijen. Ini akan kugunakan untuk membuat obat kulit,” jelas Saka penuh semangat. Ayahnya menatap dengan dahi berkerut, lalu bertanya pelan, “Tapi… dari mana kau tahu ini bisa jadi obat?”

Saka duduk di beranda kayu, memandang ayahnya dengan tatapan teduh. “Di tempat asal usulku dulu… eh, maksudku, aku pernah membaca banyak tentang ini. Belerang bisa mengatasi penyakit kulit, membunuh kuman, dan menyembuhkan luka-luka infeksi.” Ibu Saka datang membawa dua gelas bandrek hangat, aroma jahe dan rempahnya memenuhi udara senja yang mulai mendingin. Saka menerima gelas itu dengan senyum. “Terima kasih, Bu…”

Perbincangan mereka hangat. Ayah Saka, meski belum sepenuhnya mengerti dari mana anaknya mendapat pengetahuan seperti itu, tak bisa menyembunyikan rasa bangga. “Kau tak seperti dulu lagi, Saka… Sejak bangun dari musibah itu, kau seperti tumbuh dua puluh tahun lebih bijak.” Saka hanya tersenyum, menunduk, sembari menggenggam gelasnya erat.

Setelah mandi dan beristirahat semalam, pagi harinya Saka bangun lebih awal. Sarapan nasi jagung dan ikan asin buatan ibunya mengisi tenaganya. Ia lalu menuju ruang belakang rumah, mengambil alat-alat sederhana: tempayan tanah liat, ulekan batu, saringan kain, dan wadah bambu. Salah satu pegawai ayahnya, Mas Ranu, membantunya menyiapkan bahan-bahan pelengkap: daun sirih, minyak kelapa, dan getah pohon jarak.

“Mas Ranu, tolong tumbuk daun-daun ini sampai halus, lalu peras airnya, ya,” ujar Saka sambil mencampur bubuk belerang yang telah ia haluskan sendiri. Tangannya bergerak cepat, mencampurkan bahan-bahan itu dengan perbandingan yang tepat, seperti yang pernah ia pelajari dulu saat masih menjadi mahasiswa MIPA. Matanya bersinar penuh harap. Ia bukan hanya meracik obat, ia meracik harapan.

Setelah racikan selesai, ia menyimpannya dalam wadah bambu kecil yang telah dibersihkan. Wajahnya memerah sedikit karena terpapar asap belerang, tapi hatinya terasa lapang. Ia berpamitan pada ayah dan ibunya, “Aku ke rumah Ki Darma, Bu, Ayah… ingin menyerahkan ramuan ini.” Ibu Saka mengangguk dengan lembut. “Hati-hati, Nak. Sampaikan salam kami untuk Ki Darma dan Laras.”

Perjalanan menuju rumah Tabib Darma hari itu terasa berbeda. Langit biru cerah, angin berhembus pelan, dan hatinya dipenuhi rasa rindu yang belum sempat ia akui. Saat tiba di depan rumah Laras, gadis itu sudah berdiri di beranda, seolah menunggu. Rambutnya tergerai, pakaiannya sederhana tapi bersih, dan senyumnya menyambut seperti fajar pertama setelah malam panjang. “Saka!” sapa Laras, suaranya cerah.

“Laras,” jawab Saka sambil turun dari kudanya. “Ini… racikan obat dari belerang. Aku ingin Ki Darma mencobanya pada pasien berikutnya.” Laras menyambut wadah bambu itu dengan hati-hati. “Terima kasih, Saka… Aku tahu kau lelah, tapi kau tetap datang…” Mereka masuk ke rumah dan Saka duduk bersama Ki Darma, menjelaskan proses racikan itu secara detil. Tabib tua itu mendengarkan dengan seksama, lalu mengangguk pelan. “Luar biasa… Kau benar-benar bukan pemuda biasa, Saka.”

Setelah pembicaraan soal obat selesai, Laras mengajak Saka berjalan ke halaman belakang. Sinar matahari sore menyinari tanaman-tanaman obat yang tumbuh rapi. “Aku senang kau datang,” ujar Laras pelan, “aku… aku merasa ada yang berbeda setiap kita bicara.” Saka menatap gadis itu, dan tanpa sadar jemari mereka saling bersentuhan. Tak ada kata yang perlu diucapkan, hanya getar lembut di dada mereka yang berbicara.

Namun, jauh di hutan yang mereka lalui dua hari sebelumnya, seorang lelaki dengan luka di pipi berdiri di tepi sungai, menatap air yang mengalir dengan mata menyala. Ia adalah salah satu begal yang berhasil lolos. “Saka…” gumamnya penuh dendam. “Kau telah mempermalukanku… dan aku akan membalaskan semua ini. Kau akan tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya.”

Bayangan dendam itu mulai merayap perlahan, mengintai dan bersiap. Sementara Saka, yang tengah mulai menemukan kedamaian dan cinta di kehidupan barunya, belum menyadari bahwa masa lalu kelam seseorang tengah mengincar langkah-langkah barunya di dunia yang asing ini. Dan angin lembut sore hari pun membawa bisikan rahasia yang belum terungkap.


BAB 9 – Jejak Ilmu dan Bayang Dendam

Keesokan paginya, Ki Darma memanggil salah satu muridnya yang telah lama menderita penyakit kulit, bernama Gatra. Di lengan kirinya tampak luka bernanah yang berbau menyengat. Dengan hati-hati, Ki Darma mengoleskan racikan belerang yang diberikan Saka ke seluruh permukaan luka. Gatra hanya meringis sebentar, sebelum aroma khas dari belerang menggantikan bau anyir yang menyiksa itu. Ki Darma memerintahkan Gatra untuk beristirahat dan kembali esok hari untuk melihat hasilnya.

Saat fajar menyingsing di hari berikutnya, Gatra kembali. Wajahnya sumringah, dan lengan yang kemarin luka parah kini mulai kering, tidak berbau, dan tampak mengelupas secara alami. Ki Darma memeriksanya, lalu tersenyum kecil—senyum langka yang hanya muncul jika ia benar-benar puas. “Luar biasa… ini efektif,” ucapnya pelan pada Laras dan Saka yang ada di dekatnya. Tanpa ragu, mulai hari itu, racikan belerang Saka menjadi obat utama untuk penyakit kulit di rumah tabib itu.

Kabar mulai menyebar cepat dari mulut ke mulut. Pasien-pasien yang sebelumnya tak kunjung sembuh kini mulai menunjukkan perbaikan hanya dalam beberapa hari. Rumah Ki Darma semakin ramai, dan setiap kali pasien datang, Laras akan mengoleskan obat belerang itu dengan hati-hati. Ia sering melirik ke arah Saka dengan senyum bangga, sementara Saka hanya mengangguk pelan, merasa sedikit asing karena kini dia benar-benar menciptakan perubahan nyata—sesuatu yang bahkan tak pernah ia capai saat masih hidup di masa depan.

Semangat itu tak berhenti di sana. Saat duduk di beranda rumahnya pada malam hari, Saka termenung memikirkan ide baru. Ia mengingat saat di kampus dulu, pernah membuat tugas akhir tentang antiseptik alami dan proses saponifikasi—pembuatan sabun dari minyak dan bahan basa. “Kalau racikan belerang ini kugabungkan dengan minyak kelapa dan abu soda, bisa jadi sabun,” bisiknya sendiri, matanya berbinar.

Keesokan harinya, ia mulai bereksperimen. Bersama Mas Ranu, ia memanaskan minyak kelapa dan mencampurnya dengan abu soda yang dibuat dari pembakaran jerami. Saat cairan mulai mengental, ia menaburkan bubuk belerang dalam jumlah sedikit, lalu menuangkannya ke dalam cetakan kayu sederhana. “Ini… akan kuberi nama: sabun,” gumam Saka. Ia tertawa kecil sendiri, sadar betapa lucunya memperkenalkan sabun di era di mana orang masih menggunakan daun atau air biasa untuk membersihkan tubuh.

Sabun itu diuji pertama kali oleh Saka sendiri. Ia mandi menggunakan sabun buatannya, dan tubuhnya terasa segar, kulit yang semula sedikit gatal karena udara panas pun menjadi tenang. Ia membawa beberapa batang ke rumah Ki Darma, memberikan beberapa kepada Laras. Laras mencium aromanya dan tersenyum geli. “Aneh… tapi menarik. Jadi ini… untuk mandi?” tanya Laras. “Ya. Akan membersihkan tubuh dan mencegah penyakit kulit,” jawab Saka. Mereka tertawa bersama. Momen itu seperti angin musim semi yang datang di tengah musim kemarau.

Sabun itu lalu mulai dijual di kios milik ayahnya. Pelanggan awalnya bingung, tapi Saka membuat demonstrasi kecil, mencuci tangan para pembeli di depan kios menggunakan air dari tempayan dan sabun belerang. Warga terpesona saat tangan mereka bersih, wangi, dan segar. Permintaan meningkat, dan sabun mulai diproduksi lebih banyak. Bahkan, Ki Darma ikut menjual sabun itu di rumah pengobatannya sebagai pelengkap terapi penyakit kulit. Nama Saka mulai disebut-sebut sebagai “anak saudagar yang bisa menciptakan obat.”

Namun, di balik geliat kemajuan itu, bahaya perlahan menyusup. Di sebuah pondok reyot di tengah hutan, seorang pria dengan luka menghitam di pipi menatap api unggun dengan mata merah membara. Dialah Sureng, salah satu begal yang pernah menghadang perjalanan Saka ke Gunung Ijen. “Dia mempermalukanku di depan anak buahku… dan sekarang malah dielu-elukan sebagai tabib?!” geramnya, menggertakkan gigi. Ia mengangkat sebilah golok berkarat, menatapnya seolah sedang melihat leher Saka.

Sureng tak sendiri. Ia telah merekrut tiga orang baru—bekas preman pasar yang terusir dari kadipaten. Mereka sedang menyusun rencana untuk menyusup ke pasar, merusak kios ayah Saka, dan mengirimkan “peringatan.” “Biarkan dia tahu… kalau setiap keberhasilan ada bayang-bayang yang siap menghancurkan,” ucap Sureng pelan, sembari menyelipkan sebilah keris kecil ke balik bajunya. Wajahnya penuh dendam, dan hatinya dipenuhi amarah yang membusuk seperti luka tak tersembuhkan.

Sementara itu, Saka masih larut dalam euforia temuannya. Ia mulai mengajarkan Mas Ranu cara memproduksi sabun dengan lebih cepat dan efisien, sambil mencatat perbandingan bahan-bahan di selembar daun lontar yang ia ikat dengan tali serat. “Kita bisa bantu lebih banyak orang… lebih banyak dari yang kubayangkan,” katanya lirih. Ia belum tahu bahwa badai sedang bergerak mendekat, perlahan tapi pasti.

Di rumah Ki Darma, Laras mulai memperhatikan bahwa Saka tampak semakin lekat dengan pekerjaannya sebagai peracik obat. Hubungan mereka pun semakin dekat, sering kali Laras menyiapkan makan siang dan membawakannya ke tempat kerja Saka. “Aku ingin selalu melihatmu seperti ini… penuh semangat,” bisik Laras suatu hari. Saka tersenyum, mengusap pelan rambut Laras. “Dan aku ingin kamu selalu jadi orang pertama yang tahu temuan baruku.”

Di sudut lain kadipaten, bayang hitam mulai menjalar. Waktu mulai menipis, dan Sureng tak akan menunggu lebih lama. Masa depan Saka yang baru dirintis mulai dihantui masa lalu dari tubuh yang kini ia tinggali. Dan di ujung malam yang hening, bulan menyaksikan segalanya dalam diam: kisah cinta, harapan, dan dendam yang siap meledak kapan saja.


BAB 10 – Asa di Tengah Ancaman

Pagi itu, matahari muncul lebih cepat dari biasanya, seolah tahu bahwa hari itu akan menjadi hari yang berbeda. Saka bangun lebih awal, duduk di beranda rumahnya sambil memandangi batang sabun terakhir yang baru dicetak semalam. Ia merasa waktu tak pernah cukup—banyak hal yang masih ingin ia coba, temukan, dan kembangkan. Sambil mengaduk secangkir teh, pikirannya terbang ke masa kuliahnya dulu, saat ia membaca jurnal ilmiah tentang bahan alami yang memiliki khasiat antibakteri. “Getah pepaya… kulit manggis… dan minyak sereh,” gumamnya, lalu buru-buru berlari ke kebun belakang mencari tanaman-tanaman itu.

Hari itu, bersama Mas Ranu, ia memulai eksperimen baru: membuat sabun antiseptik dengan bahan lokal. Getah pepaya mereka ambil dari batang muda, lalu dikeringkan dan dicampur dengan minyak sereh yang dipanaskan perlahan. Kulit manggis yang dikeringkan terlebih dulu ditumbuk sampai menjadi bubuk halus. Ketiga bahan itu ia campur ke dalam minyak kelapa dan abu soda. Prosesnya jauh lebih sulit dari sabun belerang, tapi aromanya lebih segar dan tak terlalu menyengat. “Ini bisa untuk anak-anak… kulit sensitif,” ujar Saka sambil memeriksa adonan sabun.

Sambil menunggu sabun baru mengeras, Saka kembali ke rumah Ki Darma untuk mengantarkan beberapa batang sabun belerang. Saat itu, Ki Darma tengah mengobati seorang bayi yang terkena biang keringat parah. Saka menawarkan mencoba sabun barunya—sabun herbal yang baru dibuat. Setelah berdiskusi sebentar, Ki Darma setuju. Sabun itu diuji dengan hati-hati dan hasilnya cukup menjanjikan. Laras menatap Saka penuh kagum, “Kau selalu punya cara yang tak pernah terpikirkan oleh orang lain, Saka…”

Di sela aktivitasnya, Saka tak menyadari bahwa seseorang telah menyusup ke pasar. Malam sebelumnya, kios milik ayahnya dilempari batu. Salah satu sabun belerang hancur dan potongan-potongan kecilnya berserakan di lantai. Untungnya, tidak ada yang terluka. Mas Ranu melaporkan kejadian itu, wajahnya gelisah. “Ada orang tak dikenal tadi malam, Mas. Aku lihat bayangan seseorang kabur ke gang belakang,” ucapnya pelan. Ayah Saka mencurigai pelaku adalah orang dari kelompok lama yang pernah mengganggu pasar. Tapi Saka langsung tahu… ini pasti ulah Sureng.

Meski hatinya mulai waspada, Saka tidak ingin berhenti berkarya. Ia kembali melakukan eksperimen—kali ini membuat minyak gosok dari jahe dan daun serai yang difermentasi. Ia memanfaatkan pot tanah liat untuk menyimpan ramuan itu, yang dibiarkan selama tiga hari. Setelah itu, minyaknya disaring dan digunakan untuk memijat tubuh. Hasilnya luar biasa, rasa hangat dari jahe meresap dan membantu mengatasi pegal serta masuk angin. Obat baru itu dinamainya “Minyak Raga,” dan mulai ditawarkan di kios serta rumah Ki Darma.

Satu sore, saat Laras mengantarkan makanan ke rumah Saka, mereka duduk di bawah pohon jambu di samping rumah. Saka menunjukkan minyak gosok barunya. “Kalau kamu kelelahan, bisa kupijatkan dengan ini,” ujar Saka. Laras tersenyum malu, namun menyerahkan tangannya. Saka menggosok lembut minyak itu di pergelangan tangan Laras, dan keheningan pun mengambil alih sesaat. “Aku merasa… kita bisa buat tempat pengobatan bersama, Saka. Di mana semua orang bisa datang dan mendapatkan perawatan tanpa takut miskin,” ucap Laras. Saka menatapnya lama, matanya melembut. “Dan kamu akan jadi tabib utamanya.”

Namun, malam itu juga, bayang dendam kembali bergerak. Sureng dan anak buahnya masuk ke kebun belakang rumah Ki Darma. Mereka mengendap, mencari celah untuk menyusup. Tapi salah satu murid Ki Darma yang berjaga malam memergoki mereka dan sempat terjadi perkelahian kecil. Dua anak buah Sureng kabur, tapi satu tertangkap. Dari pengakuannya, diketahui bahwa Sureng berencana menyerang Saka dalam waktu dekat. Kabar ini segera sampai ke Saka, yang langsung menemui Ki Darma dan ayahnya.

“Aku tak bisa hanya diam,” ujar Saka. “Mereka tak hanya menyerangku, tapi juga semua yang kita bangun bersama.” Ayahnya mengangguk berat. “Kau anakku, dan usahamu menyelamatkan banyak orang. Tapi kau juga harus jaga dirimu.” Ki Darma pun menyarankan Saka untuk mulai belajar teknik pertahanan diri dari Kang Wiryo dan Sunar, karena apa yang terjadi ini tak lagi sekadar gangguan—ini perang yang menyusup diam-diam dalam damai.

Beberapa hari kemudian, Kang Wiryo mulai melatih Saka setiap pagi di halaman belakang rumah. Latihan menggunakan tongkat dan menghindari serangan senyap dilakukan berkali-kali. Saka cepat belajar, dan tubuhnya yang sudah terbiasa bergerak kembali ke pola lama masa SMA saat ia ikut ekskul silat. Laras kerap memperhatikan dari kejauhan, khawatir sekaligus bangga. Di balik itu, cintanya semakin tumbuh, seperti benih yang dirawat dengan tetes demi tetes harapan.

Sabun herbal, minyak raga, dan salep belerang buatan Saka kini mulai digunakan oleh beberapa keluarga bangsawan Kadipaten. Bahkan, pejabat pasar pun memuji sabun Saka sebagai barang “ajaib” yang membersihkan dan menyehatkan. Namun Saka tak terlena. Di benaknya, masih ada ratusan ide lain yang belum ia uji. Salah satunya adalah menyuling uap daun cengkeh untuk dijadikan minyak pengharum ruangan sekaligus antiseptik.

Dan pada suatu senja yang temaram, saat angin membawa aroma belerang samar dari rak-rak sabun yang dijemur, Laras duduk di samping Saka dan berkata, “Aku bangga padamu… bukan karena kau pintar, atau bisa membuat obat. Tapi karena kau tak menyerah.” Saka menoleh perlahan. “Aku juga bangga… karena kamu selalu di sini.” Mereka tersenyum dalam keheningan, tak tahu bahwa seseorang sedang mengawasi mereka dari kejauhan—mata penuh dendam yang menyala di balik semak rimbun.


BAB 10 – Aroma Hasad dan Darah

Angin malam berdesir kencang di perbatasan hutan arah utara Kadipaten. Di sebuah gubuk reyot yang dikelilingi pohon-pohon beringin tua, suara tawa parau menyatu dengan kepulan asap dupa yang menusuk hidung. Sureng duduk bersila di tengah lingkaran, dikelilingi oleh empat pria bertampang menyeramkan, mengenakan jubah lusuh dengan mata cekung dan tangan dipenuhi gelang akar-akaran. Mereka adalah para dukun dari dusun-dusun pinggiran yang namanya dulu dikenal, namun sekarang dilupakan karena kehadiran Ki Darma dan—lebih buruk lagi—Saka. “Kalian kehilangan pasien. Aku kehilangan muka,” Sureng membuka pembicaraan. “Kita punya musuh yang sama.”

Dukun tertua yang dipanggil Mbah Wanu meludah ke bara api di tengah lingkaran. “Anak muda itu… dia mencuri harapan kami. Dulu orang datang membawa persembahan, kini mereka datang membawa koin dan pulang sembuh!” Salah satu dari mereka, Dukun Lanang, mengangkat jimat dari tulang rusa. “Kau ingin apa dari kami, Sureng?” Sureng tersenyum menyeringai. “Ganggu dia. Buat penyakit-penyakit baru. Sebarkan gosip, racuni pikiran orang. Dan… kalau bisa, habisi dia perlahan-lahan.”

Malam itu juga, rencana jahat mereka dimulai. Di salah satu desa kecil di luar pasar Kadipaten, seorang anak kecil tiba-tiba jatuh sakit dengan kulit melepuh dan tubuh panas membara. Seorang pria berwajah asing terlihat meninggalkan rumah anak itu setelah menjual “minyak penyembuh dari gunung.” Ki Darma dipanggil, namun saat mengobati, ia terkejut. “Ini bukan penyakit biasa. Ini racun yang dicampur dengan bahan panas. Disengaja,” ucapnya dengan wajah muram. Saka yang mendampinginya hanya menatap diam, rahangnya mengeras.

Hari-hari berikutnya, rumor mulai menyebar: ada yang bilang sabun Saka justru membuat kulit rusak, minyak gosoknya membakar tubuh, dan Ki Darma mulai “terpengaruh sihir muda.” Padahal, semua itu rekayasa. Para dukun mengirimkan anak buahnya untuk membeli sabun, lalu mengolesinya dengan racun tanaman sebelum dikembalikan ke pasar dan dipamerkan sebagai “bukti.” Warga yang belum mengenal Saka sepenuhnya mulai ragu, dan penjualan sabun pun mulai turun. Ayah Saka pun menegur. “Kita harus bertahan. Tapi kita juga harus waspada. Mereka bukan pedagang, mereka pemburu.”

Laras merasa khawatir, namun justru itu membuatnya lebih dekat dengan Saka. Mereka mulai bekerja bersama lebih intens, bahkan membuat kelompok kecil yang bertugas mengedukasi warga tentang kebersihan dan manfaat sabun serta obat herbal. Saka tak tinggal diam—ia mulai mengembangkan “sabun hijau”, campuran daun sirih dan kulit jeruk purut untuk membasmi jamur dan kutu air. Tapi di balik kerja keras itu, mereka tak tahu bahwa Sureng dan para dukun telah menyiapkan ritual besar—menyatu dengan kegelapan untuk menciptakan penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Malam bulan mati, ritual dilaksanakan. Darah ayam hitam diteteskan ke tanah, dan rambut milik pasien-pasien yang pernah sembuh dari Ki Darma dibakar. Doa-doa kelam dilantunkan. Tujuannya hanya satu: menyakiti Saka dengan cara paling kejam—membuat warga kehilangan kepercayaan, lalu merobohkan segalanya yang telah ia bangun. Hasilnya muncul esoknya: seorang wanita paruh baya yang telah sembuh, tiba-tiba kejang dan mengeluarkan busa dari mulut. Suaminya, dalam kemarahan, mengobrak-abrik kios Saka. “Kau penyihir! Obatmu menyesatkan!”

Ki Darma mencoba menenangkan warga, namun tekanan semakin berat. Saka pun terpukul. Laras mendekatinya di belakang rumah sore itu. “Kamu baik, Saka. Kamu berjuang. Tapi mereka buta karena ketakutan.” Saka tak menjawab. Air matanya jatuh, diam-diam. Ia memandangi tangannya yang dulu mampu menyelamatkan, kini dituduh membawa kutukan. “Mungkin… mungkin aku salah membawa masa depan ke masa ini,” katanya lirih. Laras menggenggam tangannya, kuat. “Kalau kau menyerah, baru benar-benar kalah.”

Di sisi lain, para dukun mulai merasa kuat. Mbah Wanu bahkan mulai menulis ulang mantera-mantera lama. Sureng semakin sombong, merasa kendali di tangannya. Namun, satu malam, salah satu dari mereka mati dengan tubuh hangus—diduga akibat ritual yang gagal. Ketakutan menyelinap di antara mereka, tapi Sureng tak peduli. Ia memerintahkan satu anak buahnya menyusup ke rumah Saka dan mencuri formula sabun. Tapi yang ia tak tahu, Kang Sunar sudah menyadari pergerakan mereka.

