sekuel Elara: Bayang di Balik Tahta.
![]() |
Baca juga : Bayangan di Balik Waktu |
BAB 1 – Hening yang Meresahkan
Langit Majapahit berwarna jingga keemasan saat Elara berdiri di puncak balairung istana. Angin lembut menerpa rambutnya yang kini sedikit lebih panjang. Ia menghirup udara pagi itu dalam-dalam, mencoba merasa damai—namun perasaannya justru berkata sebaliknya.
“Ada yang aneh dengan pagi ini,” gumamnya pelan.
Di bawahnya, kehidupan berjalan seperti biasa: pedagang membuka lapak, suara genderang latihan prajurit terdengar dari kejauhan, dan aroma rempah dari dapur istana tercium samar. Tapi bagi Elara, semuanya terasa... terlalu tenang.
Lintang, yang kini menjadi pendampingnya dalam banyak urusan, datang membawakan gulungan naskah. “Ada laporan dari Patih Reksawira. Gerakan dagang dari timur mendadak terhenti.”
“Apakah karena cuaca?” tanya Elara sambil membuka gulungan itu.
Lintang menggeleng. “Tidak. Mereka bilang... langit malam berubah warna. Seperti cahaya aurora. Dan ada suara gemuruh dari dalam tanah.”
Elara langsung menatap ke kejauhan. Gejala itu... terlalu familiar.
Ia kembali ke ruang kerjanya dan membuka peti kecil dari logam satu dari sedikit benda yang ikut terbawa dari tahun 2025. Di dalamnya, artefak waktu sebuah jam tangan digital yang mati, kini menunjukkan kilatan samar.
“Tidak mungkin...” bisiknya. “Itu... aktif lagi?”
Kilatan itu pernah muncul sekali beberapa hari sebelum ia tiba di Majapahit dulu. Jika itu terjadi lagi... apakah akan ada sesuatu atau seseorang yang datang?
“Elara?” Lintang memandangnya khawatir.
“Kita harus bersiap. Ada kemungkinan... waktu sedang retak lagi,” jawab Elara lirih. “Dan kita tak tahu apa yang akan keluar dari celah itu.”
Lintang menggenggam tangan Elara. “Apa pun itu, aku akan bersamamu. Lagi dan lagi.”
Mereka berdua saling menatap, tapi dalam diam, bayangan dari masa depan mulai menyelinap masuk ke masa kini membawa badai yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Dan di sebuah gua gelap jauh dari ibu kota, sebuah cahaya asing mulai menyala... dan langkah seseorang menapaki tanah Majapahit untuk pertama kalinya.
BAB 2 – Orang Kedua dari Masa Depan
Di sebuah hutan lebat di pinggiran timur Majapahit, suara gemerisik ranting terdengar pelan, disusul napas terengah-engah seseorang. Seorang pemuda tergeletak di tanah, pakaiannya sobek, wajahnya kotor, dan matanya menatap langit yang asing.
“Ini... bukan Bali. Ini bukan... mana pun yang aku kenal...” ucapnya, pelan dan bingung.
Namanya adalah Damar Prakoso, seorang mahasiswa teknik elektro dari tahun 2025, sama seperti Elara dahulu dan kini, seperti Elara, ia juga menjadi penjelajah waktu tanpa sengaja.
“Sial... terakhir aku ada di ruang server kampus... terus... ada suara ledakan itu... dan cahaya putih...”
Ia berdiri tertatih, mencoba memahami sekeliling. Suara serangga dan burung terdengar asing. Pakaian modernnya kini robek, tas kecil berisi gadget darurat tersisa sebagian rusak, sebagian masih bisa digunakan.
“Kamera rusak... HP? Mati. Power bank? 5%... Bagus,” gerutunya. “Harus cari air dan tempat aman.”
Sementara itu, di istana, Elara menerima kabar dari para petani di timur yang melihat ‘bintang jatuh’ jatuh ke tanah semalam. Ia langsung tahu: dia tidak lagi sendirian dari masa depan.
Elara dan Lintang menunggang kuda menuju lokasi yang disebutkan. “Kau yakin ini orang?” tanya Lintang.
“Ya,” jawab Elara tegas. “Aku merasa ada sesuatu... seperti gemuruh dalam darahku. Sesuatu telah berubah.”
Mereka tiba di sebuah lembah, menemukan jejak-jejak terbakar ringan di rerumputan. Tak lama kemudian, suara gesekan terdengar dan Elara berlari ke arah semak.
“WOI! SIAPA KALIAN?!” teriak Damar, sambil mengacungkan potongan logam tajam.
Elara berdiri terdiam. Wajahnya pucat. Lintang menyiapkan kerisnya, tapi Elara mengangkat tangan. “Tunggu... aku kenal seragam itu...”
Damar menatap Elara dengan mata membelalak. “Kau... pakai bahasa Indonesia?” suaranya tercekat.
“Aku juga dari masa depan,” jawab Elara lirih. “Selamat datang di Majapahit, Damar.”
Dalam diam, Damar menjatuhkan logamnya. “Aku... aku pikir aku gila. Tapi kalau kau juga... berarti ada alasan kita ada di sini.”
BAB 3 – Bayang Konspirasi
Hari-hari berlalu sejak Damar ditemukan. Elara membawanya secara rahasia ke sebuah rumah kecil di luar istana tempat aman yang dulu dibangun untuk pengamatan bintang. Hanya Lintang dan satu penjaga terpercaya yang tahu keberadaannya.
“Jadi kau yakin… ini Majapahit? Serius?” tanya Damar sambil memandangi peta tua di dinding.
Elara mengangguk. “Lebih dari itu. Aku sudah tinggal di sini hampir setahun. Ini bukan sekadar sejarah. Ini hidup.”
“Dan kau… dianggap semacam penasihat raja?” Damar tertawa kecut. “Hebat juga.”
Tapi di dalam hatinya, ada nada sinis yang tumbuh. Mengapa Elara tak pernah mencoba pulang? Atau malah… menikmati kuasa di sini?
Sementara itu, di dalam istana, suara-suara sumbang mulai terdengar. Beberapa bangsawan mulai membicarakan ketergantungan raja terhadap Elara, yang dianggap "berpikir seperti orang asing".
Mahapatih Gajah Mada yang dulu mendukung Elara, kini mulai dihujani desakan untuk bertindak tegas. “Jika ia bukan bagian dari masa ini, bagaimana bisa kita percayai niatnya sepenuhnya?”
Dalam kegelapan malam, seorang bangsawan bernama Arya Tunggadewa menemui seseorang di ruang rahasia bawah tanah istana. “Kau bilang kau juga dari waktu mereka?”
Damar duduk di bayangan api obor, senyumnya tipis. “Aku hanya ingin memperbaiki kesalahan yang satu lagi itu buat.”
“Apa kau bisa mengungkap kelemahan Elara?” tanya Arya pelan.
“Dia terlalu percaya pada cinta dan harapan. Ia pikir semua bisa berubah dengan ilmu pengetahuan. Tapi dunia ini... hanya tunduk pada kekuatan.”
Damar tidak benar-benar jahat. Ia hanya terhimpit oleh tekanan hilang arah di masa yang bukan miliknya. Tapi kini, ia merasa bisa menguasai sejarah… kalau tahu cara bermain.
Sementara Elara sibuk merancang sistem irigasi baru bersama petani desa, persekongkolan diam-diam mengakar. Rencana untuk menjatuhkannya mulai dijalankan: skandal, sabotase, dan hasutan.
Dan suatu malam, Lintang membawa berita buruk. “Seseorang menjual salinan rencana pertahananmu ke musuh. Ada pengkhianat.”
Elara terdiam. Jantungnya berdebar. “Dan aku tahu... siapa satu-satunya yang bisa mengaksesnya: Damar.”
BAB 4 – Awan Hitam di Atas Majapahit
Pagi itu langit Majapahit mendung, awan hitam menggantung berat seolah mencerminkan apa yang terjadi di dalam istana. Elara berdiri di teras rumahnya, memandang jauh ke arah timur. Ia tahu badai, baik secara harfiah maupun politis, tengah mendekat.
“Damar belum kembali,” kata Lintang, berdiri di sampingnya dengan wajah cemas.
“Dia sedang memilih sisi,” jawab Elara lirih. “Dan setiap detik ia menunda... membuatku kehilangan harapan bahwa dia akan memilih yang benar.”
Di sisi lain kota, Damar berada di dalam aula rahasia, mempresentasikan rencana kepada Arya Tunggadewa dan beberapa bangsawan yang mulai berpaling dari Raja Hayam Wuruk.
“Elara membangun struktur kekuasaan yang tersembunyi di balik kata-kata indah. Jika kita biarkan ia terus menguasai ilmu dan strategi, kita semua akan menjadi bayangan,” ucap Damar penuh keyakinan.
“Dan kau?” tanya Arya. “Kau ingin jadi apa?”
“Penjaga sejarah. Atau... pengarah sejarah,” jawab Damar, suaranya dingin namun tajam.
Sementara itu, Raja Hayam Wuruk memanggil Elara dalam sidang tertutup. “Ada desas-desus bahwa engkau menyimpan teknologi yang tidak kau bagi dengan istana.”
Elara tak menyangkal. “Aku menyimpan hanya yang perlu. Karena tidak semua yang kutahu cocok untuk zaman ini. Sebagian bisa menghancurkan peradaban, bukan membangunnya.”
Gajah Mada memandangi Elara dengan sorot mata tajam. “Bila kau memilih apa yang dibagi dan disimpan, bukankah itu sudah seperti bermain dewa?”
Elara menatap tajam ke arah Mahapatih. “Aku tidak ingin menjadi dewa. Aku hanya mencoba menyelamatkan dunia yang tak seharusnya hancur.”
Di malam yang sama, suara ledakan terdengar dari sisi timur istana. Api membubung tinggi—salah satu menara pengintai terbakar. Panik menyebar.
Lintang datang berlari ke kamar Elara. “Itu bukan kecelakaan! Ada sabotase!”
Elara berdiri, mengambil mantel dan menggenggam satu alat dari masa depan yang masih bisa berfungsi: kacamata night vision. “Kalau ini perang yang mereka inginkan... kita beri mereka sesuatu yang tak akan pernah mereka lupakan.”
Di balik awan hitam, gemuruh guntur terdengar. Dan untuk pertama kalinya sejak ia tiba, Elara tahu... takdir sejarah Majapahit benar-benar telah menyimpang.
BAB 5 – Pemberontakan di Balik Gerbang Kota
Suara genderang perang menggetarkan dinding kota. Di luar Gerbang Wringinlawang, ratusan pasukan dari wilayah sekutu Arya Tunggadewa berkumpul. Mereka berseragam Majapahit, tapi sikap mereka menunjukkan niat pemberontakan.