Suatu malam, pencuri itu berhasil masuk ke gudang sabun. Tapi sebelum sempat membawa satu pun batang, Kang Sunar muncul dari bayangan dan memukulnya hingga pingsan. Saat diinterogasi, pencuri itu mengaku—mereka berencana meracuni semua bahan sabun dan membakar kios ayah Saka. Ayah Saka yang mendengar hal itu segera mengirim pengawal untuk berjaga malam hari. “Kita sedang dalam perang senyap,” ujarnya pelan.

Di puncak tekanan itu, Saka justru menemukan ide baru: membuat air pencuci luka berbasis daun sirih dan kapur sirih. Ia mencampurnya dengan air rebusan kulit rambutan dan menyaringnya jadi larutan antiseptik ringan. Ki Darma mencobanya ke luka bakar ringan—dan ternyata sembuh lebih cepat dari biasanya. Harapan perlahan bangkit lagi. Bersama Laras dan murid-murid tabib, mereka membagikan larutan itu secara gratis di pasar, menyampaikan edukasi dan bukti.

Saka tak hanya menyelamatkan tubuh orang-orang. Ia menyentuh kepercayaan mereka kembali. Warga mulai berdatangan kembali. Beberapa dari mereka bahkan meminta maaf. Tangisan anak-anak kecil yang dulu sembuh dan kini bermain sehat menjadi bukti nyata bahwa yang ia lakukan bukan sihir, tapi kasih sayang dalam bentuk ilmu.

Dan di tengah semua itu, di malam penuh bintang yang sepi, Saka menatap langit sambil berkata, “Kalau dunia ini tak bisa kuubah sekaligus, biarlah aku ubah satu luka dalam satu waktu.” Laras duduk di sampingnya, mengangguk. “Dan kau tak sendirian.” Tapi dari balik pepohonan gelap, Sureng mengintai. Matanya menyala, namun bukan karena semangat—melainkan karena amarah yang belum terbalas.


Bab 12 — Bayangan dari Kegelapan

Langit Sadeng mendung sejak pagi. Awan abu menggantung berat, seakan tahu bahwa hari itu akan jadi awal dari sesuatu yang lebih gelap dari badai manapun. Di rumah Saka, suasana terasa biasa. Ia sedang mempersiapkan serangkaian eksperimen baru. Kali ini, Saka mencoba membuat salep antiseptik dari campuran bawang putih, madu liar, dan getah pohon aren yang ia dapatkan dari lereng gunung. Ia meyakini bahwa kombinasi ini bisa menyembuhkan luka lebih cepat dan mencegah infeksi—sesuatu yang sangat dibutuhkan para pekerja di pasar dan para petani.

Saat ia sedang mengaduk ramuan itu di atas tungku kecil, angin berdesir kencang, membawa bau anyir darah dari kejauhan. Saka mengangkat kepala, alisnya mengerut. Ada sesuatu yang aneh di udara, sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding.

Di tempat lain, Sureng, dukun tua berambut gimbal dan bertato penuh mantra kuno di tubuhnya, sedang berada di tengah hutan. Ia bertemu dengan tiga dukun lain—Wirah, Sampar, dan Nyai Belik. Dukun-dukun ini dulu terkenal sebagai penyembuh dan penjaga desa, tapi sejak kedatangan obat-obat Saka dan pengetahuan baru dari masa depan, pasien-pasien mereka pergi. “Kita harus merebut kembali kehormatan kita,” geram Sureng, mencelupkan tangan ke dalam kendi darah ayam hitam. “Kalau tidak, kita hanya akan jadi bayangan di masa yang tak mengenang.”

Mereka mengangguk. Malam itu, sebuah ritual dijalankan. Mereka memanggil sesuatu dari kegelapan: sosok bertopeng hitam dengan mata menyala merah. Ia tidak berbicara, hanya berdiri dengan napas berat. Orang-orang menyebutnya “Bayang Kelam”, legenda dari masa silam yang konon telah hilang dibakar oleh api Kerajaan Majapahit karena menolak tunduk. Tapi kini, ia dipanggil kembali, dengan harga yang tak bisa dibayangkan.

Di rumah Ki Darma, Laras sedang membantu pasien. Tapi matanya terus melihat ke arah jalanan. Ia merasa gelisah, entah kenapa. Saat Saka datang dengan salep barunya, Laras memaksakan senyum. Tapi ia tak bisa menyembunyikan ketakutan yang menghantuinya.

“Kenapa, Laras?” tanya Saka, mengusap keningnya yang berkeringat.

“Aku tidak tahu. Tapi semalam... aku bermimpi buruk. Aku melihat Sadeng terbakar. Orang-orang berteriak. Dan ada sosok... tinggi, bertopeng. Ia menatapmu, Ka... dengan mata yang seperti bara api.”

Saka diam. Hatinya berdebar.

Sementara itu, Sureng menyusup ke salah satu desa kecil dan mendatangkan kekacauan. Ia dan para dukun mulai menyebarkan racun pada sumur warga, membuat banyak orang sakit. Lalu, mereka datang sebagai ‘penyelamat’, seolah merebut kembali peran yang telah hilang. Saka mendengar kabar ini dari para pedagang yang lewat. Dan hatinya mendidih. “Ini bukan hanya tentang persaingan, ini sabotase,” ucapnya pada Ki Darma.

Malam itu, rumah Laras dilempari batu. Sebuah surat tertinggal di gerbangnya—bertuliskan huruf merah dari darah ayam: “HENTIKAN ATAU KAU AKAN TERBAKAR.” Saka menggenggam kertas itu. Ia tahu ini peringatan. Tapi bukan pada Laras, melainkan untuk dirinya. Laras memeluk Saka erat malam itu, tak mengatakan sepatah kata pun, hanya menggigil.

Saka memutuskan harus bertindak. Ia mulai membuat rencana untuk mendirikan sebuah ‘rumah perawatan’ kecil, tempat masyarakat bisa datang dan belajar tentang kesehatan, bukan hanya mencari obat. Ki Darma setuju, tapi memperingatkan, “Ini akan memicu perang.”

Dan benar saja. Di malam minggu berikutnya, kios ayah Saka di pasar dibakar. Untungnya, tidak ada korban. Tapi kejadian itu menjadi peringatan yang mengguncang seluruh Sadeng. Laras menangis di pundaknya. “Ka... jika semua ini karena kamu... aku... aku takut kehilanganmu.”

Saka mengangkat dagunya, menatap bintang yang kini tertutup mendung. “Aku tidak bisa mundur, Laras. Kalau aku berhenti sekarang... semua ini sia-sia.”

Dari balik bayangan bukit, “Bayang Kelam” berdiri bersama Sureng dan para dukun. “Bocah itu harus lenyap,” bisik Sureng. Bayang Kelam mengangguk pelan, kemudian berjalan pelan ke arah Sadeng—dengan niat membawa kegelapan bersamanya.


Bab 13 – Taring dalam Bayang-Bayang

Hujan deras mengguyur bumi Sadeng malam itu, menggema di atap kayu rumah-rumah kadipaten seperti derap genderang perang. Angin menderu liar dari arah selatan, menyapu dedaunan dan membuat obor-obor penjaga kadipaten berkedip tak menentu. Di dalam kediaman Ki Darma, Laras duduk resah di dekat jendela, memandangi malam yang seperti menyembunyikan sesuatu. Saka sedang membantu menyiapkan ratusan botol sabun belerang, sementara Kang Wiryo dan Sunar berjaga di luar rumah karena kabar tentang pergerakan para dukun hitam mulai menyebar.

Di balik bayang-bayang malam, Sureng menyelinap bersama dua dukun kepercayaannya: Ki Drego dan Nyai Lumut, seorang wanita bertampang pucat dengan mata seperti lubang hitam. Mereka menyusup ke arah barat kadipaten, ke sebuah lumbung tua yang kini dijadikan tempat persembunyian. Di sanalah rencana kelam disusun. "Kita tak bisa membiarkan anak itu mempermainkan tatanan yang telah lama kita jaga," bisik Nyai Lumut dengan suara serak, jari-jarinya menari-nari di atas mangkuk darah ayam. Sureng menatap mangkuk itu dengan penuh dendam, "Saka harus hilang dari dunia ini."

Sementara itu, Saka mulai merasa sesuatu yang ganjil. Sejak semalam, burung gagak kerap beterbangan di atap rumah Ki Darma. Mereka datang bergelombang, mengitari halaman rumah layaknya peringatan dari semesta. Kang Wiryo memperhatikan langit dengan gelisah, "Gagak hitam pertanda bala, Saka. Kau harus waspada." Saka hanya tersenyum dan menjawab, “Jika mereka datang karena terang mengusik gelap, maka mari kita nyalakan lebih banyak terang.”

Keesokan harinya, penduduk Kadipaten dikejutkan oleh kejadian aneh. Lima orang warga ditemukan dalam kondisi linglung dan tubuh penuh goresan. Mereka semua mengaku melihat sosok berjubah gelap yang mendekat dalam mimpi mereka, dan saat bangun, luka-luka itu benar-benar ada. Ki Darma memeriksa mereka dengan seksama. “Ini bukan luka biasa. Ada kekuatan gelap yang sedang bermain,” gumamnya.

Saka yang mendengar kabar itu langsung datang dan melihat luka tersebut. Naluri ilmiahnya merasakan ada racun atau senyawa tertentu yang menimbulkan halusinasi dan luka. Ia membawa salah satu contoh darah korban ke laboratorium sederhana yang ia bangun bersama Laras di rumah Ki Darma. Laras menyeka keringat di dahinya, “Kau yakin ini bukan sihir?” Saka menatapnya serius, “Di dunia manapun, sihir pasti meninggalkan jejak yang bisa dijelaskan.”

Saat tengah meneliti, tiba-tiba suara ledakan terdengar dari arah kios ayah Saka. Saka, Wiryo, dan Sunar segera melompat ke atas kuda dan melaju menembus jalanan licin menuju pasar kadipaten. Sesampainya di sana, api membakar habis satu sisi kios, termasuk tempat penyimpanan sabun belerang. Warga berteriak, menangis, dan sebagian pingsan karena asap tebal. Ayah Saka ditenangkan oleh pegawainya, sementara Saka langsung mengejar sosok berjubah yang melarikan diri ke arah gang sempit.

Dengan sigap, Kang Sunar melompat dari atap dan menghadang sosok itu. Terjadilah pertarungan sengit. Ternyata sosok itu bukan manusia biasa, melainkan salah satu murid Ki Drego yang telah dimodifikasi dengan ilmu hitam. Tangannya bisa mengeluarkan paku dari pori-porinya, tubuhnya lentur dan sulit dilukai. Kang Wiryo membantu, dan Saka yang membawa ramuan racikannya melemparkan botol ke arah wajah musuh. Cairan belerang bercampur akar waru merah melelehkan wajahnya, hingga ia roboh mengerang.

Namun dari kejauhan, seseorang memperhatikan pertarungan itu dari balik hutan. Tubuhnya tinggi, kulitnya gelap seperti arang, matanya berwarna merah menyala. Ia mengenakan topeng kayu hitam dan membawa tongkat panjang berhiaskan tengkorak burung hantu. Sosok itu adalah Ki Jabhar, sang dukun misterius dari tanah jauh, yang dipanggil Sureng karena Nyai Lumut sendiri takut padanya. “Saat terang terlalu silau, biarkan bayangan membungkus dunia,” bisiknya.

Setelah kebakaran padam dan kios dinyatakan tidak bisa digunakan lagi, Saka merasa terpukul. Bukan karena hartanya, tapi karena niat baiknya diserang dengan cara sekejam itu. Laras memeluknya, mencoba menenangkan. “Ini bukti bahwa kebaikanmu menyakitkan bagi orang-orang yang bernafsu menguasai,” ucapnya pelan. Saka menghela napas, namun tidak menyerah. Ia justru menyusun rencana lanjutan.

Dengan bantuan Kang Wiryo dan Kang Sunar, Saka mengumpulkan para pemuda kadipaten untuk pelatihan bela diri dan pengetahuan dasar pengobatan. “Kita tak boleh hanya bergantung pada satu dua orang. Ilmu harus diwariskan,” katanya. Satu demi satu, anak-anak muda mulai tertarik, terutama setelah mereka melihat pasien sembuh dan kios dibangun kembali dengan bantuan warga.

Namun malam itu, saat semua tertidur, Laras mendengar suara langkah kaki di atap. Ia mengintip dari celah jendela, dan melihat sekilas sosok berjubah dengan mata merah berdiri di pohon randu di belakang rumahnya. Laras menahan napas, dan perlahan mengambil keris kecil peninggalan ibunya. Saka yang terbangun karena suara gemerisik segera meraih tongkat bambunya, dan bersiap menghadapi sesuatu.

Pagi harinya, di dekat kandang kambing, mereka menemukan boneka jerami yang digantung dengan benang merah, lidahnya terbuat dari beling, dan di dadanya tertulis “Keberhasilan akan Dilumat oleh Waktu.” Saka membaca tulisan itu dengan tatapan dingin. Ia tahu, ini bukan lagi sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang dari dunia gelap.


Bab 14 — "Bayangan dari Arah Timur"

Mentari pagi menyapu langit Sadeng dengan lembut, namun udara terasa ganjil—seolah menyimpan ketegangan yang tak terlihat. Saka menatap halaman toko ayahnya dari balik jendela kamarnya. Ia belum tidur semalaman, pikirannya terus berkelana pada kejadian kemarin malam. Bayangan sosok berjubah hitam itu—sang pemanah misterius—masih membekas kuat dalam ingatan. Siapa dia? Mengapa begitu piawai menyusup ke tengah Sadeng dan membawa kabar tentang Sureng dan para dukun yang bersatu?

Namun hidup harus terus berjalan. Saka menyembunyikan kegelisahannya dan menyibukkan diri menata sabun-sabun belerang di kios pasar. Ia kini memiliki pelanggan setia—ibu-ibu pejabat kadipaten, bahkan seorang istri prajurit kerajaan, datang khusus hanya untuk membeli sabunnya. Inovasinya mulai dikenal, dan Saka melihat peluang besar—namun juga bahaya besar yang mengintai dari balik pengaruh itu.

Di rumah Ki Darma, suasana tampak sibuk seperti biasa. Pasien datang silih berganti, dan Laras tampak semakin lihai membantu sang ayah mencatat, menyiapkan ramuan, hingga memeriksa luka ringan. Ki Darma sendiri lebih sering menyerahkan pengobatan kulit pada Saka, yang kini sudah membuat salep generasi kedua—lebih ringan teksturnya dan dicampur sari daun sirih. Hasilnya? Pasien pulih lebih cepat.

Tapi di balik geliat kesuksesan itu, Sureng tak tinggal diam. Di sebuah lereng bukit dekat batas hutan timur, ia mengadakan pertemuan rahasia. Duduk melingkar, para dukun tua dengan jubah usang dan mata yang tajam menatap ke bara api di tengah lingkaran. “Anak muda itu—Saka—telah merusak tatanan yang kita jaga bertahun-tahun,” dengus Sureng. “Warga lebih percaya obatnya dari pada mantra kita.”

Salah satu dukun—bernama Nini Ratmi—terdengar serak suaranya. “Ilmu itu bukan dari tanah ini. Dia membawa sesuatu... yang tidak kita mengerti.” Semua terdiam. Kalimat itu bagai petir di malam yang hening. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa Nini Ratmi baru saja mendapat bisikan dari entitas gaib—yang menyebut Saka sebagai ‘pengelana waktu’.

Sureng kemudian memperkenalkan seseorang yang duduk di ujung lingkaran. Seorang lelaki muda, bertopeng kain, dengan rambut panjang dan tatapan tajam. “Namanya Reksapati. Dia bukan dukun. Tapi dia... tahu cara membunuh dalam gelap.” Reksapati hanya mengangguk pelan, kemudian memainkan pisau kecilnya dengan satu tangan. “Beri aku wajahnya, aku akan pastikan dia tak bangun lagi di pagi hari.”

Sementara itu, di rumahnya, Saka duduk bersama ibunya menikmati teh jahe hangat. Ibunya kini mulai menerima bahwa putranya berbeda—bukan sekadar anak saudagar biasa. Meskipun ia tak tahu rahasia Saka, naluri seorang ibu membisikkan bahwa anaknya menyimpan beban berat. “Apa kau bahagia, Nak?” tanya ibunya lembut. Saka hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Bahagia, Bu. Untuk saat ini.”

Malam itu, Saka memeriksa stok bahan di gudangnya. Ia mulai bereksperimen membuat minyak pijat berbahan akar-akaran dan jahe yang bisa meredakan nyeri otot. Ia juga mencoba menciptakan semacam "masker wajah" dari tanah liat dan sari mentimun—ide yang terdengar konyol di masa itu, namun ia yakin punya masa depan. Ia menyimpan semua catatan penelitiannya dalam lembaran lontar yang disusun rapi.

Di sisi lain kota, Reksapati sudah mulai mengamati rumah Saka. Dari atas pohon jati yang tinggi, ia memperhatikan jadwal harian, pola gerak, dan kebiasaan keluar masuk rumah. Ia bahkan tahu waktu Saka paling lengah—saat membersihkan kolam air di belakang rumah. Tapi yang tak diketahui Reksapati, Kang Wiryo sedang menyelidiki pergerakan mencurigakan di luar kota dan telah mengendus aroma bahaya.

Suatu malam, saat Saka hendak pulang dari rumah Ki Darma, ia dicegat seseorang yang menabraknya secara sengaja di jalan kecil dekat pasar. Saka hampir jatuh, namun dengan reflek bela diri yang dipelajarinya di SMA dulu, ia langsung memiting lengan penyerangnya. Orang itu terkejut, dan Saka menyadari bahwa bukan pencopet biasa—ada latihan dalam gerakannya.

Reksapati yang mengawasi dari kejauhan mencibir. "Menarik," bisiknya sendiri. “Anak ini lebih dari sekadar pintar meracik sabun.” Ia pun memutuskan untuk tidak menyerang malam itu—belum. Ia ingin tahu lebih banyak. Incarannya ternyata lebih rumit daripada yang ia kira.

Pagi harinya, Laras datang ke rumah Saka membawa sekeranjang buah dan beberapa catatan ramuan baru dari ayahnya. Ia tampak riang seperti biasa, namun ketika melihat wajah Saka yang tampak lelah, ia bertanya, “Kau tidak tidur nyenyak semalam?” Saka hanya menggeleng. “Aku bermimpi... dunia kita akan berubah. Dan aku belum tahu apakah itu kabar baik atau buruk.”

Dan tanpa mereka sadari, bayangan di balik rerimbun bambu terus mengawasi—menunggu waktu yang tepat untuk mengguncang semuanya.

--------- Bersambung ------------

Bab 15 – Riak dalam Tenang

Pagi itu Sadeng diselimuti kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan dan atap-atap rumah penduduk. Burung-burung kecil berkicau pelan, seolah mencoba menepis kesunyian yang terlalu dini menyelimuti suasana. Di rumah Ki Darma, Laras tengah menyapu halaman sambil sesekali memandangi jalan setapak, menanti seseorang yang kini selalu ada dalam pikirannya—Saka. Ia tidak tahu pasti sejak kapan perasaannya tumbuh, tapi setiap langkah kaki pemuda itu membawa harapan yang sulit dijelaskan.

Sementara itu, Saka tengah membantu ayahnya menimbang karung beras yang akan dikirim ke pasar. Tangannya bekerja cekatan, namun pikirannya melayang pada racikan sabun belerang yang baru saja ia sempurnakan malam sebelumnya. Ada ide lain yang terus berdesak di benaknya, tentang bagaimana ia bisa mengolah tanaman lokal menjadi antiseptik alami. Ia mencatat di pikirannya: daun sirih, kulit kayu manis, dan air rebusan jeruk purut—ramuan yang pernah ia pelajari di kampusnya dulu.

Setelah selesai membantu ayahnya, Saka mengambil kantong kulit kecil yang berisi sabun belerang dan melangkah menuju rumah Ki Darma. Di tengah perjalanan, ia melewati kerumunan warga yang tengah mengobrol tentang betapa cepatnya penyakit kulit di desa mereka mereda. "Sabun ajaib dari putra Saudagar!" seru salah satu ibu-ibu, membuat Saka tersenyum kecut. Ia tahu betul bahwa ‘keajaiban’ itu hanyalah serpihan ilmu dari masa yang seharusnya belum datang.

Ketika tiba di rumah Ki Darma, Laras membukakan pintu dengan wajah cerah. “Kau datang lebih awal dari yang kuduga,” katanya sambil mengibas debu di bajunya. Saka membalas dengan senyum tipis, “Kalau aku bisa melihat senyum itu lebih cepat, kenapa tidak?”

Ki Darma sedang duduk di bale-bale bambu di belakang rumah, menata tanaman obat yang baru ia panen dari kebun belakang. “Ah, ini dia calon tabib muda kita!” serunya ketika melihat Saka. “Bagaimana hasil racikanmu?”

Saka mengeluarkan sabun belerang dari kantongnya dan meletakkannya di meja kecil. “Ini versi baru, Ki. Aku mencampurkannya dengan daun sirih dan sedikit minyak kelapa. Baunya lebih bersahabat, dan aku rasa efeknya akan lebih kuat.” Ki Darma mengambil potongan sabun itu, mengamatinya sejenak, lalu mencium aromanya. “Hmm… harum dan menyengat. Ini akan jadi penemuan besar,” gumamnya kagum.

Namun, saat suasana tengah hangat oleh pujian dan tawa, di sebuah gubuk tua di pinggir hutan, Sureng tengah berbicara dengan seorang lelaki bertubuh kurus dan bermata cekung. Orang itu adalah sosok misterius yang dikenal dengan nama "Ki Kalang", mantan dukun dari arah timur yang konon memiliki ilmu pemanggil angin dan kabut. Sureng berkata dengan penuh amarah, “Ilmu bocah itu menghancurkan pengaruh kami. Mereka tak lagi percaya pada mantera. Obatnya menjatuhkan martabat para dukun.” Ki Kalang menatap nyalang, “Kalau begitu, kita balas dengan cara yang tak bisa disembuhkan oleh obat sekalipun.”

Kembali ke rumah Ki Darma, Laras mengajak Saka berjalan ke kebun belakang. Di sana mereka berdiri berdua di bawah naungan pohon randu yang tua. Laras menggenggam ujung selendangnya, tampak ragu. “Saka…” suaranya lirih, “Apa kau… pernah merasa seperti kau bukan dirimu sendiri?” Saka menoleh cepat, jantungnya berdebar. “Kenapa kau bertanya begitu?” Laras menunduk. “Entah. Saat aku melihatmu, sering kali aku merasa seperti kau membawa beban dari dunia yang tidak kumengerti. Tapi di saat yang sama… aku merasa kau adalah bagian dari masa depan yang baik.”

Saka menghela napas panjang. Ada dorongan untuk mengatakan segalanya, tapi ia menahan diri. “Aku hanya ingin berguna, Laras. Dan mungkin… takdirku memang bertemu denganmu di sini.” Laras menatap mata Saka, dan sejenak waktu terasa berhenti. Mereka tidak bersentuhan, tapi kedekatan itu nyata.

Di malam harinya, seorang warga yang hendak pergi ke sungai melihat sekelibat bayangan tinggi besar di dekat kandang sapi milik Ki Darma. Ia tidak mengenali sosok itu, dan ketika ia berusaha mendekat, sosok itu lenyap ditelan kegelapan seperti kabut yang terangkat. Warga itu lari terbirit-birit dan langsung melapor ke juru ronda. Kabar tentang bayangan misterius pun menyebar cepat di pagi harinya.

Ki Darma, yang mendengar kabar tersebut, langsung menghubungkan semuanya. “Ini bukan bayangan biasa. Ini bentuk peringatan dari orang yang tak suka dengan perubahan.” Saka menggertakkan giginya. Ia tahu bahwa semakin banyak yang ia lakukan, semakin besar ancaman yang mengintainya.

Namun, ketakutan tidak membuatnya mundur. Justru, Saka mulai membuat rencana untuk membagi ilmu pengolahan tanaman obat kepada anak-anak muda di Sadeng. “Kita harus melawan ketidaktahuan dengan pengetahuan,” katanya tegas. Ki Darma menepuk pundaknya dengan bangga. “Kau benar, Saka. Sudah saatnya Sadeng bangkit, bukan karena takhayul, tapi karena pemahaman.”

Laras duduk di beranda rumahnya malam itu, memandangi langit yang mulai kelabu. Ia tahu gelombang besar sedang mendekat, tapi ia percaya, selama ada Saka, ia tidak akan takut menghadapi apa pun. Dan di kejauhan, Ki Kalang mengangkat tangannya ke langit, membaca mantra-mantra kuno yang mulai bangkit dari tidur panjangnya.


Bab 16 — Riuh di Balik Ketenangan

Fajar menyibak kabut pagi di Kadipaten Sadeng. Udara terasa sejuk, namun ada kegelisahan samar yang mengendap di antara desir angin dan langkah para pedagang yang membuka lapak lebih awal. Di rumah Ki Darma, Saka duduk bersila di serambi, menatap botol-botol kaca hasil eksperimennya semalam. Tangan kirinya menggenggam kertas berisi catatan bahan dan takaran. “Kalau takarannya benar, salep ini bisa mempercepat penyembuhan luka terbuka…,” gumamnya pelan.

Laras datang membawa nampan berisi teh dan ketan gurih. Ia duduk di samping Saka, meletakkan nampan pelan agar tak mengusik konsentrasi. “Semalaman kau tak tidur?” tanyanya lirih. Saka menoleh, tersenyum samar. “Tidur nanti. Pagi ini, aku mau uji coba campuran baru ini ke ayam yang luka tadi.” Laras menatap lekat-lekat wajah Saka. Matanya menyimpan keprihatinan, tapi juga kekaguman yang tak disembunyikan.

Di sisi lain Kadipaten, suasana pasar mulai ramai. Kios ayah Saka menjual sabun belerang dan salep penyembuh dalam jumlah yang terus meningkat. Orang-orang dari dusun-dusun sekitar datang berbondong-bondong, bahkan ada yang meminta resep atau ingin belajar cara meraciknya. Hal ini membuat Sureng semakin terpojok. Nama Saka dan Ki Darma meluas seperti gelombang yang tak terbendung.

“Ini harus dihentikan!” bentak Sureng dalam pertemuan rahasia bersama beberapa dukun yang ikut terdampak. “Jika dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan pengaruh, kita kehilangan tempat!” Salah satu dukun, bertubuh kerempeng dan berkepala plontos, menyeringai. “Kita butuh lebih dari sekadar mantera. Kita butuh kekuatan bayangan.” Sureng mengangguk pelan. “Akan kuundang dia… Sang Pendiam dari Selatan.”

Malam harinya, di sebuah bukit yang sunyi, seorang pria tinggi berbalut jubah hitam berdiri menghadap bulan purnama. Suaranya berat dan pelan. “Kau ingin kekuatan kegelapan yang nyata, Sureng?” tanya pria misterius itu. Sureng menunduk, gentar tapi yakin. “Aku ingin dia hilang dari bumi ini.” Pria itu mengangguk sekali, lalu menancapkan tongkatnya ke tanah. Tanah di sekeliling mereka bergetar pelan.

Sementara itu, Saka dan Laras memeriksa luka seekor kambing yang digigit binatang liar. Ia mengoleskan salep buatannya dengan hati-hati. Ki Darma mengamati dari dekat. “Campuranmu bagus, Saka,” ucapnya tenang. “Aromanya menyatu, dan tidak menyengat. Kulit kambing ini akan sembuh lebih cepat dari biasanya.” Saka tersenyum, tapi dalam hatinya ia merasa aneh. “Aku merasa ada yang mengintai sejak kemarin,” gumamnya.

Laras menoleh tajam. “Mengintai? Siapa?”
“Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja,” jawab Saka, meski instingnya berkata lain. Ia merasa tatapan dingin yang sama setiap kali ia melangkah ke pasar atau mengantarkan obat. Bahkan semalam, bayangan hitam tampak melintas di luar rumah Ki Darma. Tapi saat dikejar, bayangan itu lenyap seperti asap.

Keesokan harinya, ada kejadian ganjil di pasar. Seorang pria jatuh kejang-kejang usai mencoba sabun dari kios ayah Saka. Orang-orang panik. Ayah Saka berlari dan memanggil tabib. Ki Darma datang bersama Saka dan segera memeriksa si pria. Setelah mengendus sabunnya, Ki Darma mengernyit. “Ini bukan racikan kita.” Saka segera paham. “Seseorang telah menyusupkan sabun palsu.”

Hari itu berubah kacau. Beberapa orang mulai bertanya-tanya. Ada yang percaya pada Saka dan Ki Darma, ada yang mulai ragu. Laras mendatangi Saka, wajahnya tegang. “Ini rencana mereka, Saka. Mereka ingin menjatuhkanmu.” Saka mengangguk. “Aku tahu… dan aku akan mencari siapa yang melakukannya.”

Di malam yang sama, pria misterius berjubah hitam berjalan perlahan di tepi sungai. Ia memandangi cahaya lentera dari kejauhan, dari rumah Ki Darma. “Malam ini aku peringatkan mereka,” gumamnya. Ia mencelupkan tangannya ke sungai. Air mendidih di sekelilingnya. Ikan-ikan mati mengambang. Aroma belerang menguap dari jari-jarinya.

Saka duduk di ruang belakang rumah Ki Darma, mempelajari catatan ramuan baru yang ingin ia buat: minyak gosok untuk nyeri otot. Tapi tiba-tiba, seekor burung gagak besar menabrak jendela dan jatuh mati. Saka berdiri. Wajahnya menegang. “Ini bukan sekadar ancaman,” katanya tegas.

Ki Darma masuk. “Kau merasakannya juga?”
Saka menatap Ki Darma. “Ada kekuatan lain yang mulai bergerak. Dan mereka tak ingin perubahan terjadi.”


Bab 17 – Bara dalam Bayang Malam

Langit malam menggantung kelam di atas Kadipaten Sadeng. Angin membawa suara ranting yang patah, menari bersama desir bisik-bisik ketegangan yang mulai terasa dari sudut-sudut pasar hingga ke halaman rumah Saka. Sejak penyerangan Ki Lodra dan gerombolannya gagal total, penduduk merasa was-was. Di balik ketenangan yang coba dipertahankan, Saka tahu: badai berikutnya pasti akan datang, dan mungkin lebih dahsyat.

Di rumahnya, Saka duduk bersila bersama ayah dan ibunya, mencoba menjelaskan rencananya untuk menyebarkan sabun kesehatan ke kadipaten-kadipaten sekitar. "Aku ingin ini bukan cuma jadi dagangan, Ayah. Tapi penyelamat. Banyak orang yang masih menderita penyakit kulit. Ini harus sampai ke mereka," ujar Saka, sorot matanya tajam penuh tekad.

Ayah Saka mengangguk pelan, sembari mengelus janggut tipisnya. "Tapi kamu harus hati-hati, Nak. Tak semua orang suka perubahan. Dukun-dukun itu, mereka mulai merasa terusik. Dan Sureng… bukan orang yang akan diam saja."

"Biarkan aku yang urus dia nanti, Ayah," jawab Saka. "Tapi untuk saat ini, aku harus pastikan produksi sabun terus berjalan. Aku juga sedang merancang ramuan baru—ramuan penguat daya tahan tubuh."

Sementara itu, di kedalaman hutan selatan Sadeng, Sureng bertemu kembali dengan sosok berjubah kelam yang menolak menyebutkan nama. Sosok itu hanya dikenal sebagai “Bayang”. Suaranya berat, matanya menyala samar dalam gelap. “Kau gagal, Sureng. Tapi belum terlambat. Aku bisa bantu… dengan syarat.”

"Aku akan lakukan apa pun. Hancurkan Saka!" geram Sureng.

Bayang menyeringai. “Bagus. Maka malam ini, kau akan mendapat kekuatan. Tapi ingat, harga yang kau bayar adalah jiwamu sendiri.” Sosok itu mengangkat tangan, lalu langit bergetar pelan, dan udara menjadi dingin. Ritual kegelapan dimulai.

Keesokan harinya, di rumah Ki Darma, Laras tampak cemas. "Saka, tadi malam aku bermimpi buruk. Kulihat bayangan hitam melilit rumah kita, dan darah menetes dari langit."

Saka memegang tangan Laras, menatap matanya dalam. “Aku juga merasa ada yang aneh. Kita harus lebih waspada. Aku akan bicara dengan Kang Wiryo dan Kang Sunar. Mungkin mereka bisa bantu menjaga rumah.”

Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari halaman. Saka berlari keluar, mendapati seorang kurir datang dengan napas tersengal. “Tuan Saka! Gudang tempat menyimpan bahan sabun terbakar! Kami tak tahu siapa pelakunya, tapi api menyala cepat… seperti disiram minyak!”

Saka mengepal tangannya. “Ini pasti ulah mereka… Sureng atau orang-orangnya. Aku tak bisa tinggal diam lagi.” Ia segera memanggil Kang Wiryo dan Kang Sunar untuk menyusun strategi perlindungan dan pencarian dalang pembakaran itu.

Sementara itu, di pasar besar kadipaten, kabar mengenai sabun Saka mulai menyebar hingga ke wilayah tetangga. Para pedagang mulai tertarik membawa produk itu. Tapi bersamaan dengan itu, muncul isu miring—bahwa sabun Saka menyebabkan kerontokan rambut dan gatal-gatal parah. Isu yang jelas merupakan fitnah.

“Ini sabotase,” gumam Laras saat mendengar keluhan palsu dari seorang wanita yang ternyata adalah pengikut seorang dukun. “Kita harus hadapi ini dengan bukti. Biarkan rakyat melihat sendiri khasiat sabun itu. Kita undang mereka untuk mencoba langsung di rumah tabib.”

Saka menyetujui ide itu. Mereka pun menyusun rencana menggelar ‘Pasar Sehat’ di halaman rumah Ki Darma, tempat orang bisa mencoba sabun dan ramuan Saka secara cuma-cuma. Masyarakat pun berbondong-bondong hadir, dan pelan-pelan kepercayaan mulai kembali.

Namun, malam hari ketika semua tampak tenang, Laras merasa sepasang mata mengawasinya dari kejauhan. Ia berjalan pelan menuju pojok halaman… dan samar, ia melihat sosok berjubah gelap berdiri menatap rumahnya dari balik pepohonan. Saat ia hendak memanggil Saka, sosok itu telah lenyap.

"Ada sesuatu yang besar akan terjadi," bisik Laras, tubuhnya menggigil bukan karena dingin… tapi karena firasat yang mulai tumbuh liar dalam dadanya.


Bab 18 – Jejak Dalam Kabut

Kabut pagi menyelimuti jalanan berbatu menuju hutan kecil di sebelah timur Kadipaten Sadeng. Langkah kaki Saka terdengar lirih menapaki tanah lembap, ditemani suara desir angin yang menyusup dari sela pepohonan. Hari ini, ia dan Laras berencana menemui Ki Warno, seorang pertapa tua yang dikenal sebagai ahli tanaman langka. Mereka mendengar kabar bahwa Ki Warno mungkin memiliki pengetahuan tentang tanaman penawar racun yang digunakan para dukun bayaran Sureng. Jalanan tampak sepi, namun firasat Saka berkata lain.

"Laras, kau yakin Ki Warno masih tinggal di pondok tuanya di sini?" tanya Saka sambil terus waspada menoleh ke kanan-kiri.

"Iya, terakhir Ayah bilang, beliau belum lama ini kembali dari pengembaraannya. Tapi hati-hati, wilayah ini belum benar-benar aman sejak kasus para begal itu," jawab Laras pelan, tangannya menggenggam kuat gagang pisau kecil yang diselipkan di pinggangnya.

Ketika mereka mendekati pondok tua yang dimaksud, suara samar ranting patah membuat mereka menghentikan langkah. Dari balik semak, dua sosok muncul dengan cepat. Bukan begal, tapi Wiryo dan Sunar.

"Kami diminta Ki Darma untuk mengawal kalian dari kejauhan. Sesuatu tentang firasat buruk," kata Sunar, matanya menyapu area sekitar dengan awas.

Mereka tiba di pondok Ki Warno, rumah kayu sederhana yang dikelilingi pagar dari bambu kering dan tanaman herbal yang tumbuh liar namun tampak terawat. Ki Warno muncul dari balik pintu, mengenakan jubah lusuh dan membawa tongkat dari akar pohon jati.

"Saka... aku sudah menantikan kedatanganmu," ucap Ki Warno dengan suara serak namun penuh wibawa. "Angin telah membawa bisik-bisik tentang racun yang mewabah dari tangan dukun bayaran. Kau ingin penawarnya?"

Saka mengangguk. "Betul, Ki. Racun itu sangat mematikan. Beberapa korban tak sempat ditangani."

Ki Warno menghela napas, lalu mempersilakan mereka masuk. Di dalam pondok, bau campuran kayu tua dan rempah menyergap hidung mereka. Ki Warno membuka sebuah kotak dari batu dan menampilkan seikat akar berwarna kebiruan.

"Akar ini hanya tumbuh di Gunung Raung. Disebut Akar Penangkal Setan. Racun dukun itu kemungkinan besar mengandung bisa dari ular rawa dan jamur busuk dari gua tengkorak. Akar ini bisa menetralkannya... tapi perlu diolah hati-hati."

Saka memandangi akar itu dengan takjub. Ia mulai membayangkan proses ekstraksi yang ia pelajari semasa kuliah. Dalam pikirannya, ia bahkan sudah merancang alat sederhana untuk memurnikan zat aktif dari akar tersebut. Namun sebelum ia sempat bicara, suara ledakan kecil terdengar dari luar.

Sunar bergegas keluar dan kembali dengan ekspresi tegang. "Ada seseorang... melempar api dari kejauhan. Sepertinya dukun bayaran. Tapi dia memakai jubah asing, bukan dari Sadeng."

Saka menatap Laras. “Jadi mereka mulai tahu kita sudah menemukan celah kelemahan mereka…”

Ki Warno mendekat. “Mereka tak akan berhenti, anak muda. Tapi kekuatanmu bukan hanya di pengetahuan... tapi di hatimu. Jangan biarkan kemarahan membutakan langkahmu.”

Saka menarik napas panjang. Ia tahu pertarungan belum berakhir. Bahkan baru dimulai. Tapi hari ini, ia membawa pulang harapan baru: akar penawar yang bisa menjadi penentu nasib banyak nyawa. Ia mengepalkan tangan, menatap ke arah barat, tempat di mana kadipaten Sadeng menanti penyelamatnya.


Bab 19 – Api dalam Sekam

Mentari pagi belum sepenuhnya terbit ketika suara pintu diketuk dengan tergesa di rumah Ki Darma. Saka baru saja selesai menyapu halaman depan ketika Laras keluar membawa nampan berisi minuman hangat. “Siapa itu sepagi ini?” tanya Laras dengan dahi berkerut. Saka meletakkan sapu dan membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki tua dengan wajah penuh kecemasan—salah satu tetua dari desa tetangga. “Tolong, Ki Darma... tolong kami... banyak warga kami jatuh sakit. Kulit mereka melepuh, panas tinggi, dan tidak sadarkan diri,” ucapnya tergesa.

Ki Darma yang mendengar dari dalam segera keluar. “Seperti bukan penyakit kulit biasa,” gumamnya. Saka langsung sigap. “Ayo Ki, kita bawa beberapa obat dan sabun belerang. Bisa jadi ini penyebaran penyakit yang lebih parah.” Mereka segera menyiapkan peralatan dan naik kuda menuju desa tetangga, disertai Laras dan dua murid tabib. Sepanjang jalan, Saka menahan gelisah. Ini bukan gejala yang biasa ia lihat. Apa ini penyebaran alami atau ada yang sengaja menyebarkan sesuatu?

Sesampainya di sana, mereka disambut oleh pemandangan mengerikan. Beberapa warga mengerang kesakitan, tubuh mereka melepuh seperti terkena cairan panas. Bau menyengat menusuk hidung. Saka segera mengenakan kain penutup wajah. “Ini bukan penyakit biasa... ini seperti racun,” katanya pelan. Ki Darma mengangguk muram. “Aku juga mencurigai hal itu.” Mereka mulai memeriksa pasien satu per satu, dan benar—ada pola aneh. Luka terlihat seperti reaksi kimia, bukan infeksi.

Di sela pemeriksaan, Laras menarik Saka ke samping. “Kau ingat lelaki yang mengintai kita di ladang dulu?” Saka mengangguk. “Kupikir dia ada hubungannya dengan semua ini,” lanjut Laras. Saka mengepalkan tangan. “Sureng... pasti dia. Dan dia tak bekerja sendiri.” Saka memandangi para korban dengan perasaan bersalah. “Aku membawa pengetahuan dari masa depan, tapi aku juga membawa musuh baru…”

Malam itu, Saka duduk bersama Ki Darma, Laras, dan para murid. Mereka mendiskusikan kemungkinan adanya sabotase. “Kalau ini racun,” ujar Saka sambil menggambar di tanah, “maka ada yang menyebarkannya lewat sumur atau makanan.” Ki Darma menatap dalam. “Itu berarti ada niat untuk membunuh massal.” Laras menggenggam tangan Saka. “Kita harus selamatkan mereka.”

Keesokan harinya, mereka mendapati dua sumur utama di desa itu telah dicemari cairan berwarna kekuningan. Setelah diuji sederhana oleh Saka, cairan itu terbukti bersifat korosif. “Ini bukan zat dari alam biasa. Ini buatan... ada tangan manusia di balik ini,” ujarnya. Ki Darma mendesah. “Ini bukan hanya soal dendam pribadi... ini sudah masuk pada kehancuran masyarakat.”

Sementara itu, di dalam hutan yang lebat, Sureng berdiri di hadapan seorang lelaki berjubah gelap. Wajah lelaki itu tertutup topeng kayu. Suaranya rendah dan seram. “Kau gagal membuat rakyat kehilangan kepercayaan pada tabib. Tapi ini baru permulaan. Biarkan aku yang lanjut.” Sureng terlihat ciut, tapi mengangguk. “Baik, Dukun Agni... aku akan ikut perintahmu.” Dukun itu tertawa pelan. “Dunia ini akan kembali tunduk pada ilmu hitam... dan Saka akan jatuh bersama cahaya pengetahuannya.”

Di hari berikutnya, Saka bersama Laras dan murid lainnya membangun sistem penyaringan air dari batu kapur dan arang aktif, berdasarkan ingatannya tentang dasar-dasar teknik sanitasi. “Kalau kita bisa menahan penyebaran racun dari air, kita bisa mencegah wabah lebih besar,” jelasnya. Para warga membantu dengan antusias. Kepercayaan mereka kepada Saka dan Ki Darma semakin kuat.

Namun malam harinya, ketika Saka sedang mencatat temuannya, seseorang melemparkan kantong berisi bangkai tikus ke halaman rumah Ki Darma. Tikus itu basah oleh cairan yang sama dengan yang mencemari sumur. “Mereka ingin menebar teror,” gumam Saka. Laras berdiri di sampingnya, matanya tak gentar. “Kita lawan, Saka. Kita harus lawan mereka dengan ilmu, bukan ketakutan.”

Beberapa hari kemudian, desa mulai pulih. Sabun belerang dan sistem air bersih Saka mulai menunjukkan hasil. Tapi malam itu, satu rumah terbakar hebat. Tiga warga terluka. Di dinding puing yang tersisa, ditemukan simbol ukiran kayu bergambar tengkorak dengan lidah menjulur panjang. Ki Darma menyentuh simbol itu. “Ini... simbol dukun Agni. Dia telah kembali.”

Saka merasakan amarah membara dalam dirinya. “Kalau begitu, aku harus mempersiapkan lebih dari sekadar ramuan dan sabun.” Laras mendekat, menyentuh bahunya. “Dan aku akan berdiri di sampingmu. Apa pun yang terjadi.” Untuk pertama kalinya, Saka merasa—apa yang ia hadapi lebih besar dari sekadar rahasia masa depan. Ini adalah ujian antara dua dunia, antara terang dan gelap, antara ilmu dan kepercayaan lama.


Bab 20 – Nyala dari Kegelapan

Malam di Desa Sadeng kini tak pernah benar-benar tenang. Setelah insiden pembakaran rumah dan ditemukannya simbol tengkorak lidah menjulur, warga mulai waspada. Mereka menyalakan api unggun di setiap sudut desa, berdoa lebih sering, dan menjaga keluarga mereka dengan mata penuh curiga. Di rumah Ki Darma, Saka duduk membungkuk di atas meja, mencoretkan sketsa alat baru dari batangan logam dan roda kayu. "Kalau aku bisa membuat alat penyemprot sederhana, aku bisa menyebarkan cairan penawar lebih cepat," gumamnya. Laras duduk di sampingnya, mengusap lengannya. “Tapi kau juga harus tidur, Saka…”

“Tidur bisa menunggu,” balas Saka, pandangan matanya tajam menatap sketsa itu. “Dukun Agni bukan hanya bermain-main. Dia ingin menghancurkan semuanya—moral, ilmu, bahkan harapan.” Ki Darma masuk dengan wajah muram. “Aku dengar dari kurir… tiga desa lain juga diserang. Ada yang sumurnya berubah merah. Ada yang semua hewan ternaknya mati tiba-tiba.” Saka mengepal tangan. “Dia bukan sekadar dukun… dia penyebar kegelapan.”

Keesokan paginya, Saka dan Ki Darma memimpin tim kecil untuk menelusuri jalur distribusi air desa. Mereka mendapati tabung-tabung bambu disembunyikan di balik semak belukar, berisi cairan hitam berlendir. “Ini bukan ramuan biasa… ini racun sihir,” ujar Ki Darma sambil mencelupkan ujung tongkatnya dan melihatnya membusuk perlahan. Laras menutup mulut menahan mual. “Siapa yang tega membuat ini...”

Tiba-tiba, dari balik semak, terdengar suara riuh. Sekelompok pria berjubah hitam melompat keluar, membawa senjata tumpul dan mata berkilat merah. “Serahkan pemuda itu!” seru salah satu dari mereka, menunjuk Saka. “Dia musuh para leluhur!” Tanpa ragu, Kang Sunar dan Kang Wiryo yang ikut menjaga di belakang segera maju, mengayunkan senjata. Pertarungan pecah, keras dan brutal.