Di dalam istana, Elara berdiri di depan meja strategi, peta terbentang luas. “Mereka menyamar sebagai pasukan latihan dari Lamajang, tapi sebenarnya… pasukan pribadi Arya.”
Gajah Mada mengangguk. “Aku pernah mencium niat ini sejak lama, tapi tak ada bukti.” Ia melirik Elara, ragu. “Dan kini, ini menjadi perang yang kau harus hadapi juga.”
Lintang masuk terburu-buru, rambutnya basah keringat. “Damar ada di antara mereka! Aku melihatnya memberi perintah langsung ke komandan pasukan.”
Elara terdiam. Antara marah dan kecewa. “Dia bukan sekadar tersesat… dia memilih jalannya.”
Sementara itu, di tenda komando pemberontak, Damar berdiri tegak. Matanya tajam, jubahnya berkibar ditiup angin malam. “Kita tidak membakar Majapahit. Kita menyelamatkannya dari ketergantungan pada orang asing yang membawa ilmu gaib dari langit.”
“Apa kau benar yakin pada ini semua?” tanya salah satu pengikutnya.
“Aku yakin pada masa depan,” jawab Damar tegas. “Dan aku tak akan membiarkannya diatur oleh seseorang yang menganggap kita belum siap.”
Saat fajar menyingsing, pertempuran dimulai. Elara telah mengatur strategi pertahanan: jebakan parit, sistem sinyal optik, dan senjata lontar dengan mekanisme pegas modern.
“Majapahit tidak akan jatuh hari ini!” teriaknya kepada para prajurit yang kini percaya padanya lebih dari sebelumnya.
Di tengah kabut, dua mata bertemu: Elara dan Damar. Keduanya saling memandang dari kejauhan, sama-sama tahu bahwa mereka sedang bertarung bukan hanya demi Majapahit, tapi demi keyakinan mereka sendiri.
“Hentikan ini, Damar!” teriak Elara dari atas menara, suaranya menembus dentang senjata. “Kita bisa perbaiki semua ini bersama!”
Tapi Damar membalas, suaranya tajam: “Kau sudah memilih jalanmu. Sekarang aku juga telah memilih.”
Sebuah ledakan menghantam gerbang utama. Pasukan pemberontak berhasil menembus celah, tapi di sana mereka terjebak dalam desain pertahanan Elara—pintu berlapis, lorong sempit, dan lubang jebakan.
Di ujung hari, pemberontakan tak sepenuhnya berhasil, namun kota telah rusak, banyak korban jatuh… dan hubungan dua pemuda dari masa depan kini benar-benar retak.
BAB 6 – Dua Bayangan dari Masa Depan
Malam itu langit Majapahit tidak bertabur bintang. Kabut tipis menyelimuti tanah yang masih berbau darah dan asap. Elara duduk di teras luar rumahnya, sendirian. Tangan kirinya terluka, perban lusuh membalutnya.
“Kau harus istirahat,” ujar Lintang pelan, berdiri di ambang pintu. “Luka itu bisa membusuk jika tidak kau rawat dengan benar.”
Elara menggeleng lemah. “Bukan itu yang sakit, Lintang…” suaranya nyaris seperti bisikan. “Yang sakit… adalah pengkhianatan.”
Di sisi lain, Damar juga meringkuk di balik reruntuhan markas pemberontaknya yang gagal. Beberapa pengikutnya ditangkap, sisanya melarikan diri. Tapi ia tetap diam, tatapannya kosong ke arah api unggun kecil.
Seorang wanita tua datang diam-diam membawa makanan. “Kau salah langkah, nak. Bukan Elara musuhmu. Kau cuma takut dia lebih benar dari kau.”
Damar menatap makanan itu, lalu mengalihkan pandang. “Aku tidak takut dia benar… aku takut aku salah.”
Hari berikutnya, Elara dipanggil kembali ke istana oleh Raja Hayam Wuruk. Ruang utama yang biasanya megah kini suram, tirai disibakkan, dan wajah raja tampak jauh lebih tua.
“Engkau telah menyelamatkan kota,” kata Raja perlahan, “tapi apa kau bisa menyelamatkan hati manusia yang telah retak?”
“Jika aku bisa, Yang Mulia,” jawab Elara, “maka sejarah tak akan pernah mengenal perang.”
Di malam yang sama, Elara pergi sendiri ke lokasi rahasia: tempat pertama kali ia bertemu Damar di masa ini. Sebuah kuil tua di pinggiran hutan, penuh pahatan waktu.
Dan di sana, berdiri sosok yang ia kenal dengan sangat baik.
“Kau datang,” kata Elara, menahan emosinya.
“Kita butuh bicara,” jawab Damar, suaranya berat. “Bukan sebagai lawan. Tapi sebagai dua manusia yang tersesat di zaman yang bukan milik mereka.”
Mereka duduk berhadapan, di antara patung-patung batu yang diam menyaksikan. Pembicaraan itu lama, getir, jujur, penuh luka dan kerinduan pada masa yang sudah hilang. Damar menangis. Elara pun nyaris tak bisa menahan air matanya.
Dan di akhir malam itu, dua bayangan masa depan yang terbelah… mulai menemukan kemungkinan baru: bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk memperbaiki jalannya.
BAB 7 – Tanda dari Langit
Saat fajar menyingsing di atas tanah Majapahit, suara gemuruh terdengar dari langit. Bukan petir. Bukan guntur. Tapi suara aneh… seperti mesin raksasa yang mengoyak cakrawala.