Saka menghindar dari sabetan, melompat ke belakang dan mencampur cairan penawar dari kantung kecil di ikat pinggangnya. “Ini saatnya!” Ia menyemprotkan cairan itu ke wajah salah satu penyerang, membuatnya berteriak kesakitan dan roboh. Laras dengan lincah mengambil batang bambu dan menghantam kepala penyerang lain. Ki Darma menghantamkan tongkatnya dengan penuh tenaga. “Kalian menolak cahaya! Maka tenggelam dalam kegelapan kalian sendiri!”

Setelah pertempuran mereda, dua dari penyerang melarikan diri. Salah satunya tertangkap dan diikat di rumah Ki Darma. Saka menatapnya tajam. “Siapa dalang kalian?” Penyerang itu hanya tertawa pelan. “Kau tak bisa mengalahkan Agni… dia bukan manusia biasa. Dia dibangkitkan oleh darah dan nyawa!” Ki Darma menatap ngeri. “Ini… lebih dari yang kita sangka…”

Malamnya, Saka duduk sendiri di bawah langit penuh bintang. Hatinya bergolak. Ia mengingat pelajaran toksikologi, mikrobiologi, bahkan dasar-dasar senyawa dari masa kuliahnya dulu. “Jika dia menggunakan sihir dan racun… maka aku akan melawan dengan logika dan cahaya.” Tapi Saka tahu… perang ini tak hanya soal ilmu, tapi juga hati. Ia harus menjaga agar rakyat tetap percaya, tetap tenang.

Pagi berikutnya, ia membagikan sabun baru yang telah diperkuat dengan campuran herba penawar. Ia menjelaskan penggunaannya di tengah pasar desa, dikelilingi warga. “Sabun ini bukan hanya untuk membersihkan… tapi juga untuk menjaga kalian dari serangan tak terlihat.” Warga mengangguk, sebagian masih takut, tapi ada harapan di mata mereka. “Kau seperti tabib dari langit,” bisik seorang ibu.

Namun harapan itu diuji malam harinya, ketika suara gong darurat dibunyikan dari menara desa. Api membakar lumbung padi di sisi barat desa. Ketika warga berkumpul dan memadamkan api, mereka menemukan gulungan kulit kayu dengan tulisan darah: “Kalian percaya pada cahaya? Maka terangi kuburan kalian sendiri!” Laras menggigil, menggenggam tangan Saka. “Dia makin dekat…”

Di sisi lain hutan, Dukun Agni duduk di atas batu besar, dikelilingi api ungu yang meliuk seperti ular. Sureng berlutut di hadapannya. “Rakyat mulai mendukung pemuda itu… mereka mulai melupakan kita.” Agni hanya tertawa. “Maka biarkan kita perlihatkan kekuatan sejati. Ritus darah akan dimulai malam purnama…” Ia mengangkat tangan dan dari tanah muncul patung kayu setinggi manusia, dengan wajah menyerupai Saka.

Kembali di desa, Saka mulai merakit alat penyemprot dari tabung bambu, tali ijuk, dan mekanisme tuas sederhana. Ia mengajarkan warga cara penggunaannya. “Kita tak bisa menunggu diserang. Kita harus bertahan.” Kang Sunar menepuk pundaknya. “Dan kami akan melindungi dari depan, kau dari belakang.”

Pada malam sebelum purnama, Laras datang ke kamar Saka. Wajahnya serius. “Kalau kau terluka, kalau kau tak kembali… aku ingin kau tahu… aku mencintaimu.” Saka terdiam sejenak, menatap mata Laras dalam-dalam. “Aku juga, Laras… Dan aku akan kembali. Untukmu. Untuk semua.” Mereka berpelukan erat, seperti ingin menahan malam dari terus berjalan.

Di atas bukit, di luar desa, kilatan api ungu mulai terlihat. Udara terasa lebih berat, seperti mengandung kemarahan. Saka berdiri di tepi desa bersama Ki Darma, Kang Sunar, Kang Wiryo, dan para warga. “Mereka datang,” bisik Ki Darma. Saka mengangguk, menggenggam alat penyemprot di tangan. “Maka biarkan mereka tahu... bahwa kita bukan hanya bertahan. Kita melawan.”


Bab 21 - Tangan-Tangan dalam Bayangan

Fajar menggeliat pelan di balik kabut tipis yang menyelimuti kaki perbukitan Sadeng. Udara masih membawa embun dingin, namun di dalam rumah Ki Darma, ketenangan itu telah lama retak. Sejak kejadian di hutan seminggu lalu, Laras mulai berubah. Tatapannya sering kosong, pikirannya mengembara, dan malam-malamnya diwarnai mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan peluh dingin. Saka menyadari itu, namun belum cukup keberanian untuk bertanya lebih jauh. Ia hanya tahu, sesuatu sedang mengintai dari balik bayangan masa lalu Laras—dan itu mengusiknya.

"Kenapa kau tak tidur lagi, Laras?" tanya Saka pagi itu saat ia mendapati gadis itu duduk memeluk lutut di bale bambu di belakang rumah, memandang ke arah kebun tanaman obat.

Laras hanya menoleh perlahan, senyumnya pucat. "Aku bermimpi... tentang ibuku. Tapi wajahnya berubah menjadi seseorang yang tak kukenal. Matanya... seperti memanggilku."

Saka menarik napas pelan. Ia duduk di samping Laras, memandang kabut yang menggulung lembut di kejauhan. "Kadang, mimpi membawa pesan. Tapi kadang juga, hanya bayangan dari rasa takut."

Laras menunduk, jari-jarinya menggenggam erat kain selendangnya. "Aku merasa... ada seseorang yang mengamatiku. Bukan hanya di mimpi, tapi di dunia nyata. Sejak kita pulang dari perjalanan itu."

Dan memang bukan perasaan kosong. Di balik deretan pohon asam tua tak jauh dari rumah itu, sepasang mata mengintip dari balik semak. Sosok misterius berjubah hitam dengan wajah tertutup kain menatap Laras dan Saka dengan mata yang penuh kemarahan tertahan. Tangan kanannya memegang seutas kalung dari benang hitam yang terjalin dengan tulang ayam. Kalung itu bergoyang pelan, mengeluarkan suara lirih, seperti doa dalam gumaman dendam.

Sementara itu, di pasar Kadipaten, sabun belerang buatan Saka semakin terkenal. Warga berbondong-bondong ke kios ayahnya, membawa kabar baik tentang sembuhnya berbagai penyakit kulit. Namun di balik popularitas itu, amarah mulai meletup dari kaum yang merasa terancam. Para dukun, para juru mantera, dan penyembuh gaib merasa kekuasaan mereka diambil. Sureng, lelaki bertubuh gempal dengan wajah bopeng dan mata tajam seperti ular, mulai membangun barisan.

"Obat dari tanah? Dari anak saudagar? Ha! Mereka melupakan kekuatan leluhur!" Sureng menggebrak meja di sebuah gubuk di tepi hutan. Di hadapannya, lima orang berpakaian lusuh dengan tatapan haus darah mengangguk patuh.

"Kita buat mereka mengerti bahwa ilmu tua tak boleh diinjak-injak," lanjutnya, tangannya menekan peta kecil dengan titik merah di sekitar rumah Ki Darma dan pasar Kadipaten. "Kita bakar tempatnya. Kita ambil gadis itu. Kita buat Saka menyesal telah melawan dunia yang tak ia pahami."

Sementara itu, Saka membawa satu botol kecil ramuan baru ke rumah Ki Darma. Obat luka bakar dari campuran belerang, minyak kelapa, dan kulit pisang kering. Laras menyambutnya dengan senyum yang lebih hangat dari biasanya. "Aku tahu ini aneh, tapi... aku merasa lebih aman saat kau di sini."

"Dan aku tak akan membiarkan satu pun bahaya menyentuhmu," balas Saka, matanya menatap dalam. Tapi jauh di sudut pikirannya, ia merasa dunia mulai bergerak ke arah yang gelap. Petunjuk-petunjuk kecil berserakan—senyap warga tertentu, pandangan sinis beberapa orang di pasar, dan suara-suara bisik tak dikenal di malam hari.

Malam pun datang. Dan bersama malam, suara lolongan aneh terdengar dari arah hutan. Saka berdiri dari tempat tidurnya, keluar dari kamarnya dan memandang ke kejauhan. Ada api yang menyala dari arah barat, dekat lumbung tua tempat warga biasa menyimpan rempah dan kayu kering. Api itu bukan api biasa—warnanya keunguan, seolah menyala dari bahan-bahan gaib.

"Laras! Ki Darma!" teriak Saka, berlari ke dalam rumah. "Ada yang membakar lumbung!"

Ketika mereka tiba di sana bersama beberapa warga, api masih berkobar, namun tidak menyebar. Di tanah, ada tanda seperti segitiga aneh dengan garis silang di tengahnya. Ki Darma memandang tanda itu dengan raut wajah menegang. "Ini... lambang mereka. Para penolak ilmu baru. Mereka kembali."

Saka menatap tanda itu dengan rahang mengeras. "Mereka bisa kembali sesering yang mereka mau. Tapi aku tidak akan mundur. Tidak kali ini."


Bab 22 - Nyala Api dalam Senyap

Pagi belum benar-benar menyingsing ketika Saka kembali menyusuri jejak-jejak yang tertinggal di sekitar lumbung tua yang terbakar. Asap sisa kebakaran semalam masih tercium, menyengat dan menyisakan rasa pahit di tenggorokannya. Bersama Ki Darma dan Laras, mereka menelusuri tanah yang gosong, mencari tahu siapa pelaku sebenarnya. Namun tak banyak yang tersisa selain abu, tanda segitiga aneh, dan satu bulu burung hitam yang tergeletak begitu saja di atas batu pipih.

"Bulu gagak," gumam Ki Darma sembari memungutnya. "Mereka yang menggunakan ilmu hitam kerap memakai burung ini sebagai simbol penolak terang."

Laras menggigil. "Kau yakin ini peringatan... atau sebuah awal?"

Saka mengangguk pelan. "Mereka tidak hanya ingin menghentikan kita... mereka ingin menghapus semua yang kita bangun." Suaranya rendah, namun jelas menusuk udara yang mulai menghangat. Ia tahu, ini bukan hanya tentang ramuan atau sabun belerang lagi—ini sudah menjadi perang antara pengetahuan dan ketakutan, antara masa depan dan masa lalu yang enggan dilepaskan.

Hari itu, desa menjadi lebih sunyi dari biasanya. Beberapa warga mulai berbisik di balik tirai rumah, beberapa lainnya enggan keluar, terutama setelah mendengar suara lolongan aneh dan mimpi buruk yang serupa di malam hari. Salah satu warga bahkan mengaku melihat bayangan besar di atap rumahnya, berdiri diam hingga fajar datang. Ketakutan menyusup diam-diam, membekap mereka seperti kabut yang tak mau pergi.

Di rumah Ki Darma, Saka dan Laras mulai meracik ramuan baru untuk melawan luka yang diakibatkan benda panas dan luka dalam. Mereka bereksperimen dengan tanaman jarak, madu hutan, dan sari belerang halus. Namun pekerjaan itu dilakukan dengan suasana yang tegang. Mata Laras beberapa kali melirik jendela, dan Saka menyadari itu.

"Kau masih merasa dia mengintaimu?" tanya Saka pelan.

"Ya," jawab Laras lirih. "Dan setiap malam... bayangannya semakin dekat."

Sementara mereka berkutat di dapur, seseorang mengetuk pintu depan. Ketukan itu tidak seperti biasanya—cepat, tergesa, namun teratur. Ki Darma yang membukakan pintu, dan di hadapannya berdiri seorang lelaki tua berjubah lusuh berwarna abu gelap, dengan topi lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya tajam, menyipit, dan tangannya membawa gulungan kain kulit kayu.

"Aku datang bukan sebagai musuh, tapi pembawa pesan," katanya tanpa basa-basi. "Namaku Mpu Raksa. Aku pernah menjadi bagian dari lingkaran mereka... sebelum aku diasingkan."

Saka dan Laras segera menghentikan aktivitas mereka dan mendekat, rasa penasaran membuncah. Mpu Raksa membuka gulungan kain itu dan memperlihatkan peta kasar berisi titik-titik merah yang mengelilingi desa. "Mereka berencana mengepung. Mereka tidak akan menyerang dari depan. Mereka akan mengoyak dari dalam... satu demi satu."

Ki Darma memicingkan mata. "Kau ingin kami percaya begitu saja?"

"Aku tidak peduli kalian percaya atau tidak," jawab Mpu Raksa tajam. "Tapi mereka punya sesuatu yang bahkan belum kalian pahami. Seorang pemimpin baru. Lebih gila dari Sureng. Lebih cerdas dari yang kalian kira."

Saka mencengkeram gagang belatinya yang biasa ia simpan di pinggang. "Apa namanya?"

Mpu Raksa tersenyum miring. "Mereka menyebutnya... Bayang Sukma."

Seketika udara di ruangan itu menegang. Nama itu seperti racun, menyusup ke celah napas dan merambat ke tulang. Ki Darma mundur satu langkah, matanya menyipit penuh ingatan lama. "Dia... masih hidup?"

"Dia kembali. Dan dia ingin mengambil apa yang menurutnya dicuri darinya. Termasuk... darah yang mengalir di tubuh gadis itu." Mpu Raksa menunjuk Laras.


Bab 23 – Bayang Sukma

Cahaya sore merayap masuk dari sela-sela dinding bambu rumah Ki Darma, menyapu wajah-wajah yang penuh kecemasan. Saka duduk bersandar di sudut ruangan, tangannya meremas kain ikat kepala yang basah oleh keringat. Di hadapannya, Mpu Raksa duduk tenang, seperti seseorang yang telah berdamai dengan kematian yang setiap saat bisa menjemputnya.

“Apa maksudmu dengan ‘darah gadis itu’?” tanya Saka, suaranya nyaris menggertak.

Mpu Raksa menghela napas panjang. “Bayang Sukma bukan hanya dukun. Dia juga seorang pemburu warisan darah kuno. Dan Laras…,” ia memandang gadis itu dengan sorot tajam, “mewarisi garis keturunan penyatu dua ilmu—ilmu terang dari leluhur Ki Darma, dan ilmu bayangan dari garis ibunya yang tak pernah diceritakan.”

Laras menahan napasnya. “Ibuku… selalu bilang, dia dulu orang biasa. Tak ada yang istimewa.”

“Justru itu. Karena yang istimewa seringkali harus disembunyikan,” jawab Mpu Raksa.

Ki Darma berdiri dan berjalan perlahan ke arah rak kitab tua, mengambil gulungan kulit kayu dan membukanya di hadapan mereka. “Aku sudah menduga suatu hari ini akan datang. Ibumu, Laras… adalah putri dari Tuan Arya Guna, tabib agung di timur. Tapi ibunya adalah keturunan dari Ki Jagatlewa—dukun bayangan terakhir sebelum Bayang Sukma membantai seluruh garis keturunan mereka.”

Ruangan itu mendadak hening. Saka memandang Laras dengan mata yang tak percaya. Ia mengenal gadis itu sebagai sosok kuat dan penuh kasih, tetapi kini… gadis itu seperti tengah berdiri di perbatasan dua dunia.

Laras menggenggam kedua tangannya. “Lalu… kenapa Bayang Sukma mengincar aku sekarang?”

“Karena darahmu bisa membuka segel pusaka gelap,” jawab Mpu Raksa. “Pusaka itu dikunci oleh gabungan dua energi—terang dan bayangan. Hanya kamu yang memiliki keduanya dalam dirimu.”

Di luar rumah, angin bertiup kencang. Pepohonan bergoyang seperti sedang berbisik satu sama lain. Saka bangkit, menggenggam belati baja miliknya, matanya menatap gelap ke luar jendela. “Kalau begitu… kita tidak bisa hanya duduk diam. Kita harus menyerang lebih dulu.”

Ki Darma meletakkan tangannya di bahu Saka. “Tidak semua perang bisa dimenangkan dengan kekuatan. Tapi kamu benar… kita tak bisa menunggu hingga gelap menelan semuanya.”

Malam itu, Ki Darma, Mpu Raksa, Saka, dan Laras duduk melingkar, menggambar strategi. Mereka menandai lokasi-lokasi yang dianggap lemah, dan menyiapkan penjagaan di jalur-jalur masuk desa. Dua murid Ki Darma dikirim ke arah barat untuk mencari informasi tentang gerakan musuh, sementara Mpu Raksa berjanji akan memanggil beberapa kawan lama yang masih hidup dan setia pada cahaya.

Namun sebelum mereka bisa menyusun strategi sepenuhnya, seekor gagak hitam terbang menukik masuk lewat jendela, membawa secarik kain merah dengan simbol tengkorak menyeringai. Saka meraihnya dan membuka perlahan. Di sana, tertulis satu kalimat yang membuat darahnya membeku:

“Laras... sudah kami tandai. Kau tak bisa bersembunyi selamanya.”


Bab 24 – Jejak dalam Kegelapan

Malam itu, langit di atas desa Sadeng tampak lebih kelam dari biasanya. Awan tebal menggantung berat, menutupi cahaya bintang dan bulan, seolah alam pun enggan menyaksikan apa yang akan terjadi. Di dalam rumah Ki Darma, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Saka duduk di dekat jendela, matanya tajam mengawasi setiap pergerakan di luar. Laras duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat liontin kecil peninggalan ibunya.

"​Kita tidak bisa menunggu mereka menyerang lebih dulu," kata Saka dengan suara rendah namun tegas.​

"​Benar," sahut Ki Darma. "​Kita harus mengambil inisiatif."​

Mpu Raksa mengangguk setuju. "​Aku tahu tempat persembunyian mereka. Sebuah gua tua di balik bukit barat. Dulu, itu tempat mereka melakukan ritual. Kemungkinan besar, mereka masih menggunakannya."​

"​Kalau begitu, kita serang malam ini," ujar Saka.​

Dengan persiapan seadanya, mereka bertiga—Saka, Laras, dan Mpu Raksa—berangkat menuju gua yang dimaksud. Perjalanan mereka sunyi, hanya diiringi oleh suara langkah kaki dan desiran angin malam. Sesampainya di sana, mereka menemukan pintu masuk gua tertutup oleh semak belukar yang lebat.

"​Ini dia," bisik Mpu Raksa. "​Kita harus hati-hati."​

Mereka masuk ke dalam gua dengan perlahan, menyusuri lorong sempit yang gelap dan lembap. Di dalam, mereka menemukan ruangan luas dengan dinding yang dipenuhi simbol-simbol aneh dan lilin yang masih menyala. Di tengah ruangan, berdiri sosok berjubah hitam dengan wajah tertutup tudung.

"​Selamat datang, Laras," suara itu bergema di seluruh ruangan.​

"​Bayang Sukma," desis Mpu Raksa.​

"​Kau datang tepat waktu," lanjut Bayang Sukma. "​Ritual akan segera dimulai."​

"​Kami tidak akan membiarkanmu menyentuh Laras," tegas Saka, menarik belatinya.​

"​Kau pikir bisa menghentikanku?" tawa Bayang Sukma menggema, dan tiba-tiba, dari bayang-bayang, muncul makhluk-makhluk hitam dengan mata merah menyala.​

Pertarungan pun tak terelakkan. Saka dan Mpu Raksa bertarung dengan sekuat tenaga, sementara Laras mencoba melindungi dirinya dengan mantra yang diajarkan Ki Darma. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Saat keadaan hampir putus asa, tiba-tiba cahaya terang muncul dari liontin Laras, memancarkan sinar yang mengusir kegelapan dan membakar makhluk-makhluk itu menjadi abu.

Bayang Sukma menjerit marah, namun sebelum dia bisa melakukan sesuatu, cahaya dari liontin itu menyelimuti seluruh ruangan, memaksa semua yang ada di dalamnya untuk menutup mata. Saat cahaya itu mereda, Bayang Sukma telah lenyap, meninggalkan hanya jubah hitamnya yang tergeletak di lantai.

Saka, Laras, dan Mpu Raksa saling berpandangan, napas mereka terengah-engah. Mereka tahu, ini belum akhir dari segalanya, namun untuk saat ini, mereka telah memenangkan satu pertempuran penting.


Bab 25 – Jejak dalam Kegelapan

Malam itu, langit di atas desa Sadeng tampak lebih kelam dari biasanya. Awan tebal menggantung berat, menutupi cahaya bintang dan bulan, seolah alam pun enggan menyaksikan apa yang akan terjadi. Di dalam rumah Ki Darma, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Saka duduk di dekat jendela, matanya tajam mengawasi setiap pergerakan di luar. Laras duduk di sampingnya, tangannya menggenggam erat liontin kecil peninggalan ibunya.

"​Kita tidak bisa menunggu mereka menyerang lebih dulu," kata Saka dengan suara rendah namun tegas.​

"​Benar," sahut Ki Darma. "​Kita harus mengambil inisiatif."​

Mpu Raksa mengangguk setuju. "​Aku tahu tempat persembunyian mereka. Sebuah gua tua di balik bukit barat. Dulu, itu tempat mereka melakukan ritual. Kemungkinan besar, mereka masih menggunakannya."​

"​Kalau begitu, kita serang malam ini," ujar Saka.​

Dengan persiapan seadanya, mereka bertiga—Saka, Laras, dan Mpu Raksa—berangkat menuju gua yang dimaksud. Perjalanan mereka sunyi, hanya diiringi oleh suara langkah kaki dan desiran angin malam. Sesampainya di sana, mereka menemukan pintu masuk gua tertutup oleh semak belukar yang lebat.

"​Ini dia," bisik Mpu Raksa. "​Kita harus hati-hati."​

Mereka masuk ke dalam gua dengan perlahan, menyusuri lorong sempit yang gelap dan lembap. Di dalam, mereka menemukan ruangan luas dengan dinding yang dipenuhi simbol-simbol aneh dan lilin yang masih menyala. Di tengah ruangan, berdiri sosok berjubah hitam dengan wajah tertutup tudung.

"​Selamat datang, Laras," suara itu bergema di seluruh ruangan.​

"​Bayang Sukma," desis Mpu Raksa.​

"​Kau datang tepat waktu," lanjut Bayang Sukma. "​Ritual akan segera dimulai."​

"​Kami tidak akan membiarkanmu menyentuh Laras," tegas Saka, menarik belatinya.​

"​Kau pikir bisa menghentikanku?" tawa Bayang Sukma menggema, dan tiba-tiba, dari bayang-bayang, muncul makhluk-makhluk hitam dengan mata merah menyala.​

Pertarungan pun tak terelakkan. Saka dan Mpu Raksa bertarung dengan sekuat tenaga, sementara Laras mencoba melindungi dirinya dengan mantra yang diajarkan Ki Darma. Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Saat keadaan hampir putus asa, tiba-tiba cahaya terang muncul dari liontin Laras, memancarkan sinar yang mengusir kegelapan dan membakar makhluk-makhluk itu menjadi abu.

Bayang Sukma menjerit marah, namun sebelum dia bisa melakukan sesuatu, cahaya dari liontin itu menyelimuti seluruh ruangan, memaksa semua yang ada di dalamnya untuk menutup mata. Saat cahaya itu mereda, Bayang Sukma telah lenyap, meninggalkan hanya jubah hitamnya yang tergeletak di lantai.

Saka, Laras, dan Mpu Raksa saling berpandangan, napas mereka terengah-engah. Mereka tahu, ini belum akhir dari segalanya, namun untuk saat ini, mereka telah memenangkan satu pertempuran penting.