Elara terbangun dengan jantung berdegup kencang. Ia berlari ke luar rumah, memandangi langit. Di sana, terlihat kilatan cahaya… dan sebuah benda bercahaya jatuh dengan kecepatan tinggi ke hutan sebelah barat.
“Itu… mustahil,” gumamnya. “Itu seperti—seperti modul transdimensi... dari masa depanku!”
Di tempat lain, Gajah Mada juga menyaksikan cahaya itu. Ia menyipitkan mata dan bergumam, “Langit telah bicara. Ini bukan hal biasa.”
Kabar benda jatuh itu menyebar cepat. Penduduk menyebutnya “Tanda dari para Dewa.” Sementara para pendeta memperingatkan bahwa itu bisa jadi hukuman dari langit.
Tapi Elara tahu: itu bukan kutukan. Itu adalah kunci. Dan bisa jadi… jalan pulang.
“Kau mau kembali ke masa depan?” tanya Lintang ketika Elara menyiapkan peralatannya untuk masuk ke hutan.
Elara terdiam lama. “Aku tak yakin. Tapi jika benda itu benar dari masa depanku, bisa saja ada informasi… atau bahkan ancaman yang mengikuti.”
Damar, yang mendengar kabar itu dari pengintainya, juga menuju lokasi jatuhnya benda misterius itu. Ia tak bisa membiarkan Elara menghadapi semua sendiri. Atau mungkin… ia ingin melihat kemungkinan lain.
Mereka tiba hampir bersamaan, saling menatap dalam diam di tepi kawah kecil tempat kapsul logam itu tertanam.
“Kau tak akan membukanya sendirian, kan?” tanya Damar.
“Kau di sini untuk membantu… atau menghentikan?” balas Elara dengan nada lembut tapi waspada.
“Membantu. Untuk kali ini,” jawab Damar. “Karena aku ingin tahu… apakah ada takdir lain untuk kita.”
Bersama-sama mereka membuka modul itu. Di dalamnya… bukan hanya teknologi, tapi juga pesan holografik dari masa depan. Wajah seseorang muncul—seorang wanita tua yang ternyata adalah… Elara, di masa depan.
“Jika kau melihat ini,” kata Elara tua dalam hologram itu, “maka sejarah telah menyimpang. Kalian harus memilih—memperbaiki sejarah… atau membiarkannya hancur lebih cepat. Masa depan kini bergantung pada masa lalu.”
BAB 8 – Dua Jalan Takdir
Hologram itu masih memancar cahaya biru kehijauan saat Elara dan Damar berdiri terpaku. Wajah Elara tua di dalam modul berbicara dengan kesadaran dingin—tak ada kelembutan, hanya kebenaran keras yang tak bisa dihindari.
“Sejarah telah melenceng. Di masa depan, Majapahit tidak hanya hancur karena perang dalam negeri, tapi karena virus teknologi yang terbawa dari masa depan... oleh kalian. Olehku.”
Damar mengernyit. “Apa maksudnya? Virus teknologi?”
Elara mengambil napas panjang. “Modul ini... bukan hanya mesin. Ia menyimpan seluruh rekam data dari era kita. Termasuk teknologi yang tak semestinya diketahui di masa ini. Kalau jatuh ke tangan yang salah…”
Damar menyelesaikan kalimatnya, wajahnya murung. “…Maka masa depan bisa rusak. Atau... justru mempercepat kejatuhan masa lalu.”
Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah tergesa dari balik semak. Tiga pengintai Majapahit muncul, mata mereka terbelalak melihat kapsul bercahaya. “Dewa-dewa... benda ini hidup!”
Elara bergerak cepat, menutup panel modul dengan tangan. “Ini tidak untuk kalian,” ujarnya tenang namun penuh tekanan. “Kalian belum siap.”
Tapi para pengintai telah melihat cukup. Salah satunya melarikan diri kembali ke kota. “Kita harus kejar dia!” teriak Damar.
Mereka berpacu melintasi hutan, ranting-ranting mencambuk wajah dan lengan, tanah berlumpur licin di bawah kaki. Elara berlari di depan, napasnya terengah, pikirannya berpacu lebih cepat dari tubuhnya.
“Jika dia melaporkan ini ke pihak istana atau… lebih buruk… ke para pendeta konservatif, mereka akan menghancurkan modul itu. Atau menyembahnya!” seru Elara.
Mereka berhasil menghadang sang pengintai di dekat sungai kecil. Tapi dia sudah sempat menyalakan sinyal api dari kantong kecil. Api merah meledak ke langit—sebuah sistem komunikasi kuno yang sangat efektif.
Damar tampak frustrasi. “Sekarang semua akan tahu... Tak ada jalan kembali!”
Elara menunduk, lalu berkata lirih. “Mungkin ini memang jalan kita. Mungkin… kita harus membuat pilihan sekarang, Damar. Gunakan teknologi ini… atau hancurkan semuanya.”
Damar menatapnya tajam. “Gunakan untuk menyelamatkan Majapahit... atau tinggalkan masa ini dalam kehancuran alami?”
Hening. Angin berhenti seolah mendengar mereka. Dua pemuda dari masa depan, berdiri di tengah sejarah, masing-masing dengan luka, harapan, dan pilihan yang bisa membentuk dunia. Tapi hanya satu jalan yang bisa diambil...