Bab 26 – Warisan yang Terlupakan

Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Saka duduk termenung di beranda rumah Ki Darma, matanya menatap kosong ke arah langit yang perlahan berubah dari kelabu menjadi jingga kemerahan. Suara ayam jantan bersahut-sahutan dari kejauhan, namun suasana hatinya tetap diselimuti oleh sisa-sisa kekacauan semalam. Di dalam rumah, Laras masih terlelap dengan liontin peraknya yang kini bersinar samar, seolah baru saja digunakan untuk sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri. Ki Darma menyusul keluar sambil membawa dua cangkir wedang jahe hangat dan menyerahkannya pada Saka dengan lirih, "Kekuatan liontin itu... aku kira hanya legenda belaka. Tapi semalam, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Saka. Ia melindungi Laras... dan juga kita semua." Saka mengangguk pelan, menyesap wedang hangat itu sambil bergumam, “Aku juga belum bisa menjelaskannya, Ki. Tapi aku tahu... liontin itu bukan sekadar perhiasan. Ia menyimpan sesuatu—sejarah, mungkin, atau warisan dari darah keturunan Laras yang belum kita pahami.” Ki Darma menatap Saka dengan sorot mata tajam, menyelidik. “Mungkin sudah saatnya kau tahu sesuatu, Saka. Tentang ibu Laras... dan apa yang dia titipkan sebelum meninggal dunia. Aku merahasiakannya terlalu lama.” Saka menoleh cepat, perasaannya mencampur aduk antara penasaran dan waspada. Tapi sebelum Ki Darma membuka suara lagi, suara ketukan keras menggema dari depan rumah. Mpu Raksa berlari masuk dengan wajah tegang, nafasnya terengah. “Kita punya masalah. Sureng belum mati. Dan dia... dia membawa sekutu baru dari timur. Mereka bukan hanya dukun, Saka. Mereka adalah para pemuja gelap.” Sejenak, waktu seakan membeku, dan Saka tahu... badai yang lebih besar tengah bersiap menerpa.

Saka berdiri perlahan dari kursi kayu reyot di beranda, menyambut Mpu Raksa dengan wajah cemas yang tak mampu ia sembunyikan. “Pemuja gelap?” tanyanya penuh keraguan. “Apa maksudmu, Mpu?” Mpu Raksa menyeka keringat di dahinya, matanya tajam menatap ke arah Saka dan Ki Darma. “Mereka bukan sekadar dukun seperti yang biasa kita kenal. Mereka menyembah roh-roh kelam dari timur, kekuatan yang sudah lama terkubur di balik reruntuhan Gunung Raung. Sureng mencari mereka... dan sekarang mereka bersatu untuk menebar teror.” Ki Darma merunduk, wajahnya menegang. “Aku pernah mendengar cerita itu... Pemuja Bayang-bayang. Mereka mampu membangkitkan roh penasaran dan mengendalikan tubuh manusia.”

Saka memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mulai memburu. Di antara semua yang ia pelajari di masa lalu, tak satu pun yang benar-benar bisa mempersiapkan dirinya menghadapi hal-hal semistis ini. Namun, ia tak punya pilihan. “Apa yang mereka incar?” tanyanya lirih, seolah tak ingin jawaban itu benar-benar terdengar. Mpu Raksa menatap liontin di leher Laras dari kejauhan. “Liontin itu. Mereka tahu liontin itu adalah kunci. Mereka ingin memecahkan segel warisan tua yang dikunci oleh para leluhur Sadeng—mereka ingin membangkitkan sesuatu yang tak seharusnya bangkit.”

Laras tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan mata yang masih sayu tapi tajam, mendengar kata-kata terakhir Mpu Raksa. Tangannya menggenggam liontin di dadanya dengan erat. “Kalau memang aku menjadi incaran, maka aku harus tahu semuanya, Ayah. Siapa Ibu sebenarnya? Apa warisan yang selalu kau sembunyikan dariku?” Ki Darma terdiam cukup lama, lalu menghela napas dalam-dalam, duduk di tikar rotan dan mempersilakan mereka duduk melingkar. “Ibumu bukan perempuan biasa. Dia keturunan langsung dari Tabib Agung Sadeng, pelindung terakhir segel di Gunung Raung. Liontin itu bukan hanya lambang garis keturunan, tapi juga penjaga kekuatan untuk menyegel kembali kegelapan yang pernah hampir menghancurkan kerajaan ini berabad lalu.”

Semua terdiam. Laras menunduk, seolah terbebani oleh warisan besar yang tak pernah ia minta. Saka menatapnya dengan tatapan yang lembut, lalu menggenggam tangannya. “Kalau memang ini takdirmu, Laras, maka aku akan ada di sampingmu. Bersama kita bisa menjaganya.” Ucapan itu menyulut keberanian baru di hati Laras, dan matanya bersinar kembali. “Kita tidak bisa hanya menunggu. Kalau mereka bergerak, kita pun harus bersiap.”

Malamnya, Ki Darma memanggil semua muridnya dan mengadakan rapat darurat. Kang Wiryo dan Kang Sunar berdiri dengan sikap siaga, mata mereka menyapu ruangan dengan kewaspadaan. “Kita akan mulai berlatih pertahanan malam hari. Pos jaga akan dibentuk. Setiap orang harus belajar mengenali tanda-tanda sihir hitam—bau belerang yang menyengat, angin dingin yang tiba-tiba, dan suara bisikan yang tak berasal dari siapa pun.” Saka memperhatikan semua dengan seksama, lalu mengajukan usul. “Kita juga bisa membuat ramuan pengusir roh, aku pernah membaca campuran herbal yang bisa memperlemah energi gelap. Kita bisa mulai dengan itu.”

Selama dua hari berikutnya, Saka, Laras, dan para murid Ki Darma sibuk membuat ramuan, membangun barikade, dan menyiapkan perangkap sederhana. Sementara itu, penduduk desa mulai merasa gelisah. Desas-desus tentang ‘makhluk berjubah hitam’ yang terlihat di pinggir hutan mulai tersebar. Anak-anak mulai dilarang keluar rumah setelah senja, dan lonceng peringatan mulai dipasang di ujung jalan utama.

Namun teror datang lebih cepat dari dugaan. Malam ketiga setelah ramuan pengusir roh selesai dibuat, terdengar suara gemuruh dari hutan. Tidak seperti suara binatang, tapi seperti raungan manusia—panjang dan memilukan, seolah berasal dari tenggorokan yang bukan milik dunia ini. Kang Sunar berlari masuk ke rumah utama dengan nafas terengah. “Mereka datang! Satu dari mereka menampakkan diri di ladang belakang. Aku melihat jubahnya... tak menyentuh tanah.”

Saka segera meraih kantong kain berisi ramuan, Laras menyalakan lentera, dan Ki Darma mengambil tombak besinya yang sudah lama digantung. “Kita hadapi bersama,” katanya pelan tapi tegas. Mereka berjalan ke arah ladang, cahaya lentera menari-nari di antara bayang-bayang malam. Di ujung sawah, sesosok siluet berdiri membelakangi mereka, berjubah hitam dengan sulaman merah darah di bagian kerah.

Sosok itu perlahan menoleh, memperlihatkan wajah tirus pucat dengan mata yang menyala merah. Ia tersenyum menyeringai. “Kalian terlambat... warisan itu sudah terbangun. Dan aku... hanya pembuka jalan.” Tiba-tiba tubuhnya melayang, lalu menghilang menjadi kabut hitam. Namun dari tanah, tangan-tangan kaku berlumur tanah mulai muncul. Lima... enam... tujuh tangan bangkit dari bumi seperti mayat yang tak tenang.

Pertempuran pun pecah. Kang Wiryo dan Sunar maju dengan gerakan cepat dan presisi, menebas tangan-tangan kaku itu dengan pedang perak mereka. Saka melempar ramuan pengusir roh ke tanah dan menciptakan kabut putih yang membakar kulit makhluk-makhluk itu. Laras berdiri di tengah lingkaran, membaca mantra dari kitab tua peninggalan ibunya, dan cahaya dari liontinnya mulai menyalakan medan pelindung.

Setelah beberapa saat, makhluk-makhluk itu meleleh menjadi tanah basah, dan udara kembali tenang. Namun semua tahu... ini baru awal. Sosok berjubah hitam itu bukanlah musuh utama, hanya perpanjangan tangan dari kegelapan yang lebih besar. Ki Darma berkata dengan suara berat, “Dia bukan orang biasa. Dia... Mpu Lodra. Mantan tabib istana yang dibuang karena menggunakan mayat untuk eksperimen. Dia... kembali.”

Keesokan paginya, penduduk desa dikumpulkan. Ki Darma berdiri di hadapan mereka dan menjelaskan ancaman yang sedang mengintai. Wajah-wajah ketakutan menyelimuti mereka, tapi Ki Darma berkata tegas, “Selama kita bersama, selama kita tidak gentar, mereka tak bisa menembus kita. Saka dan Laras akan memimpin upaya perlawanan dengan pengetahuan dan warisan mereka. Kita harus percaya dan ikut menjaga.”

Saka menatap Laras dalam-dalam. “Aku tahu kini mengapa aku berada di sini. Bukan hanya untuk menyelamatkan diriku... tapi untuk mengubah masa lalu. Agar masa depan yang akan datang tidak diwarisi oleh kegelapan yang sama.” Laras menggenggam tangannya erat, “Kita bersama, Saka. Sampai akhir.” Di kejauhan, suara burung hantu terdengar, pertanda malam kembali datang, dan dengan itu... ancaman pun belum selesai.

Di sebuah tempat sunyi yang tersembunyi di balik gunung, Sureng berdiri dalam lingkaran api bersama para pemuja bayangan. Di sampingnya, Mpu Lodra berdiri dengan tatapan tajam dan senyum dingin. “Mereka punya cahaya. Tapi kita punya kegelapan abadi. Siapkan pemanggilan. Malam bulan mati... akan menjadi hari kebangkitan kita.”


Bab 27 – Cahaya dari Dalam

Fajar menyingsing pelan-pelan di balik pucuk-pucuk pohon pinang di batas timur Sadeng. Embun masih menggantung di ujung ilalang ketika suara kokok ayam jantan terdengar bersahutan. Namun suasana desa tak seceria biasanya. Wajah-wajah lelah dan penuh kecemasan menghiasi penduduk. Di halaman rumah Ki Darma, Saka sedang duduk bersila di atas tikar daun pisang, dihadapannya tergelar berbagai tanaman obat yang baru saja dipetik. Ia menunduk, meracik ramuan sambil sesekali mencoretkan sesuatu di atas daun lontar, menciptakan catatan kecil tentang efek reaksi bahan yang ia uji. “Ini lebih kuat dari yang kupikir,” gumamnya lirih, mencampurkan getah lumbu dengan bubuk kayu gaharu. “Jika ditumbuk dengan akar mengkudu... bisa jadi pelindung tubuh dari racun sihir.”

Laras datang membawa secawan air dan meletakkannya di sebelah Saka. “Kau tidak tidur sejak semalam,” ujarnya dengan nada cemas. “Kau butuh istirahat juga, Saka.” Namun Saka hanya tersenyum tipis. “Kalau aku tidur, mereka akan punya waktu untuk bersiap. Kita tak bisa kalah dalam langkah pertama.” Laras memandang lelaki itu dalam-dalam, melihat lelah di balik matanya yang tetap menyala dengan tekad. Ia duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dengan lembut. “Kau tidak sendiri, Saka. Kita bersama dalam ini.” Kalimat itu, meski pelan, membuat hati Saka sedikit lebih hangat.

Ki Darma muncul tak lama kemudian, memanggil Saka dan Laras masuk ke ruang dalam. Di atas meja batu hitam, tergelar peta kasar wilayah pegunungan dan lereng utara. “Malam bulan mati tinggal tiga hari lagi,” ujar Ki Darma. “Mereka akan mencoba pemanggilan roh leluhur gelap dari batu tua di Hutan Kering. Kita harus lebih dulu ke sana... dan menyegel tempat itu.” Saka memandang titik yang ditunjukkan Ki Darma. “Aku butuh bahan yang belum ada di desa ini. Mineral hitam dari sungai bawah tanah di gua Karangmukti... dan akar bajakah putih dari timur.” Ki Darma mengangguk perlahan. “Aku akan tugaskan murid-muridku. Tapi kau... kau harus tetap di sini. Kami tak tahu siapa yang akan mereka kirim malam ini.”

Sore harinya, Kang Wiryo dan dua murid lainnya berangkat menuju gua Karangmukti. Mereka membawa perlengkapan ringan dan dibekali ramuan pelindung yang dibuat oleh Saka. Laras memandang kepergian mereka dengan khawatir. “Semoga mereka sampai dengan selamat,” bisiknya. Saka hanya menggenggam pundaknya, memberi kekuatan yang ia pun mulai kehabisan. Di dalam hatinya, ia tahu... ini bukan hanya soal keberanian, tapi soal waktu. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang tak bisa dilihat: niat jahat yang tumbuh diam-diam di kegelapan.

Malamnya, kembali terdengar suara bisikan samar dari arah hutan. Kali ini lebih dekat, lebih jelas, seolah memanggil nama-nama dari masa lalu. Salah satu warga desa, perempuan tua bernama Mbok Ranti, ditemukan duduk di atas batu sambil menatap kosong ke arah langit, matanya putih tak bergerak. “Dia tak bisa bicara,” kata salah seorang pemuda desa. “Hanya duduk dan... menangis.” Ketika Saka mendekatinya, ia merasa hawa dingin merambat di punggung. Aura kelam yang asing namun mulai terasa akrab. Ia menyentuh tangan Mbok Ranti dan seketika perempuan itu berteriak, “Leluhurmu bangkit! Leluhurmu bangkit! Mereka murka!”

Saka mundur dengan cepat, matanya melebar. “Dia kerasukan,” kata Laras pelan. “Tapi... bagaimana bisa hanya dengan sentuhan kau membangkitkan reaksinya?” Saka menunduk, tak menjawab. Ia tahu, tubuh ini menyimpan rahasia yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami. Ilmu yang ia bawa dari masa depan perlahan bersatu dengan kekuatan leluhur masa lalu yang tertanam dalam darah Raka. Kombinasi itu... membuatnya menjadi sesuatu yang lebih.

Pagi berikutnya, Ki Darma menerima kabar bahwa salah satu muridnya yang dikirim ke Karangmukti tak kembali. Kang Wiryo selamat, namun terluka parah. Ia tiba di rumah dengan napas berat dan tubuh dipenuhi goresan. “Mereka tahu kita ke sana... ada yang menunggu di dalam gua... makhluk dari batu,” bisiknya sebelum pingsan. Saka segera merawat lukanya, namun dalam hati ia sadar—musuh mereka semakin siap. Dan lebih berbahaya dari yang diperkirakan.

Malam berikutnya, saat semua orang bersiap menjaga pos, terdengar suara lonceng darurat dari arah barat desa. Saka dan Ki Darma berlari menuju sana bersama beberapa warga. Di ujung jalan, api membubung dari sebuah lumbung. Di depannya, berdiri sosok berjubah hitam. Tapi kali ini bukan Mpu Lodra. Sosok itu lebih kecil, tapi penuh aura jahat. Ia tertawa pelan, dan dari bawah jubahnya, muncullah wajah setengah terbakar—penuh luka, namun mata kanannya memancarkan cahaya hijau. “Namaku Sura Kelam... anak didik Lodra. Dan aku datang membawa pesan: Tiga malam lagi... kalian akan tunduk.”

Tanpa banyak kata, Ki Darma mengangkat tombaknya dan menyerang. Tapi sosok itu hanya tersenyum, lalu tubuhnya meledak menjadi ribuan serangga hitam. Laras berteriak, dan Saka langsung menaburkan bubuk ramuan ke tanah, menciptakan dinding asap putih. Serangga-serangga itu memukul balik, mencakar dan menggigit siapa pun yang ada di dekat mereka. Satu warga terjatuh, menjerit dalam kesakitan karena tubuhnya ditumbuhi luka-luka membusuk.

Dengan keberanian yang nekat, Laras berdiri di tengah serangan dan mengangkat liontinnya tinggi-tinggi. Cahaya dari liontin itu menghamburkan serangga, membakar mereka satu per satu hingga tanah dipenuhi bangkai-bangkai kecil yang mengepulkan asap. Nafas semua orang memburu. Tak ada yang bicara. Tapi mereka tahu... Sura Kelam akan kembali. Dan ia hanya permulaan.

Setelah kejadian itu, desa semakin siaga. Anak-anak dibawa ke rumah aman, pos jaga digandakan, dan Saka mulai membuat perangkap dengan prinsip-prinsip yang ia pelajari dari fisika dan mekanika masa depan. Ia menciptakan jebakan tekanan, lonceng alarm dengan tali dan bambu, bahkan alat pengukur getaran tanah dari air dan daun pisang. Ki Darma mengamati dengan kagum, “Ilmu ini... luar biasa, Saka. Kau benar-benar bukan orang biasa.”

Saka tersenyum samar, menyembunyikan kesedihannya. Ia tak bisa menjelaskan segalanya. Tidak sekarang. Ia tahu... takdir membawanya ke masa ini untuk alasan besar. Tapi kegelapan yang mereka hadapi bukan sekadar kisah legenda. Ini nyata. Ini hidup. Dan kini... ia harus jadi cahaya di tengah kabut kelam yang mulai menelan Sadeng.

Laras menemani Saka di bawah langit malam, duduk di tangga rumah Ki Darma. “Aku takut,” ucapnya pelan. “Bukan hanya karena mereka... tapi karena semua ini terlalu besar.” Saka memandang langit, lalu menoleh padanya. “Tak ada takdir yang datang pada mereka yang lemah. Kau dipilih, Laras. Kita dipilih. Bukan untuk menjadi korban... tapi penjaga harapan.”

Malam itu, mimpi Saka dipenuhi bayangan. Ia melihat gunung, terbuka dari dalamnya cahaya merah darah yang melambai seperti tangan raksasa. Di baliknya, sosok dengan jubah merah tua duduk di atas takhta batu. Matanya seperti mata Saka... tapi lebih gelap. Lebih dingin. Suara bergema dalam pikirannya, “Datanglah... karena hanya satu yang bisa mengunci... dan satu yang bisa membebaskan.”

Ia terbangun dengan keringat dingin, napas terengah. Di luar, angin berhembus lembut. Tapi Saka tahu... malam-malam berikutnya tak akan lagi sama. Dan perang... baru saja dimulai.


Bab 28 – Api dalam Sekam

Pagi itu langit tampak murung. Awan kelabu menggantung berat di atas desa Sadeng, seolah menyimpan petir dalam genggamannya. Di rumah Ki Darma, Saka menatap sebuah sketsa besar di atas lantai tanah, terbuat dari arang dan potongan bambu kecil. Itu adalah cetak biru jebakan baru—gabungan dari sistem tuas, aliran air, dan pelatuk pelepas api alami dari resin kering. “Jika mereka masuk dari barat, kita bisa menutup jalan dengan semburan asap... dan menjerat mereka dalam lingkaran api,” kata Saka, matanya menyala dengan ketelitian. Ki Darma menunduk memperhatikan skema itu, terkagum. “Ilmu ini... bukan hanya untuk bertahan. Tapi untuk melindungi,” ucapnya pelan.

Laras berdiri di belakang Saka, membawa kantong kecil berisi abu pinang dan akar alang-alang kering. “Ini yang kau minta tadi malam,” katanya. Saka menoleh, tersenyum. “Terima kasih, Laras. Ini bahan utama untuk mengaktifkan reaksi panas saat terkena air.” Ia mengambil abu itu, mencampurkannya dengan air kelapa yang sudah difermentasi, menghasilkan cairan yang akan digunakan sebagai bahan dasar pelontar asap. Saka sadar—untuk mengalahkan musuh yang tak bisa dilawan dengan pedang, mereka butuh kecerdikan, bukan kekuatan semata.

Di luar rumah, Kang Wiryo—yang baru pulih dari luka di Karangmukti—memimpin sekelompok pemuda membangun barikade dari batang bambu dan tumpukan batu. Mereka bekerja cepat, semangat menyala meski ketegangan menyelimuti setiap sudut desa. “Setelah apa yang kita lihat... tak ada lagi yang bisa kita sebut legenda,” gumamnya lirih kepada salah satu pemuda. “Ini nyata. Dan hanya kita yang bisa menghentikannya.” Di atas menara kecil, seorang anak muda memantau pergerakan hutan. Ia melihat sesuatu bergerak di kejauhan, seperti asap melayang... lalu lenyap begitu saja.

Sementara itu, di gua rahasia milik Sura Kelam, dukun-dukun yang dulu pernah berkuasa kini berkumpul kembali. Mereka mengenakan jubah tua, dengan tatapan kosong dan wajah penuh dendam. “Kita kehilangan semua karena bocah bernama Raka itu,” kata seorang tua bertongkat tulang. “Ia mencuri kepercayaan rakyat... membuat mereka lupa kekuatan lama.” Sura Kelam tertawa pelan, matanya bersinar kehijauan. “Kita tidak kehilangan... kita hanya diam sementara. Malam bulan mati akan jadi panggung kita. Dan aku sudah menyiapkan kejutan untuk mereka.”

Dari balik bayangan, muncullah sosok tinggi mengenakan topeng setengah wajah. Rambutnya panjang, acak-acakan, dan suara langkahnya tidak terdengar meski ia berjalan di atas batu. “Siapa dia?” tanya salah satu dukun. Sura Kelam menyeringai. “Namanya adalah Bayang Langit... pemburu dari utara. Ia tak bicara. Tapi setiap kali ia muncul, darah pasti tertumpah.” Bayang Langit berdiri tanpa suara, lalu menunduk pelan. Sebuah belati kecil muncul dari balik lengan bajunya—tajam dan hitam seperti malam. Ia adalah eksekutor, utusan kegelapan yang tak bisa dihentikan.

Sore itu, Saka dan Ki Darma duduk di gubuk belakang, menguji racikan baru untuk penawar luka berbasis daun krokot dan sari bambu. Saka mencelupkan kain ke dalam ramuan lalu membalut lengannya yang sengaja ia gores kecil. “Jika ini berhasil... bisa mempercepat penyembuhan luka tiga kali lipat dari salep biasa,” ucapnya sambil menahan perih. Ki Darma mengangguk perlahan, lalu bertanya, “Apa kau pernah... berpikir untuk kembali ke tempat asalmu?” Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Saka hanya diam, menatap tanah. “Aku tidak bisa kembali... bukan sebelum semuanya selesai.”

Laras yang mendengar dari balik tirai, menahan napas. Ia tahu, Saka menyimpan rahasia besar yang tak bisa diucapkan. Tapi ia juga tahu, apapun yang terjadi... ia akan tetap berdiri di sisinya. “Kadang, rumah bukan tempat asal... tapi tempat di mana kita dibutuhkan,” ucap Laras lirih saat malam tiba. Saka menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Dan kau adalah satu-satunya alasan aku merasa pulang.”

Malam itu, saat semua bersiap berjaga, terdengar suara siulan nyaring dari arah timur. Bukan siulan biasa—itu adalah panggilan tua, biasa digunakan oleh pemburu hantu zaman kuno. Saka berdiri di depan pos penjagaan, menatap gelap. “Dia sudah datang,” gumamnya. Dari kegelapan muncul siluet Bayang Langit, bergerak lincah dan nyaris tak terdengar. Ia menyusup ke satu rumah... lalu ke rumah lain. Dalam sekejap, dua penjaga jatuh, tak sadarkan diri, luka kecil di leher mereka menandakan racun.