BAB 9 – Sidang Agung dan Kebenaran Terbuka
Langit Majapahit berwarna tembaga saat para penjaga istana memukul gong raksasa tanda dimulainya Sidang Agung. Semua bangsawan, patih, juru tulis, panglima, dan pendeta hadir. Namun hari ini… bukan hanya keputusan politik yang dibahas, melainkan nasib sebuah peradaban.
Raja Hayam Wuruk duduk di singgasana emas, bermahkotakan batik berbordir candra dimuka. Di sisinya berdiri Mahapatih Gajah Mada yang kini mulai tampak lelah, namun sorot matanya masih tajam.
“Panggil Elara dan Damar,” titah Sang Raja.
Dua pemuda dari masa depan itu masuk dengan kepala tegak. Damar mengenakan pakaian pelindung kulit khas pejuang hutan, sementara Elara masih dengan jubah panjang yang telah compang-camping. Di tangannya, ia membawa modul masa depan—dibungkus kain agar tak mencolok.
“Kalian membawa sesuatu dari langit,” ujar seorang pendeta tua dengan nada mencurigakan. “Benarkah itu titisan dewa… atau kutukan iblis?”
Suasana memanas. Sebagian bangsawan terlihat gelisah, sementara yang lain diam menanti. Elara menatap sekeliling, lalu berkata lantang, “Yang kami bawa bukan sihir. Bukan ramalan. Tapi kebenaran dari masa depan.”
Ia membuka kain itu perlahan, memperlihatkan modul. Sebuah suara elektronik yang lembut muncul, memproyeksikan peta tiga dimensi wilayah Nusantara… dan bagaimana Majapahit akan runtuh, jika sejarah dibiarkan berjalan tanpa intervensi.
“Ini adalah gambaran masa depan kalian,” ujar Elara. “Perang Paregreg, wabah, pengkhianatan, dan penjajahan... Semuanya tercatat dalam sejarahku.”
Terdengar bisik-bisik. Seorang pejabat tinggi berdiri, memukul tongkatnya. “Mustahil! Takdir ditulis oleh para dewa, bukan oleh mesin kalian!”
Damar maju, menatap mereka semua dengan tenang. “Aku pun dulu berpikir begitu. Tapi aku telah melihat... bagaimana teknologi ini bisa menyelamatkan desa dari kelaparan. Menyembuhkan luka. Menyatukan orang yang tercerai. Bukan untuk menguasai, tapi untuk memperbaiki.”
Raja Hayam Wuruk menunduk dalam-dalam. “Jika kalian benar… apakah itu berarti aku adalah raja terakhir yang membawa kejayaan?”
Elara melangkah ke depan. “Tidak, Yang Mulia. Justru Andalah yang bisa mengubah arah sejarah… jika berani mengambil risiko untuk berbuat lebih dari yang ditulis zaman.”
Di antara para hadirin, Gajah Mada tiba-tiba berdiri. “Aku pernah menganggapmu ancaman, Elara. Tapi kini… aku melihatmu sebagai peluang terakhir Majapahit. Tapi katakan padaku—apa jaminanmu bahwa bantuanmu tak akan membawa kehancuran lebih cepat?”
“Tak ada jaminan,” jawab Elara lirih. “Hanya pilihan. Dan pilihan itulah yang membuat kita manusia.”
Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Raja. Dan akhirnya, dengan suara rendah namun penuh wibawa, Hayam Wuruk berkata, “Majapahit... memilih harapan.”
BAB 10 – Rencana Rahasia di Balik Bayang-Bayang
Malam turun di Trowulan, dan kota megah Majapahit tampak sepi seperti menahan napas. Tapi di balik dinding bata merah dan taman kerajaan yang sunyi, rencana besar sedang disusun. Rencana yang belum pernah terpikirkan oleh siapa pun di abad itu.
Elara, Damar, dan Mahapatih Gajah Mada berkumpul dalam ruangan kecil tersembunyi di balik perbendaharaan. Dindingnya dipenuhi peta, gambaran logistik, dan sketsa arsitektur benteng baru yang Elara rancang dengan prinsip masa depan.
“Jika kita menempatkan alat pemantau di perbukitan barat, kita bisa melihat gerakan Daha dua hari sebelum mereka menyerang,” jelas Elara sambil menunjuk pada miniatur. “Dan jika kita menyebarkan sinyal cahaya seperti Morse, kita bisa menyampaikan peringatan secara cepat.”
Gajah Mada mengangguk pelan, terlihat kagum meski belum sepenuhnya paham cara kerjanya. “Apa pun itu... tampaknya sangat teratur. Tapi ingat, musuh juga bisa menyusup dengan cara halus.”
Di tempat lain, seorang bangsawan bernama Rakaseta mengintip dari balik kain penutup jendela. Ia telah lama tidak suka dengan kehadiran Elara. “Ilmu dari masa depan… akan menghancurkan tatanan kita,” gumamnya. “Majapahit milik para leluhur, bukan makhluk luar waktu.”
Sementara itu, Damar bertugas melatih para pemuda istana dengan teknik bela diri modern. Ia menciptakan barikade, simulasi serangan, bahkan teknik pengintaian menggunakan cermin dan pantulan cahaya. Anak-anak muda kagum — mereka belum pernah melihat latihan seperti ini.
“Kau yakin mereka bisa memahami semua ini dalam waktu singkat?” tanya Elara saat menyaksikan latihan.
Damar tersenyum kecil. “Mereka cepat belajar… Seolah memang menunggu hal seperti ini sepanjang hidup mereka.”