Saka melompat ke arah suara, menyeret Laras ke belakang tembok batu. “Kita tak bisa menyerangnya langsung. Dia bukan manusia biasa,” katanya cepat. Ki Darma datang membawa tombak besi dan memberi aba-aba pada warga untuk bertahan. Namun Bayang Langit hanya menatap mereka dari jauh, lalu menghilang begitu saja. “Dia hanya menguji kita,” desis Saka. “Ujian berikutnya... pasti lebih mematikan.”

Keesokan harinya, desa geger. Tiga rumah ditemukan rusak, jimat pelindung dibakar, dan tanda aneh tergurat di tanah: simbol mata ketiga yang menyala merah. Ki Darma memanggil semua tetua. “Ini adalah tanda tantangan. Mereka ingin kita menyerah... atau bertarung dalam permainan mereka.” Saka berdiri dan menatap semua orang. “Kalau begitu, kita harus lebih pintar dari mereka. Bukan hanya bertahan... kita harus mulai menyerang.”

Saka dan Laras mulai menyusun strategi. Mereka mengajak para pemuda desa untuk belajar membuat peledak kecil dari belerang dan getah damar. Di sisi lain, Ki Darma dan dua muridnya membuat jaring-jaring jebakan dan tempat pelarian rahasia. Desa mulai berubah. Dari tempat tinggal yang damai menjadi benteng hidup yang siap menyambut badai.

Sementara itu, Bayang Langit mengamati dari kejauhan, berdiri di atas pohon tinggi. Di sampingnya, Sura Kelam berbisik, “Biarkan mereka merasa kuat. Lalu kita hantam di malam yang paling gelap.” Bayang Langit hanya mengangguk, matanya menatap ke arah rumah Saka. Ia sudah memilih target.

Laras menemukan gulungan tua di lumbung Ki Darma—naskah kuno yang berbicara tentang kekuatan Roh Penjaga Tanah. “Saka... ini bukan sekadar perang manusia,” ucapnya dengan napas tertahan. “Ini perang antara dunia nyata... dan yang tak kasatmata.” Saka membuka gulungan itu perlahan, membacanya sambil menelan ludah. “Jika benar... maka kita butuh lebih dari sekadar senjata. Kita butuh... jiwa yang berani menanggung beban langit.”

Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan, penyusunan strategi, dan pencarian makna dari gulungan tua itu. Penduduk mulai percaya—mereka tidak hanya dipimpin oleh pemuda biasa, tapi oleh seseorang yang telah ditakdirkan muncul di masa tergelap Sadeng. Seseorang yang membawa cahaya... meski ia sendiri belum yakin asal cahayanya.

Dan di malam keempat setelah kemunculan Bayang Langit, angin berubah arah. Asap tipis melayang dari arah hutan, membawa bau darah dan dupa terbakar. Saka berdiri di depan pos utama, memandangi cakrawala. “Ini bukan angin biasa,” ucapnya lirih. Laras di sampingnya menggenggam tangannya erat. “Ini... awal dari badai yang sesungguhnya.”


Bab 29 — Mata yang Mengintai di Balik Pepohonan

Pagi itu langit tampak lebih kelabu dari biasanya. Kabut turun lebih tebal, menyelimuti halaman rumah Ki Darma seperti selimut dingin yang menyusup ke pori-pori. Saka membuka pintu pelan, aroma tanah basah menyambutnya. Hari ini ia berencana pergi ke pasar bersama Laras untuk membeli beberapa bahan tambahan yang diperlukan untuk membuat varian baru sabun belerang. “Sabun pengusir gatal dan ruam,” kata Laras beberapa hari lalu sambil mencatat formula yang ia rancang bersama Saka. “Bayangkan jika ini bisa dibawa ke desa-desa di pesisir.” Saka tersenyum saat mengingat wajah bersemangat Laras. Namun, tak ia sangka hari itu akan membawa mereka pada satu langkah lebih dekat ke dalam bahaya yang lebih besar.

Perjalanan ke pasar tampaknya biasa saja di awal. Penduduk yang mengenal mereka menyapa hangat, ada yang memanggil Laras dengan sebutan "tabib muda", ada juga yang menyebut Saka sebagai "anak pintar dari timur". Namun di tengah keramaian pasar, Saka menangkap sosok mencurigakan yang berdiri terlalu diam di sudut gerbang barat. Wajahnya tersembunyi di balik tudung hitam, namun gerak-geriknya tak seperti orang biasa. Ketika mata mereka bertemu, pria itu menyeringai tipis lalu menghilang ke antara kios-kios sayur. “Laras, kau lihat orang bertudung itu barusan?” tanya Saka cepat. Laras menoleh. “Tidak… siapa dia?”

Tak ingin mengkhawatirkan Laras, Saka hanya menggeleng pelan. “Mungkin hanya perasaanku.” Tapi jauh dalam benaknya, instingnya sebagai orang yang hidup di dua zaman mulai berteriak. “Ada yang mengawasi…” bisik hati kecilnya. Sementara itu, di balik sebuah kios kayu tua, sosok berjubah hitam yang sama kini berdiri bersama dua pria lain. Salah satunya mengenakan jimat dari tulang binatang yang sudah menghitam, yang satunya lagi memegang botol kaca kecil berisi cairan kehijauan. “Dia anak yang membawa perubahan,” gumam pria berjubah itu. “Jika tidak disingkirkan, keseimbangan kekuasaan akan runtuh.”

Kembali ke rumah Ki Darma, Saka dan Laras mulai menguji racikan baru sabun kesehatan. Kali ini, Saka menambahkan campuran bunga tanjung dan daun sirih ke dalam sabun berbasis belerang. Uap harum memenuhi dapur, menciptakan aroma hangat yang menenangkan. Laras menoleh padanya sambil menggulung rambutnya ke belakang. “Saka, kau sungguh berbeda. Kadang aku merasa... kau membawa dunia lain dalam kepalamu.” Saka terdiam sejenak. “Mungkin aku hanya terlalu banyak membaca,” balasnya ringan, walau di dalam hatinya, kalimat Laras nyaris membongkar rahasia yang selama ini ia kubur dalam-dalam.

Malam mulai turun ketika suara ketukan di pintu terdengar tiga kali. Ki Darma membukakan pintu dan mendapati seorang pemuda kurus terengah-engah. “Tolong, di desa sebelah ada tiga orang yang terkena racun… kulit mereka memerah dan mengelupas,” katanya dengan suara nyaris pecah. Saka langsung berdiri, mengambil tas kecil berisi beberapa ramuan darurat. “Ki, aku ikut.” Ki Darma mengangguk. “Laras, kau jaga rumah. Kalau keadaan genting, kau tahu harus ke mana.”

Perjalanan ke desa itu melewati jalur sempit yang diapit pepohonan tinggi. Di tengah jalan, Saka merasakan sesuatu aneh—seperti ada mata yang mengikuti mereka dari balik rimbun dedaunan. Ia menoleh cepat, namun hanya melihat bayangan samar yang berlari menjauh. “Ki… kau merasa sesuatu mengawasi kita?” Ki Darma berhenti melangkah, menatap ke sekeliling. “Aku merasa… malam ini bukan malam biasa, Saka. Berhati-hatilah.”

Sesampainya di desa, keadaan benar-benar gawat. Tiga korban terbaring lemas di dalam gubuk bambu, tubuh mereka tampak melepuh dan mengeluarkan bau logam. “Ini bukan racun biasa,” kata Saka setelah memeriksa. “Tampaknya ini kombinasi tumbuhan dan logam berat…” Ki Darma menimpali, “Tapi siapa yang punya ilmu sekeji ini?” Mereka meracik ramuan penawar dengan cepat. Untungnya, salah satu dari ketiga korban menunjukkan tanda-tanda membaik setelah diberikan minuman herbal panas.

Namun sebelum sempat merayakan keberhasilan kecil itu, suara tawa lirih terdengar dari luar gubuk. Saka segera keluar, matanya menyapu gelap malam. Di kejauhan, sosok berjubah berdiri menatapnya. “Kau bukan bagian dari masa ini…” desis sosok itu, sebelum tubuhnya lenyap seperti kabut tertiup angin. Saka berdiri kaku, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena ancaman yang mulai menyentuh lapisan terdalam dari rahasianya.

“Kita tak bisa pulang malam ini,” kata Ki Darma setelah memastikan para korban stabil. “Kita menginap di sini, menjaga mereka.” Laras yang menunggu di rumah mulai cemas saat angin malam bertiup semakin kencang. Ia memandang langit dan merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Sementara di tempat lain, Sureng berdiri di depan sebuah cermin besar berbentuk bulat yang berkilau merah. Di dalam cermin itu, tampak wajah Saka yang tengah tidur di sudut ruangan. “Akhirnya aku tahu siapa kau sebenarnya,” gumam Sureng dingin. “Dan saat yang tepat untuk menghancurkanmu… sudah sangat dekat.”

Malam itu, Saka bermimpi. Ia berada di tengah-tengah dua dunia—satu masa depan penuh cahaya dan teknologi, satu masa lalu gelap dengan api dan darah. Dalam mimpi itu, seorang wanita tua berambut putih menatapnya sambil berbisik, “Rahasiamu adalah kekuatanmu. Tapi juga kelemahanmu.” Saat ia terbangun dengan keringat dingin membasahi punggungnya, Saka tahu... pertarungan sebenarnya baru saja dimulai.


Bab 30 — Bayangan di Balik Cahaya

Fajar menggantung di ujung cakrawala ketika Saka kembali dari perjalanan singkatnya ke ladang tanaman obat milik Ki Darma. Kabut tipis masih menari di antara ilalang saat ia melangkah pelan menuju rumah kayu tempat Laras dan ayahnya menunggunya. Udara pagi itu tak seperti biasanya—terasa lebih berat, seolah membawa bisikan yang belum selesai diungkap. Langkah-langkah Saka terhenti di depan pagar bambu, ketika ia melihat seorang lelaki tua berkerudung hitam berdiri di kejauhan, menatap lurus ke arahnya. Namun, saat ia berkedip, bayangan itu telah lenyap. “Hanya perasaanku,” gumamnya, sebelum mendorong pintu halaman.

Di dalam rumah, Ki Darma sedang menumbuk akar di lesung batu, sementara Laras sibuk mencampurkan minyak kelapa dengan serbuk daun kering. Wajah Laras menyambutnya dengan senyum hangat. “Kau terlambat,” katanya, “padahal hari ini kita hendak mencoba resep baru untuk luka dalam.” Saka mengangguk, mencoba menyingkirkan rasa aneh yang membekas di pikirannya. “Maaf, aku sempat mampir ke tempat Pak Sunarto, ingin mengecek apakah pasokan daun sambiloto masih tersedia.” Ki Darma meliriknya, ada kilat tajam di matanya. “Kau terlalu giat, anak muda. Jangan sampai semangatmu menutupi kewaspadaanmu.”

Hari itu berlalu dengan eksperimen yang menegangkan namun menyenangkan. Resep ramuan baru itu tampak menjanjikan—campuran belerang, minyak jarak, dan daun tempuyung ternyata bekerja mempercepat penyembuhan luka infeksi. Seorang pasien datang dalam kondisi demam tinggi karena luka tusukan di paha, dan ramuan itu memperlihatkan efeknya hanya dalam hitungan jam. “Kalau terus begini,” ujar Laras sambil membersihkan tangannya, “kita bisa menyusun buku pengobatan sendiri.”

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Menjelang petang, dua pengawal kerajaan datang ke rumah Ki Darma. Wajah mereka tegang, salah satu membawa gulungan kain berisi luka-luka misterius. “Kami butuh bantuan,” kata salah satu dari mereka. “Beberapa prajurit penjaga perbatasan mengalami serangan dari makhluk tak dikenal. Tubuh mereka terbakar dari dalam, tapi tak ada luka luar.” Ki Darma mengerutkan dahi, begitu pula Saka. “Itu bukan penyakit biasa,” gumam Ki Darma pelan, “dan bukan pula perbuatan manusia biasa.”

Saat malam menutup langit, Ki Darma, Laras, dan Saka memeriksa tubuh para prajurit yang dibawa secara diam-diam. Bau hangus yang aneh memenuhi udara, dan suhu tubuh korban begitu panas meski kulit mereka tampak utuh. “Ini seperti…” Saka menahan kata-katanya. Ia ingat sesuatu dari perkuliahannya dulu, tentang radiasi dan logam berat. Tapi tak mungkin, pikirnya, di zaman ini tak ada senjata sejenis itu. “Kau tahu sesuatu?” tanya Ki Darma, menatapnya lekat. “Hanya dugaan, Ki. Bisa jadi ini akibat dari racun yang belum kita kenali…”

Sementara itu, jauh di luar kota, di reruntuhan pura tua, Sureng berdiri di hadapan lima sosok berjubah hitam. Dukun-dukun yang dulu ditakuti kini bersatu karena rasa terancam oleh kehadiran Ki Darma dan ramuan-ramuan Saka yang mulai dikenal luas. “Jika kita tidak segera bertindak, semua akan melupakan kita,” geram Sureng. Seorang dukun tua dengan kalung tengkorak kecil menunduk, suaranya parau. “Kita bisa menciptakan wabah, menebar ketakutan. Maka mereka akan kembali meminta perlindungan pada yang gaib.” Sureng mengangguk, namun sorot matanya lebih licik dari biasanya. “Dan kita akan mulai… dari orang yang paling mereka percaya.”

Malam itu juga, seekor burung hantu berwarna gelap beterbangan di atas rumah Ki Darma. Di cakarnya menggantung kantung kecil berisi bubuk merah kehitaman. Burung itu mendarat di atap, lalu menjatuhkan kantung tersebut ke sela-sela genteng. Saat kantung pecah, serbuk itu terbawa angin dan masuk ke kamar tempat Laras tidur. Dalam tidurnya, gadis itu menggeliat, wajahnya mulai memucat. “Laras!” pekik Saka yang terbangun karena firasat aneh.

Ia berlari ke kamar Laras dan mendapati gadis itu menggigil hebat, kulitnya menghitam di beberapa bagian. Ki Darma yang mendengar teriakan langsung menyusul. “Bukan penyakit… ini sihir!” katanya sambil memeriksa denyut nadi Laras. “Cepat, ambil ramuan penawar! Yang di rak ketiga!” Saka bergerak cepat, matanya berkaca-kaca. “Kau harus bertahan, Laras…”

Saat fajar menyingsing, warna kulit Laras mulai kembali, tapi tubuhnya masih lemah. Ki Darma duduk di sudut kamar dengan wajah letih. “Ini peringatan, Saka… mereka mulai menyerang balik.” Saka mengepalkan tangan. “Kalau mereka ingin perang… maka akan kubalas.” Dan di kejauhan, di antara pohon-pohon tinggi yang membentang seperti gerbang kematian, sosok berjubah putih tanpa wajah berdiri diam, menatap ke arah kota. Udara di sekelilingnya bergetar. Bayangan itu telah datang. Dan ia membawa kehancuran.


Bab 31 – Jejak di Tengah Kabut

Kabut pagi menyelimuti dataran rendah yang memisahkan Kadipaten Sadeng dengan barisan perbukitan tempat para petani biasa bercocok tanam. Langkah kaki Saka dan Laras terdengar sayup di antara kabut yang perlahan menipis, meninggalkan embun di ujung daun dan nafas yang mengepul dingin. Sehari setelah serangan mendadak Sureng dan para dukun gelap yang dibayarnya, Ki Darma memutuskan agar mereka sementara menyelidiki kemungkinan ada penyusup yang membocorkan lokasi obat-obatan mereka. Saka menyetujui, meski pikirannya masih penuh tanda tanya tentang sosok berjubah hitam yang muncul lalu menghilang saat malam penyerangan.

“Kau yakin ini jalur yang pernah dilewati Sureng dan orang-orangnya, Kang?” tanya Laras sambil memperhatikan jejak samar di tanah.

Saka mengangguk pelan. “Aku tak yakin ini jejak mereka, tapi ada tapak sepatu aneh, seperti berasal dari kulit keras dan ujungnya membulat... bukan alas kaki yang biasa dipakai orang-orang sini.”

Laras memandangnya dengan alis terangkat. “Seperti dari zamanmu, ya?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Saka hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Ia terus melangkah, matanya tajam mengamati setiap patahan ranting dan bekas gosong di tanah. Mereka berhenti di sebuah cekungan di bawah pohon besar. Di sana, Laras menemukan potongan kain berwarna hitam pekat yang masih segar baunya, bercampur aroma minyak menyengat.

“Kita harus kembali, ini bisa jadi tempat mereka bersembunyi,” ucap Laras.

Belum sempat mereka bergerak, suara peluit panjang terdengar dari arah timur. Saka langsung menarik Laras bersembunyi di balik semak. Tiga sosok berjubah muncul dari balik bukit, satu di antaranya bertubuh besar dan mengenakan penutup wajah.

“...jika kita gagal lagi, orang itu tak akan memaafkan kita. Dia bilang malam bulan purnama berikutnya harus sudah selesai... atau nyawa kita jadi tumbal!” terdengar suara serak penuh tekanan.

Saka dan Laras saling pandang. “Ada orang yang lebih kuat dari Sureng?” bisik Laras.

Saka mengangguk perlahan. “Mungkin... dia dalangnya,” gumamnya.

Setelah ketiga sosok itu berlalu, mereka buru-buru kembali ke rumah Ki Darma. Saat mendengar laporan itu, wajah tabib tua itu mengeras. “Jika benar, kita berhadapan dengan kekuatan yang lebih dalam dari sekadar dendam pribadi. Ini bisa jadi ajaran sesat kuno yang bangkit kembali…”

Keesokan harinya, Saka mulai meracik sebuah penawar baru. Ia menggunakan serpihan kulit kayu langka dari hutan belakang gunung dan mencampurnya dengan belerang dan daun mint asli ladang Laras. “Aku menyebut ini Serbuk Penawar Kabut. Bisa mengaburkan penglihatan sejenak dan memberi kita waktu melarikan diri,” katanya sambil menunjukkan hasilnya.

“Cerdas sekali, Saka…” puji Laras sambil memandang penuh rasa kagum, namun hatinya juga semakin dipenuhi kecemasan. Ia tahu Saka menyimpan rahasia, tapi tak tahu apa. Dan semakin hari, rasa ingin tahunya tumbuh seiring perasaan yang tak bisa ia tolak.

Saat senja datang dan mereka duduk di beranda rumah Ki Darma, langit memerah seperti terbakar. Saka memandang jauh ke ufuk, hatinya gelisah. “Segalanya makin rumit, Laras. Aku merasa... waktu semakin menipis.”

Laras menoleh, suaranya lirih, “Apa kau percaya, meski semuanya menipis, ada sesuatu yang tetap utuh?”

Saka memandangnya dalam. “Iya, ada. Dan itu yang membuatku terus bertahan.”

---------------- Bersambung -----------------


Bab 32 – Jejak Asap dan Bayang-Bayang

Angin pagi menyapu dataran rendah dengan dingin yang menggigit, namun tak sanggup memadamkan kobaran semangat dalam dada Saka. Langkah-langkahnya semakin cepat menuju rumah Ki Darma setelah mendengar kabar mengejutkan: salah satu desa kecil di utara kadipaten diserang oleh kelompok tak dikenal, meninggalkan luka dan ketakutan di antara penduduknya. Begitu tiba di rumah tabib tua itu, Laras sudah menunggunya di serambi, wajahnya tegang dan matanya menyimpan cemas.

“Saka... ada yang aneh dengan serangan ini,” gumam Laras lirih. “Luka-luka para korban… bukan seperti yang biasa disebabkan oleh senjata tajam atau pukulan. Seperti... luka bakar, tapi bukan karena api.”

Saka mengernyit. “Luka bakar? Dari apa?”

Ki Darma keluar dari dalam rumah dengan langkah tergesa, membawa gulungan lontar tua yang terbuka sebagian. “Aku mencocokkannya dengan catatan lama,” ujarnya pelan. “Luka semacam itu... pernah muncul dulu, ketika ada penyihir hitam yang menggunakan asap beracun dari akar Waringin Gunung.”

Saka menelan ludah. Akar Waringin Gunung? Itu bukan tanaman biasa. Ia pernah membacanya dalam buku pengobatan kuno—akar itu jika dibakar, akan mengeluarkan asap hitam pekat yang menyebabkan iritasi parah dan bahkan halusinasi bagi yang menghirupnya.

“Apa kau yakin, Ki?” tanya Saka serius.

“Yakin sekali. Dan yang lebih mencurigakan… beberapa warga melihat sesosok berjubah kelam di tengah kepulan asap. Tak seorang pun berani mendekat.”

Kepala Saka terasa berat. Ini bukan lagi masalah tabib atau penyakit biasa. Ini ancaman yang bisa melumpuhkan satu wilayah. Dan di antara bayang-bayang serangan ini, Saka merasa... ada sesuatu yang mengenalnya. Sesuatu dari masa lalu yang kelam, atau mungkin... dari masa yang bukan milik siapa pun.

Sore harinya, Saka, Laras, dan dua murid Ki Darma—Wiryo dan Sunar—menyusun rencana untuk menyelidiki desa yang diserang. “Kita harus bertindak cepat sebelum serangan kedua terjadi,” kata Wiryo, matanya tajam seperti elang. “Tapi kita tak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik.”

“Betul,” timpal Sunar. “Kita harus membawa ramuan penangkal. Sesuatu yang bisa menetralisir efek racun dari akar itu.”

Laras pun menyarankan untuk mencampur sari belerang dengan ekstrak daun mimba, yang mampu membersihkan saluran pernapasan. “Ramuan ini bisa kita jadikan inhalasi darurat,” jelasnya sambil meracik bahan-bahan di dapur kecil rumahnya.

Malam pun datang. Gelap membungkus langit seperti selimut murka. Di sebuah tempat jauh di dalam hutan, Sureng tampak berdiri bersama seorang lelaki bertudung hitam dengan mata merah menyala. “Kau bilang dia hanya bocah,” ucap suara si berjubah dengan nada marah. “Tapi dia bisa menyalakan api harapan di tengah rakyat!”

Sureng menggertakkan giginya. “Aku tak menduga dia akan sejauh ini. Tapi kita bisa membuat rakyat kembali takut. Mulailah dari desa timur. Hancurkan sumurnya. Biarkan mereka kehausan.”

Sosok berjubah itu mengangguk pelan. “Dan setelah itu... aku akan temui bocah itu. Langsung.”

Di rumah Saka, angin malam membuat jendela berderit pelan. Ibu Saka menutup jendela sambil memandangi putranya yang tertidur di balai kayu, tubuhnya berbalut kain hangat. Dalam tidurnya, Saka mengerutkan kening. Hatinya tak tenang.


Bab 33 Masa Lalu

Asap mengepul tinggi dari arah barat desa. Ini adalah kebakaran ketiga dalam dua pekan terakhir. Warga berlarian membawa ember dan kain basah, mencoba menyelamatkan rumah serta ladang dari jilatan api. Saka yang baru saja selesai membantu ayahnya memuat dagangan segera berlari menuju titik kebakaran. Matanya perih terkena asap, begitu juga warga lainnya. Suasana begitu panik, suara tangisan anak-anak dan jeritan perempuan terdengar bersahut-sahutan.

"Cepat siram bagian belakang rumah itu! Api mulai menjalar ke sana!" teriak Kang Wiryo yang kini memimpin kelompok pemadam darurat.

Saka menggigit bibirnya. Ia tahu kebakaran ini bukan hanya karena musim kering atau kecelakaan. Ada tangan jahat yang bermain. Ia bisa merasakannya dari pola kebakaran yang selalu dimulai saat malam menjelang, dan selalu di tempat strategis yang menghambat jalur perdagangan.

Setelah api padam, Saka kembali ke rumah dengan mata merah dan pedih. Ibunya langsung memeluknya dengan cemas.

"Nak, matamu! Lihat ini, merah sekali," ujar sang ibu sambil membawa kain dingin untuk mengompres matanya.

Di tengah rasa pedih dan kelelahan, ide muncul dalam benaknya. Ia pernah mempelajari cara membuat larutan cuci mata dari bahan alami semasa kuliah. Ia teringat daun sirih, madu alami, dan bunga telang yang bisa dimanfaatkan untuk meredakan iritasi. Di masa ini, semua bahan itu bisa ditemukan di sekitar rumah.

Keesokan harinya, Saka memulai eksperimennya. Ia merebus daun sirih dengan air bersih, menambahkan bunga telang yang ia jemur terlebih dahulu, lalu menambahkan sedikit madu setelah larutan mendingin. Ia menyaringnya dengan kain bersih dan mencobanya sendiri terlebih dahulu.

"Agak perih di awal, tapi setelah itu... segar," gumam Saka sambil berkedip.

Ia membawa larutan itu ke rumah Ki Darma. Ki Darma yang melihat Saka datang dengan botol kecil langsung bertanya, "Apa lagi ini, Nak Saka? Kau seperti tak pernah kehabisan akal."

"Ini obat cuci mata, Ki. Untuk iritasi akibat asap kebakaran. Aku sudah coba, aman dan cukup efektif. Mungkin bisa membantu warga yang kesulitan melihat akibat mata pedih."

Ki Darma mencoba sedikit, lalu menyeringai puas. "Bisa jadi ini penyelamat warga. Api bisa padam, tapi mata yang rusak bisa bertahan selamanya. Ini ide cemerlang, Nak."

Obat itu mulai dibagikan ke warga. Laras yang membantu mendistribusikannya berkata pelan pada Saka saat mereka berjalan bersama di pinggiran desa, "Kau selalu punya cara membuat sesuatu dari yang tak terpikirkan."

Saka tersenyum, "Hanya mencoba memanfaatkan apa yang ada, Ras."

Namun, di sudut desa, dari balik pepohonan, sosok berpakaian gelap mengintai mereka. Kedua matanya menyipit penuh dendam. Tangannya menggenggam keris kecil, dan bibirnya menggumam, "Saka... kau pikir kau bisa terus jadi pahlawan? Waktumu akan tiba."

Konflik tak mereda. Saka mungkin menang dalam membantu warga, tapi api yang lebih besar tengah dinyalakan dalam bayang-bayang. Musuh yang lebih gelap sedang bersiap menguji bukan hanya kecerdasannya, tapi juga hatinya.


Bab 34 Pertanda Bencana

Malam itu, langit tampak kelabu meski tidak mendung. Bintang-bintang seakan enggan menampakkan sinarnya, seolah tahu akan malapetaka yang tengah menjalar di bawahnya. Di dalam rumah Ki Darma, Saka duduk termenung setelah seharian mendistribusikan larutan cuci mata ke warga desa. Ketenangan yang sempat hadir kini tergantikan oleh kecemasan yang tak berwujud.

"Kau merasa sesuatu, Nak Saka?" tanya Ki Darma sambil menuangkan air hangat dari kendi ke cangkir tanah liat.

"Entah kenapa, Ki. Rasanya desa ini sedang diincar. Bukan hanya oleh api atau dukun yang tersingkir... tapi ada yang lebih besar dari itu."

Ki Darma menatap pemuda di hadapannya. Ia mengangguk pelan, mengakui firasat yang sama. "Beberapa malam terakhir, aku melihat burung hantu tak berhenti bertengger di atap rumah sakit desa. Tanda buruk..." katanya lirih.

Belum sempat mereka melanjutkan percakapan, seorang pemuda datang tergopoh-gopoh, nafasnya tersengal. "Ki... ada orang yang luka parah di dekat kebun tua! Dibilangnya diserang oleh sosok berjubah hitam yang membawa api di tangannya!"

Saka langsung berdiri. "Aku ikut!" serunya tanpa ragu.

Setiba di tempat kejadian, tubuh korban tergeletak dengan luka bakar di tangan dan dada. Tubuhnya gemetar, matanya liar. "Dia... dia tak punya wajah... hanya topeng merah... dan matanya menyala...!" katanya ketakutan.

Saka memeriksa luka itu. Tidak seperti luka api biasa. Ada jejak minyak, dan baunya tajam—mungkin minyak dari tumbuhan yang mudah terbakar. Tapi lebih dari itu, luka tersebut terasa seperti disebabkan oleh sesuatu yang lebih ritualistik.

Ki Darma menyentuh luka itu sambil melafalkan doa-doa lama. "Ini perbuatan ilmu hitam... dukun pembakar. Tapi... bukan sembarang dukun. Ini kekuatan lama yang bangkit kembali."

Saka menatap tanah, otaknya bekerja cepat. "Kalau benar ini kekuatan lama, mereka pasti akan mengincar tempat yang penuh energi—seperti sumur tua, atau pohon besar di tengah desa."

Laras yang menyusul dengan membawa kain perban menatap Saka cemas. "Apa kau yakin kita cukup kuat menghadapi ini?"

Saka mengangguk pelan. "Kita harus. Karena jika tidak, maka semua ini akan jadi abu."

Di tempat lain, Sureng duduk di sebuah gubuk gelap bersama tiga dukun tua yang mengenakan jubah robek dan menutup wajah mereka dengan topeng dari tulang. "Waktunya sudah dekat. Bakar semuanya. Biar mereka tahu bahwa dunia lama belum mati."

Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin, hanya menjawab dengan suara parau, "Dan pemuda itu... Saka... biar aku yang menghadapinya. Darahnya... membawa sesuatu yang bukan dari dunia ini. Tapi tak akan selamanya ia bisa menyembunyikannya."

Malam itu pun berlalu dalam keheningan palsu. Namun semua tahu, badai yang sebenarnya baru saja dimulai. Dan di tengah badai itu, Saka berdiri di batas antara dua dunia: masa depan yang ia ingat... dan masa lalu yang tengah memburunya.


Bab 35 Demi Desa Ini, Aku Akan Bertarung

Langit pagi tampak suram. Kabut tipis menyelimuti desa, menyembunyikan bayangan-bayangan aneh di antara pepohonan. Saka terbangun lebih awal dari biasanya, matanya menatap kosong ke langit-langit rumah. Ada kegelisahan yang tak bisa dijelaskan, seperti ada sesuatu yang mengintainya dalam diam. Ia bangkit dari pembaringan, mencuci muka, dan keluar rumah dengan langkah pelan.

Di halaman rumah, Kang Wiryo sudah berdiri sambil membawa tombaknya. "Kau juga tak bisa tidur, Nak Saka?"

"Entahlah, Kang. Rasanya... udara pagi ini aneh. Terlalu tenang."

Kang Wiryo menatap ke arah hutan di barat. "Tadi malam, aku melihat seseorang di dekat kebun pisang. Dia cepat sekali menghilang saat aku dekati."

Saka mengepal tangannya. "Mereka mulai bergerak lebih terang-terangan. Kita harus bersiap."

Sementara itu, di sudut gelap hutan, tokoh misterius berjubah hitam itu kembali bertemu dengan Sureng. Sosok itu kini membawa lima orang bertubuh kekar dan bermata liar. "Ini yang kau minta, Sureng. Mereka bukan hanya kuat, tapi juga haus darah."

Sureng tertawa pendek. "Akan kubuat desa itu bertekuk lutut. Dan Saka... akan merasakan bagaimana rasanya kehilangan."

Hari itu, Saka memutuskan untuk mengunjungi rumah Ki Darma lebih awal. Ki Darma sedang menulis di dalam buku kulit usang ketika Saka datang. "Aku punya firasat buruk, Ki. Kita harus mulai membentuk pertahanan lebih serius."

Ki Darma mengangguk. "Aku tahu. Beberapa muridku sudah bersiap. Tapi aku butuh lebih dari itu. Aku butuh strategi. Dan itulah kekuatanmu, Saka."

Di saat yang sama, Laras tengah membantu ibunya di dapur ketika ia melihat seseorang asing melintas cepat di depan rumahnya. Ia menggenggam pisau dapur erat-erat, jantungnya berdegup kencang.

Saka tiba beberapa menit kemudian. "Ada yang aneh di sekitar rumahmu?"

Laras mengangguk. "Seseorang lewat barusan. Tak kukenal. Terlalu cepat."

Saka menatap tajam ke jalanan kosong di luar. "Mereka sedang memetakan kita... mengamati kelemahan kita. Tapi kali ini, aku akan berada selangkah lebih maju."

Malam mulai turun, dan desa kembali diselimuti kegelapan. Namun di sudut-sudut rumah, para pemuda berjaga, tombak dan kayu api di tangan mereka. Saka berdiri di tengah lapangan, menatap bintang di langit sambil berkata dalam hati, "Rahasiaku harus tetap tersembunyi. Tapi demi desa ini, aku akan bertarung."


Bab 36 - Kobaran Dendam yang Membara

Fajar belum sepenuhnya merekah ketika Saka terbangun oleh suara ribut-ribut di luar rumah. Ia membuka jendela dan melihat beberapa warga berkumpul di balai desa. Suara-suara panik dan kemarahan membumbung tinggi. Ia segera mengenakan pakaian dan berlari ke sana.

"Apa yang terjadi?" tanya Saka pada seorang pria tua yang berdiri di pinggir kerumunan.

"Kandang ternak Pak Samin dibakar semalam. Semua ternaknya mati, bau gosong dan bulu terbakar menyengat sekali. Ini sudah yang kelima kalinya dalam dua minggu terakhir!" jawab pria itu dengan suara bergetar.

Saka mengernyit. Ini tak bisa lagi dianggap kebetulan. Semua insiden belakangan ini mengarah pada sabotase yang sistematis. Dan entah kenapa, ia merasa bahwa semua ini berkaitan dengan apa yang sedang ia lakukan.

Di tengah kerumunan, Ki Darma berdiri dengan wajah murung. "Warga Desa Kedungpoh," serunya lantang, "kita sedang dalam bahaya. Kita bukan hanya menghadapi api, tapi dendam yang disembunyikan."

Tiba-tiba seorang anak kecil berlari ke arah mereka sambil menjerit, "Ada orang asing di kebun belakang rumah kami! Dia mengancam Bapak dan membawa keris!"

Saka dan beberapa warga segera bergerak. Mereka menemukan kebun yang ditunjuk dan mengepungnya. Namun yang mereka temukan hanyalah bekas jejak kaki dan selembar kain hitam yang tertinggal, dengan simbol aneh yang dibakar di sudutnya.

Ki Darma mengambil kain itu dan mengamatinya. "Ini... simbol klan Ragasakti. Sudah lama tak terdengar kabarnya. Mereka adalah kelompok pengikut ilmu hitam yang pernah dibasmi puluhan tahun lalu. Tapi mungkin… ada satu yang tersisa."

Saka mencatat simbol itu dalam ingatannya. Ia tahu, jika benar pelakunya dari kelompok itu, maka ancaman yang mereka hadapi lebih besar dari yang dikira. Namun ia tetap menyembunyikan satu hal—perasaannya bahwa ia tahu lebih banyak dari yang seharusnya orang seusianya tahu. Ia tak bisa membiarkan siapa pun tahu rahasianya.

Malam itu, ia duduk sendiri di samping lumbung, mencoba meracik ramuan anti-inflamasi untuk warga yang terluka. Laras mendekatinya, membawakan secangkir air hangat.

"Kau terlihat lelah sekali, Ka..."

"Bukan lelah fisik, Ras," jawab Saka pelan. "Ada sesuatu yang terus menghantui pikiranku. Kita bukan hanya menghadapi musuh yang terlihat. Ada yang lebih dalam. Lebih gelap."

Laras menggenggam tangannya, dan dalam keheningan itu, keduanya tahu bahwa badai yang akan datang belumlah selesai. Tapi mereka tak akan mundur. Bukan sekarang.

Dari puncak bukit yang jauh, sosok berjubah hitam berdiri memandangi desa yang tertidur. Cahaya bulan memantulkan kilatan pada matanya yang tajam. Ia tersenyum dingin. "Kau belum tahu siapa aku, Saka. Tapi sebentar lagi… dunia akan tahu."

Api dendam mulai menyala, dan desa Kedungpoh akan jadi medan pertarungan antara masa lalu yang kelam dan masa depan yang coba dibangun dari reruntuhannya.


Bab 37: Nyala di Balik Hati

Fajar baru menyingsing di langit Sadeng, namun bayangan malam belum sepenuhnya pergi dari hati Saka. Di beranda rumah Ki Darma, ia duduk bersama Laras yang menyajikan semangkuk bubur hangat dan secangkir wedang jahe. Mata mereka bertemu, lalu saling mengalihkan pandang. Ada keheningan di antara mereka, bukan karena tak ada yang ingin dikatakan, tapi karena terlalu banyak yang ingin diutarakan.

"Kau belum tidur semalaman," ucap Laras pelan, jemarinya menyentuh lembut lengan Saka. "Aku khawatir padamu."

Saka tersenyum tipis, menyembunyikan beban pikirannya. "Aku hanya merasa... sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang besar. Tapi aku belum tahu apa."

Laras menunduk, lalu berkata, "Jika yang akan terjadi adalah hal buruk, setidaknya izinkan aku bersamamu menjalaninya."

Kata-kata itu membuat dada Saka sesak oleh emosi. Ia meraih tangan Laras dan menggenggamnya. "Aku ingin melindungimu. Tapi aku juga tak ingin kau terluka karena aku."

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar teriakan dan derap kaki. Seorang warga berlari ke halaman rumah Ki Darma. "Ada yang membakar gudang padi! Kami melihat sosok berjubah hitam melompat dari atap sebelum api membesar!"

Saka dan Laras saling pandang. Tanpa banyak bicara, mereka berlari mengikuti warga. Api menyala tinggi, menghanguskan lumbung yang menjadi sumber pangan desa. Orang-orang berteriak, sebagian mencoba memadamkan api, sebagian lagi menangis karena kehilangan hasil panen mereka.

Saka mendekati area terbakar dan menemukan jejak kaki yang dalam, basah oleh minyak. Ia menyentuh tanah itu, mencium aromanya, lalu mengangguk. "Minyak jarak. Mereka mulai menggunakan bahan yang mudah terbakar untuk menyebarkan ketakutan."

Ki Darma datang dengan wajah murka. "Ini bukan hanya serangan. Ini pesan. Mereka ingin membuat kita ketakutan, lalu tunduk."

"Dan mereka tahu menyerang pangan berarti menyerang hidup kita," tambah Laras yang berdiri di samping Saka. Matanya tajam, bukan karena benci, tapi karena semangat untuk melawan.

Malam harinya, Saka duduk sendirian di dekat sumur tua. Ia menatap bayangan dirinya di air. "Aku bukan siapa-siapa di dunia ini, tapi aku membawa sesuatu yang bisa membantu mereka... atau menghancurkan. Aku harus berhati-hati."

Laras muncul di belakangnya, menyelimuti Saka dengan selendang hangat. "Aku tak tahu dari mana kau berasal, Saka... Tapi aku tahu kau adalah harapan bagi kami. Dan hatimu adalah tempat yang selalu kurindukan."

Saka menatap Laras dalam-dalam, lalu menariknya dalam pelukan. Di tengah ancaman dan kehancuran, cinta mereka mulai tumbuh. Sebuah nyala kecil di balik reruntuhan dunia.

Namun dari balik pepohonan, sosok bertopeng merah memperhatikan mereka dalam diam. Ia tidak bergerak, hanya memandang dengan mata menyala yang penuh dendam.


Bab 38: Senyum di Tengah Badai

Pagi di desa Sadeng dimulai dengan langit berwarna jingga lembut dan suara burung-burung kecil yang bersahutan. Setelah malam yang mencekam, suasana pagi itu seperti pelipur lara bagi para warga. Saka duduk di halaman rumah Ki Darma, memandangi langit sambil menyeruput air rebusan daun sereh.

"Kau tidur nyenyak semalam?" tanya Laras yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan senyum kecil.

"Kalau tidur sambil mikirin siapa yang bakal nyerang kita malam ini itu disebut nyenyak, maka ya," jawab Saka dengan tawa lelah.

Laras tertawa pelan. "Kau butuh lebih dari teh sereh itu untuk meredakan keteganganmu. Mungkin pijatan atau... semangkuk bubur kacang ijo?"

"Wah, kalau soal bubur kacang ijo aku tidak bisa menolak," Saka mengangguk semangat. "Tapi kalau pijatan, nanti dikira kita pacaran."

"Emang bukan?" tanya Laras, matanya berbinar nakal.

Saka terdiam sejenak, lalu menjawab, "Aku sih oke, tinggal nunggu persetujuan dari ayahmu yang sepertinya masih berpikir aku ini anak yang menyimpan rahasia besar."

Laras hanya tertawa, lalu menggamit lengan Saka dan menariknya ke dapur. "Ayo bantu aku ngulek bumbu. Katanya kamu pintar campur-campur bahan, masa bumbu dapur aja nggak bisa?"

Di dapur, mereka menghabiskan waktu dengan canda dan gurau. Saat Saka mencoba mengupas bawang, ia malah membuat matanya perih hingga mengeluh seperti anak kecil. "Ini dia buktinya! Dunia memang butuh obat tetes mata buat tukang masak kayak aku."

"Mending kamu bikin sabun yang bisa dipakai buat cuci tangan dan nggak bikin tangan kasar. Biar kalau nanti kamu pegang tanganku, nggak kayak pegang sabut kelapa," seloroh Laras sambil tertawa.

"Wah, berarti aku harus lebih rajin riset lagi. Demi tangan halusmu, Dinda," sahut Saka dengan gaya dramatis.

Setelah selesai masak, mereka duduk di beranda dengan dua mangkuk bubur hangat di tangan. Saka menyuapkan sesendok ke mulutnya lalu berpura-pura menangis. "Ini... ini terlalu enak. Rasanya kayak dipeluk ibu waktu kecil."

Laras tersenyum sambil menyandarkan kepala ke bahu Saka. "Kadang aku lupa... di tengah semua kekacauan ini, kita masih bisa tertawa begini."

"Justru karena itu kita harus tertawa. Dunia yang penuh kegelapan akan kalah oleh satu cahaya kecil... seperti senyummu," bisik Saka.

Mereka pun duduk berdua di bawah langit pagi yang mulai membiru, tak menyadari bahwa dari kejauhan, sepasang mata dari balik pepohonan memperhatikan mereka dalam diam.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari pintu dapur. Tiga murid Ki Darma—Sunar, Wiryo, dan Gino—masuk dengan ekspresi jenaka.

"Waduh, ini dapur atau tempat lamaran, ya?" celetuk Sunar sambil menirukan gaya romantis Saka.

Wiryo menambahkan, "Kita tinggal kasih kembang tujuh rupa sama gamelan, langsung sah ini!"

Gino tertawa sambil pura-pura menyeka air mata. "Aduh, manis banget! Aku sampai terharu. Besok aku masak juga, siapa tahu jodohku muncul dari pintu dapur."

Laras menutup wajah dengan tangan, tertawa malu. "Kalian ini... bisa-bisanya intip orang lagi masak."

Saka ikut tertawa. "Tenang, aku nggak akan lapor ke Ki Darma asal kalian bantu cuci piring habis ini."

"Siap, asal Kak Laras juga ikut nyuapin bubur kayak tadi!" seru Sunar, yang langsung mendapat jitakan dari Laras.

Suasana pun penuh tawa, sejenak melupakan ancaman yang mengintai dari luar desa. Dan mungkin, justru itulah yang mereka butuhkan untuk tetap bertahan.


Bab 39: Bisik Angin dan Bayang Mata

Pagi itu, desa Sadeng belum sepenuhnya terbangun dari kantuknya. Embun masih menempel di pucuk daun, dan kabut tipis bergelantungan di sela-sela pepohonan. Namun Saka sudah terjaga lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian beberapa hari terakhir, pikirannya tak pernah benar-benar tenang.

Ia duduk di beranda rumah Ki Darma, membolak-balik catatan kecil yang ia simpan dari penelitian sabun dan obat tetes mata. "Kalau bisa kubuat dari daun sirih dan air rebusan bunga teleng, mungkin bisa lebih lembut untuk mata..." gumamnya sambil mencatat.

Laras datang membawa secangkir air jahe hangat. "Kau belum tidur cukup, Saka. Jangan sampai kau sendiri yang jatuh sakit."

Saka tersenyum tipis. "Kepalaku terlalu penuh ide, jadi tidur malah jadi menyiksa."

Belum sempat Laras menjawab, Gino datang tergopoh-gopoh dari arah barat desa. Wajahnya pucat, napasnya terengah. "Kak Saka! Kak Laras! Tadi malam... ada bayangan hitam melintas di atas rumah Pak Ranu. Mereka... mereka membakar gudang ramuan di belakang!"

Saka langsung berdiri, wajahnya berubah tegang. "Ada korban?"

"Tidak, untungnya. Tapi... ini bukan kebakaran biasa. Warga bilang mereka melihat sosok tinggi besar bertopeng dengan suara berat seperti geraman harimau," jawab Gino, matanya menyiratkan ketakutan.

Ki Darma yang mendengar kegaduhan itu ikut keluar. "Aku sudah menduga mereka akan menyerang lagi. Dukun-dukun yang kehilangan pasien karena pengobatan kita tak akan tinggal diam."

Saka mengangguk. "Mereka mulai bermain lebih gelap. Aku curiga ada satu orang di balik semua ini. Seseorang yang lebih berbahaya dari Sureng."

Laras menatap Saka penuh kecemasan. "Apa kita akan baik-baik saja, Ka?"

Saka menggenggam tangan Laras. "Selama kita tetap bersama, kita bisa atasi apa pun. Tapi aku harus mulai siapkan sesuatu... semacam sistem peringatan dini."

Sunar muncul dari balik pintu dapur, membawa sekumpulan lonceng kecil dari bambu. "Kak Saka! Kalau ini dipasang di tiap sudut desa, suara gemeretaknya akan terdengar kalau ada yang lewat malam-malam."

Saka menerima lonceng itu, matanya bersinar kagum. "Ini... luar biasa, Sunar. Kita bisa kembangkan ini. Kita tambahkan minyak serai di sekitar tempat persembunyian, baunya tajam dan bisa membingungkan anjing pelacak mereka."

Ki Darma tersenyum, meski wajahnya tetap tegang. "Aku akan berkeliling malam ini. Jika mereka ingin bermain kucing-kucingan, maka kita akan jadi harimau dalam bayangan."

Namun jauh di balik hutan timur desa, seseorang dengan jubah hitam panjang dan topeng kayu berukir wajah murka sedang menatap ke arah Sadeng dari kejauhan. Suaranya rendah dan penuh dendam, "Mereka pikir mereka bisa menantang kekuatan lama? Aku akan kembalikan kegelapan yang pernah mereka kubur."

Angin membawa bisikan tak kasat mata malam itu. Dan tak satu pun tahu, bahwa bayangan yang sesungguhnya... baru saja bangkit dari tidur panjangnya.