Di sudut ruang pelatihan, seorang prajurit muda yang bernama Suta tampak terlalu tertarik pada modul Elara. Ia mengajukan banyak pertanyaan — terlalu banyak. Dan malam itu, Suta diam-diam menyelinap ke tempat penyimpanan teknologi.
Ketika Elara mengetahui pencurian itu, ia segera memeriksa modul utama. Sebagian data telah dikloning—bukan hanya tentang sejarah, tapi juga sistem senjata dari masa depan.
“Ini tidak mungkin kerja Suta sendiri,” kata Elara pada Damar. “Ada seseorang yang mengendalikan dia. Dan aku tahu siapa.”
Mereka pergi ke ruangan Raja. Hayam Wuruk terkejut namun langsung paham ketika nama Rakaseta disebut. “Dia keturunan garis lawas, yang percaya bahwa segala bentuk perubahan adalah penghinaan bagi leluhur.”
Elara merasa waktunya menipis. “Jika modul jatuh ke tangan Rakaseta… dia bisa membuat senjata yang tak bisa dilawan oleh siapa pun di abad ini.”
Mahapatih menatap mereka dalam-dalam. “Kalau begitu, kita harus bergerak. Malam ini juga. Kita rebut kembali teknologi kalian… sebelum digunakan untuk menyulut perang yang lebih kelam dari yang pernah terjadi.”
Dan malam itu, mereka bertiga — Elara, Damar, dan Gajah Mada — menyusup dalam kegelapan ke markas tersembunyi Rakaseta, membawa harapan terakhir Majapahit… dan nasib waktu itu sendiri.
BAB 11 – Pengepungan dalam Senyap
Langit malam Majapahit dibungkam mendung kelabu. Tak ada cahaya bulan, hanya desir angin dan suara langkah senyap tiga sosok yang melintasi lorong gelap di luar istana. Elara di depan, Gajah Mada di tengah, dan Damar mengawal dari belakang.
“Rakaseta menyembunyikan pusat aktivitasnya di bawah gudang rempah milik keluarganya. Terhubung langsung ke terowongan tua peninggalan masa Singasari,” bisik Gajah Mada.
Elara mengangguk, lalu mengaktifkan perangkat kecil seperti batu giok di telapak tangannya. Ia menekan permukaan, dan muncul peta terowongan bawah tanah—kilatan cahaya biru lembut menari di udara.
“Kita masuk lewat saluran selatan. Ada penjaga bersenjata, tapi aku punya kejutan untuk mereka,” ucap Damar sambil mengeluarkan benda kecil berbentuk silinder yang ia modifikasi jadi granat asap dari bahan herbal lokal.
Begitu mereka mendekati pintu masuk, dua penjaga bersenjatakan tombak melangkah maju. Damar melempar silinder, dan dalam sekejap asap pekat membanjiri lorong. Dalam kekacauan itu, mereka melumpuhkan para penjaga tanpa suara.
Mereka turun ke bawah tanah. Aroma lembab dan suara tetesan air menyambut, namun di ujung lorong, terlihat cahaya oranye dari lentera minyak. Suara logam beradu dan desah bisik-bisik terdengar samar.
Di dalam ruangan utama, Rakaseta berdiri di depan proyektor data. “Luar biasa,” katanya pada dirinya sendiri. “Dengan sedikit adaptasi, teknologi ini bisa digunakan untuk menciptakan senjata... atau sistem pengawasan kerajaan.”
Di sampingnya, Suta tampak ragu. “Tapi... bukankah ini... salah? Elara bilang teknologi ini untuk melindungi... bukan menguasai.”
“Bocah dungu,” bentak Rakaseta. “Kau kira dunia bisa bertahan tanpa kekuasaan? Majapahit butuh pemimpin sejati. Bukan boneka sejarah.”
Pada saat itulah Elara dan timnya masuk menerobos. “Rakaseta, lepaskan modul itu,” kata Elara dengan tenang, tapi matanya menyala penuh kemarahan.
Rakaseta tertawa. “Kau pikir kau bisa menaklukkan sejarah hanya dengan mesin? Aku akan mengubah masa depan dengan tanganku sendiri!”
Ia mencabut keris dari pinggangnya dan menekan sebuah tombol. Seketika, dinding belakang terbuka, memperlihatkan empat penjaga pribadi bersenjata penuh. Tapi Elara sudah siap.
Dengan cepat, ia menekan tombol darurat di pergelangan tangannya. Sebuah kilatan cahaya memancar, membuat penjaga bingung dan sementara lumpuh oleh gelombang sonik rendah.
Damar melompat ke depan dan menghadang Rakaseta. “Cukup! Kau ingin mengulang sejarah kelam hanya demi kekuasaanmu!” Mereka berduel—keris melawan tongkat taktis yang dibawa Damar.
Akhirnya, dengan satu gerakan cepat dan tegas, Gajah Mada menghentikan semuanya. Ia menjatuhkan Rakaseta dengan pukulan keras ke pelipis. “Pengkhianat yang menyalahgunakan ilmu... lebih berbahaya daripada seribu musuh dari luar.”
BAB 12 – Langit Merah di Timur
Fajar belum menyingsing ketika seorang prajurit berlari tergesa ke istana. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat, dan suara gemetar. “Tuanku... pasukan Daha... telah melewati Sungai Brantas. Mereka datang... ribuan jumlahnya.”
Dalam waktu satu jam, ruang strategis dipenuhi oleh suara perdebatan. “Kita harus menyerang duluan!” teriak seorang senapati. “Tidak! Kita bertahan di sisi barat!” timpal yang lain. Tapi semua mata akhirnya tertuju pada Elara.