Bab 40: Bayangan Malam

Malam turun dengan cepat di Desa Sadeng. Udara menjadi lebih dingin dari biasanya, dan embusan angin membawa suara dedaunan yang bergesekan seperti bisikan lirih dari hutan. Saka duduk di beranda rumah Ki Darma, menatap pekat malam dengan sorot mata waspada. Bayangan yang ia lihat siang tadi dari balik pepohonan tak kunjung hilang dari pikirannya.

"Kau masih gelisah?" Laras datang membawa selimut dan menyelimuti pundak Saka.

Saka mengangguk pelan. "Aku rasa... seseorang mengamati kita. Bukan sekadar Sureng dan anak buahnya. Ini berbeda. Lebih... gelap."

Laras duduk di sampingnya. "Apa mungkin itu cuma rasa lelahmu? Kita memang belum benar-benar tenang sejak malam serangan itu."

Saka menggeleng. "Tidak. Naluriku mengatakan ini bukan bayang-bayang biasa."

Tiba-tiba, Gino muncul tergopoh-gopoh. Nafasnya terengah. "Kak Saka! Kak Laras! Ada yang aneh di halaman belakang rumah Pak Lurah. Ayam-ayamnya... mati. Tapi bukan karena hewan buas. Luka mereka... seperti habis dikuliti."

Saka berdiri spontan. "Tunjukkan jalannya. Laras, tolong beri tahu Ki Darma. Ini bisa jadi pertanda buruk."

Mereka bertiga berlari menembus malam. Di halaman belakang rumah Pak Lurah, suasana begitu sunyi. Bulan bersembunyi di balik awan. Di tanah, lima ayam kampung tergeletak dengan luka menganga. Kulitnya memang seperti disayat pisau tajam, tapi tidak ada darah mengalir.

"Ini... seperti ritual..." gumam Saka, lututnya berjongkok memeriksa luka.

"Ritual apa?" tanya Gino dengan suara gemetar.

Saka tak langsung menjawab. Tapi pikirannya melayang ke masa lalu—ke pelajaran antropologi budaya yang pernah ia baca tentang dukun pemuja ilmu hitam.

Tiba-tiba, angin berhembus kencang. Daun-daun kering berputar, dan bayangan hitam melintas cepat di atap rumah Pak Lurah. Mereka bertiga langsung menoleh.

"Lihat itu!" teriak Laras. Tapi bayangan itu sudah menghilang seperti kabut.

"Kita harus memperkuat penjagaan. Dan aku harus bicara dengan Pak Lurah dan Ki Darma segera. Ini bukan lagi soal dendam Sureng. Ini... sesuatu yang jauh lebih tua, lebih gelap," ucap Saka serius.

Di tengah malam yang membekukan itu, angin membawa bisikan asing. Sebuah nama samar terdengar, bergaung dari kejauhan, seperti panggilan dari masa yang telah lama dilupakan.

Dan dalam kegelapan, sosok berjubah gelap berdiri di atas bukit kecil, memandang ke arah desa dengan mata merah menyala—tanpa suara, tanpa gerak. Menunggu.

Bayangan malam kini menjadi bagian dari mereka. Petaka baru tengah mengintai.

-----------------Berlanjut---------------


Bab 41: Kabut yang Membisikkan Bahaya

Kabut pagi menyelimuti desa Sadeng, membuat langit tampak suram meski matahari telah terbit. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan aroma tanah basah membawa firasat yang tak enak di dada Saka. Ia berdiri di depan rumah Ki Darma, matanya menelisik lebatnya pepohonan di kejauhan, seolah mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa.

"Pagi ini lebih sunyi dari biasanya," ujar Saka pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Laras muncul dari dalam dengan membawa dua cangkir air jahe hangat. "Atau mungkin karena kau terlalu peka sejak kejadian pembakaran lumbung itu."

Saka menerima cangkir itu dan menyesapnya pelan. "Bukan hanya soal itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda. Seperti... sesuatu yang bersembunyi di balik kabut."

Tak lama kemudian, salah satu murid Ki Darma, Gino, berlari tergesa dari arah pasar desa. Nafasnya tersengal dan wajahnya pucat. "Ki Darma! Kak Saka! Ada yang aneh di pasar! Beberapa pedagang ditemukan pingsan... mata mereka memerah, dan kulit mereka tampak... terbakar!"

Saka dan Laras saling berpandangan, lalu buru-buru menuju rumah Ki Darma. Sang tabib tua sedang mempersiapkan ramuan ketika mereka tiba. "Apa yang terjadi?" tanya Ki Darma tenang, meski wajahnya tampak tegang.

"Sepertinya bukan penyakit biasa, Guru," jawab Saka cepat. "Mungkin ada zat berbahaya... atau racun."

Mereka bertiga segera menuju pasar. Sesampainya di sana, suasana kacau. Beberapa warga tergeletak, mengeluh kesakitan. Kulit mereka memerah seperti melepuh ringan. Saka jongkok memeriksa seorang pria tua. Ia mengendus udara di sekitar.

"Ada bau menyengat... seperti campuran akar tuba dan getah pohon tertentu. Tapi lebih kuat dan... menyusup ke pernapasan. Ini bukan sembarang racun. Ini dibuat dengan sengaja," ujar Saka pelan namun penuh keyakinan.

Ki Darma menoleh dengan tajam. "Kau yakin ini bukan penyakit?"

"Ini serangan, Guru. Racun yang disebarkan lewat kabut. Dan ini... uji coba," kata Saka, matanya menatap jauh. "Seseorang sedang mengamati hasilnya."

Di balik salah satu bangunan pasar, sepasang mata mengintai. Lelaki dengan jubah hitam dan topeng kayu itu berbisik, "Anak itu terlalu tajam... lebih dari yang kubayangkan."

Sementara itu, Saka mulai menyiapkan penawar sederhana dari tumbukan daun sirih, getah pinang, dan air garam hangat. Ia mengoleskan ke bagian kulit warga yang terluka, lalu memberikan air rebusan daun sembung untuk diminum.

Laras membantu dengan cekatan, menyeka keringat dari dahi pasien. "Siapa yang tega melakukan ini...?"

"Orang yang ingin melihat kita saling menyalahkan... dan takut," jawab Saka.

Hari itu, Sadeng kembali dilanda ketegangan. Namun satu hal menjadi pasti: ancaman kini tak lagi mengendap di balik bayang. Ia telah menunjukkan taringnya dalam kabut. Dan perang senyap baru saja dimulai.


Bab 42: Jejak di Tanah Basah

Pagi itu hujan turun pelan-pelan, membasahi tanah desa Sadeng yang gembur dan harum oleh aroma bumi yang tersentuh air. Saka berdiri di depan rumah Ki Darma, memandangi bekas tapak kaki yang tak dikenalnya di tanah basah, mengarah ke belakang rumah tempat gudang penyimpanan obat berada. Hatinya langsung tergerak.

"Laras!" panggilnya sambil berbalik masuk ke dalam. "Ada yang aneh. Seseorang mengitari rumah ini semalam."

Laras yang sedang menjemur kain di dalam rumah menoleh dengan dahi berkerut. "Apa? Kau yakin itu bukan tapak hewan?"

Saka menggeleng cepat. "Terlalu besar dan terlalu rapi. Seperti langkah manusia yang berhati-hati. Aku harus periksa ke gudang."

Ki Darma yang mendengar pembicaraan mereka segera bangkit dari tempat duduknya. "Aku ikut. Tidak boleh ada yang sembarangan mengakses ramuan-ramuan itu."

Ketiganya bergerak ke arah gudang kecil di belakang rumah, menelusuri jejak yang mulai samar karena hujan. Pintu gudang memang masih terkunci, tapi Saka menyadari ada goresan kecil di sisi kanan kunci. Seseorang mencoba membukanya.

"Kau lihat ini, Ki? Ini bukan goresan biasa. Ini pakai benda tajam. Mungkin belati... atau besi tipis yang diasah," ujar Saka.

Ki Darma mengangguk perlahan. "Mungkin mereka mencari sesuatu. Tapi tidak tahu apa yang mereka incar."

"Bisa jadi mereka salah mengira kita menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar obat... atau mereka tahu obat ini punya nilai besar," kata Laras pelan, suaranya nyaris berbisik.

Saka termenung. Dalam benaknya, ia tahu kalau perkembangan teknologi pengobatan yang ia coba tanamkan di masa ini bisa memicu rasa iri atau bahkan ketakutan. Terlalu banyak orang yang kehilangan kuasa karena masyarakat mulai mempercayai ilmu daripada takhayul.

Saat mereka kembali ke rumah, salah satu murid Ki Darma, Sunar, tergopoh-gopoh datang sambil membawa kantong kain. "Guru, ada orang asing yang menginap di warung Bu Ningsih. Ia menanyakan tentang tabib yang menyembuhkan kulit dengan cepat. Tapi wajah dan geraknya mencurigakan."

"Mungkin hanya orang sakit," ujar Ki Darma, meskipun nada suaranya ragu.

Namun Saka sudah merasa sesuatu yang lebih dalam. "Atau dia dikirim oleh orang yang tak ingin kita menyembuhkan terlalu banyak orang."

Hujan masih terus turun, seperti membasuh tanah dari jejak-jejak kejahatan yang belum sempat terungkap. Tapi Saka tahu, hari-hari ke depan akan lebih berat, dan ia harus siap untuk menghadapi siapa pun yang datang, bahkan bila itu musuh dalam selimut.


Bab 43: Jejak Rahasia di Balik Hujan

Hujan turun sejak dini hari, mengguyur seluruh wilayah Sadeng dengan deras. Tanah becek, udara lembap, dan aroma kayu basah memenuhi udara. Di tengah keheningan pagi itu, Saka berdiri di pinggir sawah yang mengarah ke hutan kecil. Jejak kaki yang ditemukan kemarin masih terpatri jelas di lumpur. Tapi kini, jejak itu bertambah—dan mengarah ke tempat yang tak pernah dikunjungi siapa pun sebelumnya: Gua Batu Rongga.

"Kau yakin ini bukan jejak hewan?" tanya Laras yang berdiri di samping Saka, mengenakan kain penutup kepala dari daun pisang agar tak kebasahan.

Saka menggeleng, matanya menajam. "Jejak ini terlalu teratur. Langkahnya rapi, dan ukurannya manusia dewasa. Tapi yang paling aneh, jejaknya tak kembali—hanya masuk ke arah gua. Seolah... orang itu belum keluar lagi."

Sunar dan Wiryo datang tergopoh, membawa pelita dan kantung berisi bekal. "Gua Batu Rongga? Itu tempat yang sering dihindari orang desa. Kata orang tua, banyak suara tangisan terdengar dari dalam," ujar Sunar dengan raut cemas.

"Kita tak bisa abaikan ini. Kalau orang itu mata-mata dari Sureng, kita dalam bahaya besar," ujar Saka dengan tegas.

Perjalanan menuju gua berlangsung dalam diam yang mencekam. Angin mendesir tajam, menyibakkan semak belukar yang mulai rimbun. Mereka tiba di mulut gua saat hujan mereda. Saka menyalakan pelita dan memasuki lorong batu yang dingin dan gelap.

Di dalam gua, dinding-dindingnya dipenuhi coretan kuno. Laras menelusuri salah satunya dengan jemarinya. "Ini seperti tulisan tua... bukan dari bahasa kita. Mungkin dari masa sebelum Sadeng ada," gumamnya.

Tiba-tiba, suara desah pelan terdengar dari dalam. Mereka terdiam. Saka mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semuanya waspada. Langkah mereka melambat. Di tikungan lorong, cahaya samar terlihat. Mereka mendekat dengan hati-hati.

Seorang lelaki tua duduk bersila di tengah lingkaran lilin. Tubuhnya kurus, wajahnya keriput, dan rambutnya putih lebat. Tapi matanya—tajam dan hidup. "Sudah lama... aku menanti kalian," katanya tanpa membuka mata.

"Siapa kau?" tanya Saka, menjaga jarak.

"Namaku Wiraguna. Aku penjaga naskah lama. Naskah tentang penyembuhan, tentang ramuan, dan... tentang pengetahuan yang akan membuatmu diburu, anak muda," ujarnya sambil membuka mata perlahan.

Laras menatap Saka dengan cemas. "Apa maksudnya diburu?"

Wiraguna berdiri perlahan. "Ilmumu akan menyelamatkan banyak nyawa, tapi juga mengguncang keseimbangan zaman ini. Dukun-dukun lama, pemimpin korup, mereka tak ingin perubahan. Dan mereka... sedang mencarimu."

Saka menarik napas panjang. "Kalau begitu, sudah saatnya kita tidak hanya bertahan, tapi melawan."

Sebuah dentuman halus terdengar dari mulut gua, disusul suara kaki berlari mendekat. Mereka menoleh bersamaan—babak baru telah dimulai.


Bab 44: Bayangan yang Mengendap

Hujan gerimis turun di Desa Sadeng, membasahi atap-atap rumah dan dedaunan yang menggigil dalam hembusan angin basah. Saka berjalan perlahan di sepanjang pematang sawah yang mengarah ke hutan kecil di barat desa, membawa keranjang berisi akar-akaran untuk eksperimen obat baru. Di balik ketenangan alam, hatinya terasa gelisah sejak pertemuan tak terduga dengan Wiraguna malam sebelumnya.

"Kau yakin ingin masuk ke sana sendiri?" tanya Laras yang mengejarnya sambil membawa selendang penutup kepala.

Saka menoleh, tersenyum samar. "Aku hanya ingin mengumpulkan beberapa jenis tanaman yang belum sempat kukaji. Lagipula, aku tidak akan lama."

"Itu bukan jawaban yang menenangkan," gumam Laras, namun ia tetap berjalan di samping Saka, menyusuri jejak becek yang menuntun mereka menuju keremangan hutan.

Sesampainya di dalam, udara berubah lebih dingin. Pepohonan menjulang seperti penjaga tua yang membisu. Saka berhenti di sebuah gundukan batu, tempat ia menyimpan beberapa alat dan hasil penelitian sebelumnya.

"Aku merasa ada sesuatu yang mengikuti kita," bisik Laras tiba-tiba.

Saka mengangguk. Ia juga merasakannya. Tatapan samar dari sela pepohonan. Langkah tak terdengar namun terasa. Ia berdiri tegak, lalu mengeluarkan gulungan kain yang berisi ramuan kering dan serbuk kunyit.

"Kalau sesuatu terjadi, ambil ini dan lempar ke tanah. Asapnya akan membutakan siapa pun yang mendekat," jelas Saka tenang.

Laras menatapnya dengan tatapan bingung. "Kau menyimpan ini sejak kapan?"

"Sejak aku tahu bahwa pengetahuan bisa jadi senjata lebih tajam dari pedang," jawabnya sambil tersenyum kecil.

Tiba-tiba dari balik semak, sesosok pria bertudung muncul. Napasnya berat, sorot matanya tajam.

"Saka... kau telah mengusik keseimbangan lama," kata pria itu, suaranya dalam seperti guruh yang ditahan awan.

Saka melangkah maju, tubuhnya tegap namun tenang. "Dan siapa kau yang merasa terganggu oleh pengetahuan?"

"Aku... bayangan dari masa sebelum kerajaan ini tumbuh. Dulu kami para pemelihara rahasia, kini kami tinggal sisa yang diburu oleh terang ilmu. Namaku... Pamoringrat."

Laras menggenggam tangan Saka erat. Ketegangan di udara menjadi nyata. Petir menyambar dari kejauhan, seolah langit pun menyimak pertemuan ini. Saka tidak gentar. Ia tahu, ini bukan akhir—ini baru awal dari peperangan yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih berbahaya.

"Kalau begitu, wahai bayangan... bersiaplah menghadapi cahaya," jawab Saka lirih namun menggetarkan. Pamoringrat hanya tersenyum tipis, lalu menghilang ke dalam kabut hujan yang menebal.

Dan di bawah gerimis itu, Saka dan Laras berdiri dalam diam. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan perasaan mereka, hanya keteguhan bahwa apapun yang menanti di depan, harus mereka hadapi bersama.


Bab 45: Nafas dalam Kabut

Kabut pagi menyelimuti lembah-lembah di sekitar Sadeng, seperti selimut raksasa yang mencoba menutupi luka semalam. Para warga mulai bangun, namun suasana tetap sunyi. Tak ada suara ayam berkokok, hanya angin yang melintas, membawa bisikan yang terasa seperti ratapan.

Saka berdiri di depan gerbang pos penjagaan yang baru dibangun, menatap jauh ke arah hutan. Matanya merah, bukan hanya karena lelah, tapi karena kecemasan yang menghimpit dada. Laras menyusul dari belakang, menyentuh lengannya dengan lembut.

"Kau belum tidur semalaman?" tanyanya, lirih.

"Tak bisa," jawab Saka. "Setelah apa yang terjadi semalam, aku tak bisa abaikan apa pun lagi. Ada yang sedang mendekat. Rasanya seperti... bayangan gelap yang siap menelan kita."

Laras tak menjawab. Ia menggenggam tangan Saka, hangatnya menjadi satu-satunya pelipur. Mereka berdua berjalan menuju dapur umum, tempat beberapa penduduk dan murid Ki Darma sudah berkumpul.

Sunar mencoba mengangkat suasana. "Eh, hari ini kita bikin sup rempah-rempah ala Kak Saka. Katanya sih bisa bikin kita kuat kayak banteng. Tapi aku maunya kuat kayak Kak Laras aja, biar bisa jitakin kepala keras orang!"

Tawa pun pecah di antara mereka, meski tipis dan dipaksakan. Gino menambahkan, "Asal jangan kuat hati buat nahan rindu, nanti malah jadi lagu."

Namun tawa itu segera pupus ketika Pamoringrat muncul di tengah mereka, nyaris tanpa suara. Jubah hitamnya tersapu angin, dan wajahnya tak terlihat jelas di balik kerudung tipis. Suasana mendadak mencekam.

"Aku datang bukan untuk bertarung... belum saatnya," ucapnya tenang, suaranya berat namun tidak mengancam.

Saka langsung berdiri, menghalangi Laras. "Siapa kau? Kenapa mengawasi kami sejak kemarin?"

Pamoringrat menoleh pelan. "Aku adalah bagian dari masa yang kalian lupakan. Aku tak ingin menghancurkan... hanya memperingatkan. Ada yang lebih besar dari Sureng, lebih gelap dari dendam. Jika kalian terus memancing cahaya, bayangan akan makin pekat."

Ki Darma yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan pun ikut bicara. "Pamoringrat... kau masih hidup rupanya. Aku kira kau lenyap bersama bayangan masa lalu."

Pamoringrat tersenyum samar. "Bayangan tak pernah lenyap, Ki Darma. Hanya menunggu waktu untuk muncul kembali. Jaga muridmu baik-baik. Waktu kalian tinggal sedikit."

Setelah itu ia pergi, meninggalkan keheningan yang menggantung di udara. Saka mengepalkan tangan. Laras mendekatinya dan berkata, "Apa pun yang terjadi... jangan pikul semua ini sendiri. Aku di sini bersamamu."

Saka menatapnya, kemudian membalas dengan anggukan berat. "Dan aku bersumpah, aku takkan biarkan apa pun menyakitimu... atau mereka. Meski harus menantang kegelapan itu sendiri."

Kabut mulai mengurai, tapi hawa dingin tetap tinggal. Pertanda bahwa badai belum selesai—hanya diam sejenak, menahan napas sebelum mengguncang kembali.


Bab 46: Bayang-Bayang di Balik Pelita

Malam turun dengan cepat, menyelimuti desa Sadeng dengan kabut tipis yang menggantung di udara. Angin berhembus pelan, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang menggigil. Di rumah Ki Darma, api pelita bergetar lembut, menerangi ruang dalam yang kini dipenuhi murid dan warga yang mulai gelisah karena serangkaian insiden aneh yang belakangan kerap terjadi.

Saka duduk bersila di sudut ruangan, mengamati peta buatan tangan yang digambar dengan arang dan daun lontar. Ki Darma berdiri di sisinya, membicarakan rute pelarian jika terjadi serangan mendadak.

"Aku merasa ada yang memata-matai kita dari dalam," bisik Ki Darma. "Seseorang tahu setiap langkah kita, bahkan sebelum kita bergerak."

Saka mengangguk pelan. Ia juga merasakannya. Tatapan dari kejauhan, suara langkah yang tak berjejak, dan pesan-pesan aneh yang ditemukan di pintu rumah warga. Malam ini, ia memutuskan untuk berjaga.

Di luar, Laras membawa seember air dari sumur sambil menggumam pelan. Suasana tampak tenang, tapi bulu kuduknya meremang. Ketika ia menoleh ke semak-semak, sekelebat bayangan menghilang begitu saja.

"Saka!" serunya panik saat masuk ke dalam. "Aku melihat sesuatu di luar, di dekat sumur. Bukan binatang. Aku yakin itu manusia."

Saka berdiri cepat. "Kita periksa bersama. Ki Darma, tolong jaga yang lain. Kalau ini jebakan, aku tidak mau semua ikut terseret."

Dengan obor di tangan dan pisau kecil tersembunyi di sabuknya, Saka berjalan menyusuri jalan setapak menuju sumur. Laras mengikutinya dari belakang, tak ingin ditinggalkan. Mereka mendekati semak itu perlahan.

Tiba-tiba, ranting patah. Saka reflek menoleh, dan di depannya berdiri sosok pria berjubah hitam dengan topeng kayu yang diukir rumit. Mata sosok itu menyala kehijauan dalam gelap.

"Kau... siapa kau?!" teriak Saka, mengangkat obor tinggi.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk Saka, lalu mengarahkan jarinya ke tanah, seolah menyuruh Saka mengikuti sesuatu. Sebelum sempat bereaksi, sosok itu berlari ke dalam hutan.

Saka mengejarnya tanpa pikir panjang. Laras berteriak, memanggil namanya, namun Saka sudah menghilang di balik pohon-pohon lebat.

Sosok berjubah itu melompat seperti bayangan, licin dan cepat. Tapi Saka terus membuntuti hingga akhirnya ia tiba di sebuah tempat terbuka—sebuah petak tanah dengan batu-batu yang ditata melingkar.

Di tengahnya, ada simbol kuno yang tak dikenali Saka, namun terasa anehnya. Sosok bertopeng berdiri di seberang lingkaran dan berkata lirih, "Kebenaran tak selalu datang dari masa kini, tapi dari apa yang telah terlupakan."

Sebelum Saka sempat bertanya, sosok itu menghilang begitu saja, lenyap seperti kabut yang terangkat. Saka terduduk di tanah, bingung, dan jantungnya berdebar tak menentu. Apa yang barusan ia lihat? Siapa pria itu? Dan kenapa seolah tahu sesuatu yang lebih besar dari semua yang terjadi?

Saat ia kembali ke rumah Ki Darma, Laras menyambutnya dengan pelukan kuat dan wajah cemas. "Kau gila, kenapa kau kejar dia sendirian?!"

Saka hanya bisa menatap api pelita yang kini bergetar lebih keras. Ia tahu... malam itu, sebuah pintu telah terbuka. Dan tak ada jalan untuk kembali seperti sebelumnya.

                                                                                                                ---------------rewel......................


Komentar

Postingan populer dari blog ini

VIDEO BUAYA PUTIH - siluman atau bukan

Elara dan Perang Dua Zaman

sekuel Elara: Bayang di Balik Tahta.