Elara berdiri perlahan. “Kita tak bisa menggunakan cara lama untuk menghadapi musuh baru. Kita harus mengendalikan pergerakan mereka, bukan hanya menahannya. Kita buat mereka bingung... takut... dan terpecah.”
Ia memaparkan rencananya: jebakan medan, sinyal optik, dan pasukan cepat yang bergerak dengan pola tak terduga. “Kita bukan hanya berperang dengan pedang, tapi dengan pikiran,” ucapnya tenang.
Raja Hayam Wuruk mendengarkan dengan serius. “Kalau kau gagal, Elara, Majapahit akan runtuh. Tapi kalau berhasil... kau akan menyelamatkan lebih dari sekadar kerajaan.”
Di medan latihan, Damar memimpin pasukan bayangan. Mereka dilatih dengan taktik gerilya yang belum pernah dikenal: bersembunyi di pepohonan, menyerang dari dalam kabut, lalu menghilang.
Elara menyiapkan pusat kendali darurat, lengkap dengan peralatan sederhana yang ia rakit dari barang-barang lokal — termasuk sistem komunikasi berbasis pantulan cahaya dan suara tabuhan khas.
Saat matahari mulai memerah di timur, langit seperti menyala — bukan karena mentari, tapi karena asap pembakaran desa-desa di perbatasan. Daha sudah dekat.
Elara berdiri di atas menara pantau. “Ini bukan hanya soal kemenangan,” gumamnya, “ini soal apakah masa depan pantas dipercaya oleh masa lalu.”
Malam itu, seluruh kota diterangi obor. Di alun-alun, rakyat Majapahit berkumpul. Mereka menyanyikan kidung doa perlindungan. Tak ada yang tidur. Tak ada yang lari. Semua bertahan.
Tiba-tiba, Damar mendekat. “Elara... pasukan musuh terpecah. Mereka bingung oleh sinyal palsu yang kita kirim. Tapi ada satu kelompok besar menuju istana langsung.”
“Itulah inti mereka,” ucap Elara, matanya menyipit. “Kita serang sebelum mereka sampai gerbang. Kali ini... kita yang menyergap mereka.”
Pasukan elit Majapahit bergerak di bawah bintang. Dipandu oleh kode cahaya dari menara, mereka menyelinap ke sisi timur. Saat pasukan Daha melintasi lembah, mereka dikejutkan oleh serangan dari tiga arah sekaligus.
Teriakan perang memenuhi udara. Panah menyambar, asap mengepul, dan suara ledakan kecil dari alat racikan Elara menggemuruhkan bukit. Pasukan Daha panik, tak siap menghadapi strategi "tak terlihat".
Saat langit mulai terang, Elara berdiri di atas tebing kecil, menatap pasukan musuh yang mundur kacau. Tapi hatinya berat. “Perang ini baru awal. Masih banyak luka... dan masih ada bayang-bayang yang belum terlihat.”
BAB 13 – Darah dan Takdir
Kemenangan di lembah timur belum sempat dirayakan. Gajah Mada, yang memimpin pasukan di utara, kembali dalam kondisi terluka parah. Wajahnya kelam. “Kita dikhianati… dari dalam.”
Di ruang pertemuan, Elara memutar kembali rekaman suara dari perangkat kecil yang ia sembunyikan di ruang sidang rahasia. Suara Rakaseta terdengar… berbicara dengan seseorang: “Jika istana jatuh, aku yang akan membangunnya kembali atas nama tatanan baru.”
“Tak mungkin… Rakaseta sudah ditangkap,” ujar Damar. Tapi Elara menunjukkan bukti: surat yang dicuri dari lemari kayu di ruang istana. “Dia masih punya pengikut… bahkan di dalam dewan kerajaan.”
Malam itu, Elara menatap api unggun sendirian. “Masa depan... tidak seharusnya aku ubah,” bisiknya. “Tapi kalau ini bisa menyelamatkan mereka…”
Saat Elara memutuskan untuk menghadapi pengkhianat sendiri, Suta datang menghampiri. “Aku tahu siapa penghubung Rakaseta di istana,” katanya, matanya merah. “Ayahku… dia salah satunya.”
Elara menggenggam bahu Suta. “Kita tidak bisa memilih keluarga, tapi kita bisa memilih berdiri di sisi yang benar.” Suta menunduk. “Aku akan membantumu... sampai akhir.”
Mereka menyusun rencana rahasia: menggiring para pengkhianat ke satu tempat. Sebuah jamuan pertemuan kerajaan digelar sebagai jebakan. Elara memanipulasi pencahayaan dan suara menggunakan perangkat tersembunyi.
Ketika Rakaseta muncul dengan pasukan bayangan, istana telah disiapkan. Para pengawal telah disusupkan, dan semua jalan keluar dikunci.
Terjadi baku hantam sengit di aula istana. Suta bertarung langsung dengan ayahnya sendiri, yang kini sudah dipenuhi dendam dan ambisi. “Kau pilih dia daripada darah dagingmu sendiri?” teriak ayahnya.
“Aku memilih masa depan yang lebih baik,” jawab Suta sebelum menjatuhkan sang ayah dengan air mata di pipi.
Rakaseta mencoba melarikan diri, tetapi Elara mencegatnya di halaman utama. “Aku bukan penyelamat… tapi aku tak akan membiarkan kau merusak segalanya.”
Mereka bertarung. Keris Rakaseta menari, tapi Elara, dengan alat kejut sederhana yang ia rakit dari bahan lokal, melumpuhkannya tepat saat Rakaseta hendak menusuk dari belakang.
Gajah Mada datang, berdiri di sisi Elara meski tubuhnya masih berdarah. “Kau bawa terang dari masa depan... dan cahaya itu kini menyelamatkan Majapahit.”
Rakaseta ditangkap dan diasingkan ke pulau terpencil. Dewan kerajaan dibentuk ulang, dan pengkhianat lainnya dihukum.
Namun Elara tahu… waktu untuknya semakin sedikit. Modul waktu di pergelangan tangannya mulai berkedip—tandanya waktu kian mendekat untuk kembali.
BAB 14 – Gerbang Waktu
Di tengah taman kerajaan, Elara berdiri di bawah pohon beringin kuno. Damar, Suta, dan Gajah Mada berdiri bersamanya. “Kau akan kembali ke tempatmu?” tanya Damar lirih.
“Modulku rusak. Tapi… jika ini aktif, kemungkinan waktuku di sini hampir habis,” ujar Elara, memandangi langit biru yang dulu asing, kini penuh makna.
Suta tampak bingung. “Lalu... kau tak bisa memilih tetap tinggal?”
Elara tersenyum. “Kalau aku tetap, mungkin sejarah berubah lebih besar. Mungkin bukan Majapahit saja yang terpengaruh… mungkin dunia.”
Gajah Mada menatapnya dalam. “Kau datang sebagai asing, tapi kau ajarkan kami cara melihat dunia bukan dengan ketakutan... tapi dengan harapan.”
Malam itu, seluruh istana menggelar upacara perpisahan diam-diam. Rakyat tak tahu, tapi para petinggi tahu: pemuda itu tak akan lama lagi di bumi Majapahit.
Elara memberi Damar sebuah buku kecil—catatan tangannya tentang teknologi masa depan. “Gunakan ini dengan bijak. Jangan buat perang. Buatlah cahaya.”
Kepada Suta, ia berikan perangkat kecil berbentuk batu giok. “Ini... bisa simpan pesan. Tulis harapanmu. Masa depan akan mendengarnya.”
Dan kepada Gajah Mada, hanya satu kata ia berikan: “Terima kasih.” Disertai hormat ala Majapahit... dan ala masa depan.
Pagi harinya, sinar aneh membelah langit. Modul di tangan Elara menyala biru terang.
“Waktuku sudah habis,” ucapnya. Angin berhembus keras. Tanah berguncang ringan. Cahaya mulai membungkus tubuhnya.
“ELARA!” Damar dan Suta berteriak bersamaan. Tapi Elara tersenyum. “Jaga dunia ini... untukku.”
Dalam sekejap, tubuhnya lenyap. Hanya tersisa debu cahaya... dan ketenangan.
Rakyat Majapahit tak pernah tahu nama pemuda itu. Tapi dongeng tentang "Cahaya dari Langit" terus hidup. Anak-anak menyanyikan lagu tentang dia, dan masa depan pun menuliskan namanya dalam senyap.
Di tahun 2025, di ruangan putih penuh layar dan data, Elara terbangun. Tapi di telapak tangannya... masih ada setitik debu berkilau... dari masa lalu.
BAB 15 – Cahaya Abadi
Setelah kembali ke masanya, Elara terus terdiam beberapa hari. Ia tak langsung bicara kepada siapa pun di pusat penelitian.
Ia membawa kenangan yang terlalu besar: suara Suta, tawa Damar, dan tatapan Gajah Mada yang penuh harapan.
Dunia tahun 2025 tak berubah drastis... tapi Elara berubah. Ia mulai mengajar. Ia mulai menulis.
Ia menerbitkan jurnal tentang “Etika Intervensi Sejarah” dan menjadi tokoh utama dalam pembaruan kode waktu.
Namun di malam hari, di ruang rahasianya, ia selalu membuka buku kecil berisi catatan yang ditulis Suta di giok memori: “Dunia ini sedang kau jaga dari masa depan. Dan kami menjaganya dari masa lalu.”
Elara menangis untuk pertama kalinya sejak kembali. Ia sadar… ia tak hanya selamat. Ia diubah.
Ia mulai mendanai proyek konservasi budaya. Ia bahkan mendirikan yayasan atas nama "Elara Institute for Temporal Peace."
Hingga suatu hari, di antara email dan data, muncul sebuah pesan baru: sinyal dari koordinat yang tak terdeteksi sebelumnya… dengan kata sandi yang hanya ia dan Damar tahu.
Elara terdiam. “Mereka... berhasil...,” bisiknya.
Ia menatap ke luar jendela. Matahari senja tahun 2025 bersinar keemasan, seperti mentari Majapahit.
Lalu, ia tersenyum. “Sejarah tak pernah diam. Ia menunggu untuk dijaga… oleh siapa saja yang berani.”
Dan di luar dunia nyata, di dalam cerita, legenda tentang pemuda yang datang dari masa depan terus diceritakan oleh generasi baru.
Anak-anak di desa-desa Majapahit masih menyebut nama Elara dalam cerita rakyat—sosok dengan mata bercahaya dan pikiran bintang.
Tak ada makam untuk Elara. Tak ada patung. Tapi di hati mereka… ia hidup.
Karena cahaya sejati… tak butuh nama. Ia hanya perlu dikenang.
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar