Akhir yang Tak Terucapkan
BAB 1: Kabut yang Memanggil
Bagas. Nama itu tak pernah ia ucapkan kepada siapa pun, tetapi sudah bertahun-tahun hidup dalam ingatannya. Ia mengenal tatapan mata itu sejak kecil—tatapan yang muncul dalam mimpinya, dalam pantulan air, dalam gelisah malam yang panjang. Pemuda itu selalu memanggilnya tanpa suara, mengulurkan tangan dalam diam. Serly sempat berpikir dirinya gila. Tapi seiring berjalannya waktu, ia belajar menerima bahwa beberapa hal memang tidak bisa dijelaskan oleh nalar. Ketika dunia logika gagal memuaskan hatinya, ia memilih untuk percaya pada instingnya. Dan insting itu, sekarang, berteriak memanggilnya masuk ke dalam kabut.
Kakinya bergerak tanpa komando, mendekati reruntuhan yang sudah ia telusuri ratusan kali sebelumnya. Tapi kali ini berbeda. Batu-batu tua itu terasa lebih hangat, lebih hidup, dan saat jari-jarinya menyentuh salah satu relief, denyutan halus menjalar ke seluruh tubuhnya. Tanah bergetar pelan, begitu halus hingga nyaris tak terasa, seperti desahan napas bumi yang sudah menua. Lalu suara itu datang—bukan suara manusia, tapi semacam bisikan purba yang bergema dari balik dinding waktu. “Serly...” namanya dipanggil, begitu jelas, begitu dekat, namun tak berasal dari mulut siapa pun. Ia menggigil, bukan karena takut, melainkan karena merasa... pulang.
Dunia di sekelilingnya bergoyang. Warna-warna memudar, suara lalu lintas dan tawa anak-anak menghilang, digantikan oleh desir angin yang membawa bau dupa dan kayu bakar. Pandangannya kabur, lalu gelap, lalu kembali terang—tapi bukan terang senja di Malang 2025. Ini adalah cahaya dari obor yang menari di antara bayangan pohon besar. Tanah di bawahnya bukan lagi beraspal, melainkan tanah merah dengan jejak-jejak kuda dan sandal rotan. Di kejauhan, gong besar terdengar dipukul, ritmis, menghentak jantungnya dengan irama asing yang terasa... akrab.
Serly berdiri di tengah hutan yang tidak dikenalnya. Udara di sini lebih berat, penuh aroma dedaunan basah, asap, dan sesuatu yang tidak bisa ia kenali—mungkin aroma darah, atau sejarah. Suaranya tercekat, tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, langkah-langkah cepat menghampirinya dari semak-semak. Seorang pemuda muncul—berpakaian seperti dari lukisan sejarah: ikat kepala batik, baju kain, dan sebilah keris di pinggang. Matanya besar dan dalam, penuh kewaspadaan... dan pengakuan. “Kau... akhirnya datang,” katanya dengan suara serak, dan Serly tak tahu harus menjawab apa. Itu dia. Bagas. Bukan dalam mimpi. Bukan dalam bayangan. Tapi nyata, berdiri hanya beberapa langkah darinya, dengan tatapan yang membuat dunia di sekitar mereka menghilang.
Mata Serly basah tanpa ia sadari. Hatinya berkecamuk antara kebingungan, ketakjuban, dan rasa kehilangan yang ia tak mengerti. Ia ingin memeluk Bagas, ingin menyentuh wajah itu yang selama ini hanya bisa ia bayangkan, tapi tubuhnya tak mau bergerak. Ia takut, takut bahwa jika ia menyentuhnya, semua ini akan menghilang. Tapi Bagas melangkah lebih dulu, tangannya meraih tangan Serly dengan kelembutan yang luar biasa untuk seseorang dari zaman yang keras. Sentuhan itu meledakkan emosi dalam dada Serly. Dunia benar-benar nyata. Ini bukan mimpi. Ini... cinta yang telah menunggu berabad-abad.
“Kau sudah sering datang, tapi tak pernah tinggal,” bisik Bagas lirih. Serly menatapnya bingung, namun perlahan mulai memahami. “Aku tak ingat,” ucapnya nyaris tanpa suara. Bagas mengangguk pelan. “Karena setiap kali kau kembali ke masamu, ingatanmu pudar. Tapi aku menunggu. Selalu.” Serly menutup mulutnya dengan tangan, dadanya terasa sesak. Semua penjelasan, semua teori ilmiah, semua logika, runtuh di hadapan satu kenyataan ini: ia telah mencintai seseorang dari zaman yang tak bisa ia miliki sepenuhnya.
Langit malam mulai menelan cahaya. Burung-burung malam bersuara rendah, dan kabut tipis menyusup di antara pepohonan, mengelilingi mereka seperti selimut dingin. Serly ingin tahu segalanya: siapa Bagas, mengapa ia bisa menembus waktu, dan mengapa hanya dirinya yang bisa datang dan pergi. Tapi waktu tak pernah ramah bagi yang mencintai lintas zaman. Bagas memandang langit, lalu Serly. “Kau tak bisa lama. Dunia ini belum siap menerimamu penuh.” Suaranya berat. Serly menggeleng, tak mau pergi. Tapi tubuhnya mulai bergetar, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak bisa ia lawan.
Tangisan lirih lolos dari bibir Serly saat pandangannya mulai kabur lagi. Ia meraih tangan Bagas erat-erat, menolak kembali ke masa kini, tapi kekuatan waktu terlalu kuat. Bagas tak berusaha menahannya. Ia hanya menatap, seperti selalu, dengan senyum tipis yang dipenuhi duka. “Aku akan menunggumu, Serly...” bisiknya, sebelum semuanya lenyap dalam putih pekat.
Serly terjatuh di tanah rumput di depan Candi Badut. Malam telah jatuh, dan angin malam menusuk kulitnya. Ia bangkit perlahan, lutut gemetar, napas tersengal. Matanya masih basah, hatinya hampa. Ia kembali ke dunia yang dikenalnya, namun jiwanya tertinggal di tempat lain—di abad yang jauh, bersama pemuda yang hanya bisa ia temui saat kabut memanggil.
Di kamarnya malam itu, Serly menatap langit-langit dan menangis dalam diam. Ia tahu dirinya tak lagi sama. Ada janji yang tertanam di jiwanya kini, dan cinta yang tak mengenal batas waktu. Ia tidak tahu kapan ia bisa kembali, atau apakah ia akan mengingat semuanya saat itu tiba. Tapi ia tahu satu hal: hatinya telah terikat pada sosok yang tidak seharusnya ada dalam hidupnya... namun terlalu nyata untuk diabaikan.
Sementara kota Malang tertidur, Candi Badut berdiri diam dalam kegelapan. Namun bagi Serly, tempat itu kini adalah gerbang. Gerbang menuju cinta yang mustahil, masa lalu yang hidup, dan takdir yang baru saja mulai menulis kisahnya.
Dan di balik waktu, di tengah rimba Singasari yang sunyi, Bagas berdiri menatap langit. Tangannya menggenggam secarik kain yang jatuh dari Serly sebelum ia menghilang. Ia mengecupnya perlahan, lalu menyelipkannya di dada. “Kembalilah padaku, Serly...” bisiknya ke bintang-bintang. “Jangan biarkan waktu menjadi musuh kita.”
BAB 2: Jejak yang Terhapus
Pagi di Malang seharusnya memberi ketenangan. Udara segar, matahari yang malu-malu muncul dari balik Gunung Arjuno, dan suara burung yang bernyanyi di sela dedaunan kampus. Tapi pagi itu terasa seperti dunia telah kehilangan warnanya. Serly duduk di bawah pohon trembesi besar di halaman belakang Fakultas Ilmu Budaya, matanya kosong menatap secarik kertas tugas yang tak tersentuh. Setiap kata yang tertulis di sana tak lebih dari goresan tanpa makna. Di dalam dirinya, gema suara Bagas masih menggema, menolak tenggelam dalam realitas. Ia tahu malam itu bukan mimpi. Ia tahu ia benar-benar ke masa lalu. Tapi anehnya, ingatan tentang tempat itu mulai memudar. Bukan hilang... melainkan terhapus perlahan-lahan, seperti tulisan di pasir yang dilap gelombang waktu.
Ia menunduk, memandangi pergelangan tangannya. Bekas goresan kecil dari semak berduri di masa lalu masih ada. Nyata. Bukti bahwa ia benar-benar telah menembus waktu. Tapi mengapa wajah Bagas semakin kabur dalam pikirannya? Mengapa suara lelaki itu, yang semalam begitu nyata, kini hanya terdengar seperti gema jauh dari lorong mimpi? Serly menggigit bibirnya. Ada kekuatan yang menghapus jejak perjalanannya, dan ia tak tahu harus melawan dengan apa. Ia merasa seperti seseorang yang menemukan surga, lalu dilucuti ingatannya secara perlahan oleh kutukan tak kasat mata. Dan yang paling menyakitkan: ia sadar akan proses itu.
Hari itu, Serly pulang lebih awal dari kampus. Ia tak bisa berpura-pura menjadi gadis biasa yang hanya peduli soal nilai atau deadline tugas. Sesampainya di kamar kos yang sempit tapi rapi, ia langsung mengunci pintu, menarik tirai jendela, lalu menyalakan lilin kecil di atas meja belajar. Lilin itu bukan sekadar hiasan. Ia mendapatkannya dari pasar barang antik minggu lalu, dan anehnya, lilin itu selalu membuatnya merasa... dekat dengan masa lalu. Saat nyala apinya bergoyang pelan, bayangan dinding berubah menjadi relief candi, dan Serly bisa kembali membayangkan kabut, gong, dan... wajah Bagas yang kini mulai redup dalam pikirannya.
Ia mengambil buku catatannya dan mulai menulis. Bukan tugas kuliah, melainkan segala yang ia ingat tentang malam itu. Nama Bagas. Tatapan matanya. Suara langkah kakinya di tanah hutan. Gong besar yang berdentang seperti jantung dunia lama. Tangannya yang hangat meski udara dingin. Ia menulis cepat, seakan sedang berpacu dengan waktu yang hendak mencuri semuanya dari benaknya. Tapi bahkan saat menulis, sebagian dari detail itu terasa licin, menghilang sebelum sempat ditangkap pena. Serly menangis diam-diam. Ia merasa seperti sedang menuliskan puing-puing mimpinya sendiri.
Malamnya, Serly kembali ke Candi Badut. Ia datang sendirian, tanpa suara, hanya ditemani bulan yang menggantung pucat di langit. Langkahnya hati-hati, tapi penuh keyakinan. Ia menyentuh batu yang sama seperti malam sebelumnya, menutup mata, berharap bisikan itu kembali. Tapi tidak ada. Tak ada getaran. Tak ada kabut. Tak ada Bagas. Hanya sunyi, dan dingin, dan rasa kehilangan yang menusuk jauh ke dalam hati. Serly berlutut di tanah, mencengkeram rumput dengan frustrasi. Ia ingin berteriak, memanggil, menantang langit. Tapi suara tercekat di tenggorokannya. Ia hanya bisa menangis, dikelilingi kesunyian yang kejam.
Beberapa meter dari tempat ia bersimpuh, seekor burung hantu bertengger di atas batu candi. Matanya yang besar menatap Serly tanpa berkedip. Serly membalas tatapan itu, merasa seolah burung itu tahu sesuatu. Dalam kilatan matanya, seolah ada pantulan dunia lain. Serly perlahan bangkit dan mendekat. Burung hantu itu tidak terbang. Ia hanya memiringkan kepala, lalu... mengeluarkan suara aneh. Bukan suara burung biasa. Tapi seperti gumaman. Seperti... mantra. Dan dalam sekejap, dunia di sekeliling Serly bergeser. Angin berhenti. Cahaya bulan berubah warna. Dan kabut kembali turun dari arah timur, perlahan menyelimuti reruntuhan.
Serly menggigil. Ia tahu apa yang akan terjadi. Tapi kali ini, tubuhnya tak sekadar ditarik. Ia merasa seperti sedang tenggelam. Cahaya bulan menjadi cair, menyelimuti tubuhnya seperti sungai waktu yang membawanya menembus dimensi. Ia tak tahu akan mendarat di mana, atau kapan. Tapi ia rela. Ia harus bertemu Bagas lagi. Harus menuntaskan pertanyaan yang menggantung di jiwanya. Ia memejamkan mata, dan saat membukanya kembali, ia berada di tengah jalan batu. Malam masih pekat, tapi suara gamelan terdengar samar di kejauhan. Udara penuh asap dupa dan bau bunga. Ini bukan hutan seperti sebelumnya. Ini sebuah kota. Sebuah kota kuno yang hidup.
Ia berjalan perlahan, menyusuri jalanan yang dipenuhi lentera. Orang-orang berlalu-lalang mengenakan kain panjang, membawa wadah tanah liat berisi api atau sesajen. Tak seorang pun memedulikan kehadirannya. Ia seperti hantu di antara mereka. Atau mungkin... mereka adalah hantu baginya. Tapi saat ia sampai di gerbang kayu besar yang dijaga dua prajurit, salah satu dari mereka menatapnya tajam. “Kau... gadis dari kabut,” ucap prajurit itu. Suaranya bergetar, seolah sedang menyebutkan takdir. Serly mundur selangkah, tapi prajurit itu membungkuk hormat. “Tuan Bagas telah menanti. Ia tahu kau akan datang lagi.”
Serly dibimbing melewati lorong kayu dan pelataran penuh lentera menuju sebuah bangunan besar yang berdiri megah, namun menyeramkan dalam gelap. Suara gamelan makin dekat. Namun bukan suara yang menenangkan—ritmenya cepat, penuh ketegangan, seperti musik untuk menyambut kematian. Pintu bangunan terbuka dengan sendirinya, dan di dalamnya, Serly melihat Bagas berdiri di tengah ruangan, dikelilingi asap dupa dan bayangan orang-orang yang duduk bersila dalam diam. Matanya langsung menangkap mata Serly, dan di sana ada air mata. “Kau datang... sebelum semuanya terlambat.”
Serly ingin berlari memeluknya, tapi tubuhnya kaku. Udara di ruangan itu terlalu berat, seolah dipenuhi roh yang tak bisa ia lihat. Bagas melangkah perlahan mendekatinya, mengulurkan tangan. “Waktu melawan kita, Serly. Tapi kita masih punya sedikit... sebelum mereka tahu kau di sini.” Serly menatap sekeliling, mulai menyadari bahwa ini bukan pertemuan biasa. Ada bahaya yang tersembunyi. Sesuatu yang mengintai. Ia merasakan bisikan halus di telinganya—bukan suara manusia, tapi suara masa lalu yang terluka.
Bagas menggenggam tangan Serly, lalu membisikkan sesuatu yang membuat jantung gadis itu nyaris berhenti. “Jika kau tinggal terlalu lama... kau akan lupa siapa dirimu.” Suara Bagas terdengar rapuh, seperti sedang melawan kenyataan yang tak bisa ia ubah. Serly menatapnya, hati berkecamuk. “Apa artinya itu, Bagas?” tanyanya pelan. Tapi sebelum Bagas bisa menjawab, semua lentera di ruangan itu padam serentak. Dan dari kegelapan, terdengar tawa. Tawa perempuan tua... lirih, menyeramkan, dan penuh dendam.
BAB 3: Bayangan di Balik Gending
Kegelapan menyergap seperti kabut pekat yang menutup mata dan hati. Serly tak bisa melihat apa-apa, hanya suara napas Bagas yang dekat di telinganya. Ia ingin berbicara, tapi lidahnya kelu. Jantungnya berdebar tak menentu, dan di sela detak itu, suara gending terus berdentang dari kejauhan—seperti berasal dari tempat yang tak terjamah cahaya. Tawa perempuan itu masih menggema, kadang diselingi isak pilu yang mengguncang sukma. Suara itu bukan hanya menyeramkan, tapi juga mengandung rasa sakit yang entah mengapa terasa sangat... familiar.
Tangan Bagas menggenggam erat tangan Serly, seolah menyadari bahwa satu-satunya yang nyata di tempat ini adalah kehangatan mereka berdua. “Kau harus keluar dari tempat ini,” bisik Bagas tergesa. “Dia tahu kau datang. Dan dia membenci perempuan sepertimu—yang datang membawa cahaya dari masa yang belum terjadi.” Serly menggeleng, napasnya berembus cepat. “Aku tidak akan pergi. Tidak sekarang. Kau menyimpan sesuatu dariku, Bagas. Sesuatu yang penting. Siapa dia?” Suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena luka yang baru saja terbuka.
Bagas terdiam, lalu menunduk. “Dia adalah yang tak bisa kusebutkan... tapi ia pernah mencintaiku. Dan aku—aku tak pernah membalasnya seperti ia harapkan.” Ia menarik napas dalam, matanya basah. “Dia bunuh diri. Di tempat ini. Pada malam gerhana, beratus tahun lalu.” Serly merasakan darahnya berhenti mengalir. Ada rasa dingin yang merayap naik dari tanah. “Dan kau... merasa bersalah?” tanyanya pelan. Bagas hanya menatapnya, dan dalam diam itu, Serly tahu jawabannya. Bukan hanya bersalah. Bagas dihantui.
Tiba-tiba, bayangan hitam muncul dari balik tiang kayu besar di sudut ruangan. Perlahan membentuk wujud perempuan dengan rambut panjang menjuntai menutupi wajah. Gaunnya berlumuran darah hitam pekat. Ia melayang, bukan berjalan. Dan matanya—dua lubang kosong gelap yang menatap langsung ke arah Serly. “Kaulah yang mencuri dia dariku,” desisnya dengan suara yang tak menyerupai manusia. “Kaulah pengganggu dari waktu asing... yang datang membawa kutukan!”
Serly mundur selangkah, tapi Bagas berdiri di hadapannya, melindunginya. “Jangan dekati dia!” teriak Bagas. Roh perempuan itu tertawa, tawa yang kini berubah jadi jeritan pilu. “Kau yang meninggalkanku, Bagas! Kau bersumpah di bawah bulan gerhana, tapi kau mengingkarinya! Dan sekarang kau menyerahkan hatimu pada perempuan dari masa yang bahkan belum ada!” Suaranya menusuk telinga, seperti pisau tajam yang menggores dinding jiwa. Serly menggigil. Tapi ia tahu, jika ia mundur, semua akan hilang. Ia harus menghadapi ini. “Siapa namamu?” tanyanya lantang.
Roh itu berhenti, seperti terpaku mendengar pertanyaan itu. “Namaku telah dilupakan. Tapi dulu... ia memanggilku Laras.” Suaranya lirih, dan untuk sesaat, bayangannya berubah. Ia tampak seperti gadis muda berpakaian keemasan, dengan senyum getir di wajahnya. “Aku menghabiskan hidupku menunggunya. Tapi waktu tidak pernah bersikap adil pada perempuan yang mencintai terlalu dalam.” Mata Laras beralih ke Serly. “Dan kau... kau tidak akan lebih beruntung dariku.”
“Cinta kami tidak bisa kau ganggu,” kata Serly, berani meski lututnya gemetar. “Aku datang bukan untuk mengulang kesalahanmu. Aku datang karena aku percaya... masa depan kami masih bisa diselamatkan.” Tapi Laras hanya tertawa, kini lebih pahit dari sebelumnya. “Tak ada masa depan bagi yang mengingkari masa lalu,” bisiknya, lalu melesat ke arah Serly dengan jeritan menyayat. Bagas menarik Serly ke belakang, dan seketika ruangan runtuh menjadi kabut. Mereka terjatuh, tubuh mereka seolah terlempar ke dalam pusaran air yang tak memiliki dasar.
Saat Serly membuka matanya, ia dan Bagas berada di tepi sungai yang diterangi sinar rembulan. Suara jangkrik dan gemericik air mengisi malam yang basah. Serly terengah, memegangi dada. “Apa yang terjadi barusan? Apa... itu nyata?” Bagas menatapnya, lalu menyentuh pipinya dengan lembut. “Semuanya nyata. Dan dia... akan terus mengejar kita.” Serly menatap Bagas, dan ada luka yang tak bisa ia sembunyikan. “Mengapa kau tak pernah cerita tentang Laras sebelumnya?” tanyanya pelan.
Bagas memalingkan wajah. “Karena aku takut... kau akan melihatku sama seperti dia melihatku. Seorang lelaki pengecut yang gagal menepati janji.” Serly menggeleng, menggenggam tangan Bagas erat. “Kau bukan pengecut, Bagas. Tapi kau harus jujur. Jika tidak, hantu masa lalu akan terus merenggut kita.” Tangisan lirih terdengar dari kejauhan, tapi Serly tak berpaling. Ia hanya menatap wajah Bagas, mencoba menembus luka-luka yang tersimpan di balik tatapannya. “Aku di sini. Dan aku tak akan meninggalkanmu.”
Bagas akhirnya menatap balik. “Kalau begitu... dengarkan aku baik-baik. Aku tahu bagaimana caranya menghentikan Laras. Tapi caranya berbahaya. Dan itu bisa membuatmu terjebak di masaku... selamanya.” Serly tak ragu. “Aku tidak peduli. Selama kita bersama, aku siap menghadapi apa pun.” Bagas menunduk, menyentuh keningnya ke kening Serly. “Jangan berkata begitu terlalu cepat, Serly. Kau belum tahu apa yang menunggumu. Bahkan waktu pun bisa membenci cinta yang terlalu kuat.”
Malam itu, di bawah sinar rembulan dan bayangan pohon beringin tua, Serly dan Bagas duduk berdua. Di antara mereka ada cinta yang tak biasa—yang menantang ruang dan waktu, yang membangkitkan roh dan mengungkap luka lama. Tapi di sela keheningan, suara Laras kembali terdengar... kali ini lebih pelan, lebih dekat, seperti bisikan di dalam kepala Serly. Dan untuk pertama kalinya, Serly merasa... hatinya mulai retak. Ada sesuatu yang masuk, yang bukan miliknya. Sebuah bayangan dari masa lalu yang terlalu kuat untuk dilawan.
BAB 4: Rahasia yang Terkubur di Bawah Batu
Matahari pagi menyelinap malu-malu di antara dedaunan hutan Singasari. Serly berjalan pelan di belakang Bagas, menyusuri jalan setapak yang nyaris tersembunyi oleh rerumputan dan akar-akar tua. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah itu mengenal namanya dan menolaknya untuk melangkah lebih jauh. Tapi suara dalam kepalanya—suara Laras—terus memanggil, menyanyikan kidung lama dengan nada getir. Lagu itu tak dikenalnya, tapi entah mengapa, hatinya bergetar setiap kali mendengarnya.
“Bagas,” ujar Serly, suaranya nyaris hanya angin. “Apa kau dengar itu?” Bagas menoleh. “Dengar apa?” Serly menggeleng, mencoba tersenyum, tapi wajahnya pucat. “Tidak… hanya suara angin mungkin.” Tapi hatinya berbohong. Lagu itu semakin jelas, semakin dalam. Ia merasa seperti dihipnotis oleh kesedihan yang tidak ia miliki—seperti sedang meratapi sesuatu yang tak pernah ia alami. “Serly?” tanya Bagas, menghentikan langkahnya. “Kalau kau merasa tak enak, kita bisa kembali—”
“Tidak,” potong Serly cepat. “Kau mau tunjukkan sesuatu, bukan? Tentang Laras. Tentang dirimu.” Bagas terdiam, lalu anggukannya pelan membuat Serly merasa seperti menandatangani perjanjian rahasia. Mereka melanjutkan langkah, dan akhirnya tiba di sebuah batu besar, setengah terkubur di tanah. Batu itu dihiasi ukiran rumit, menggambarkan seorang perempuan duduk di bawah pohon dengan tangannya terentang ke langit. Di sekelilingnya, ratusan ular melilit tubuhnya. Serly menelan ludah. “Siapa dia?”
“Laras,” jawab Bagas lirih. “Ini batu peringatan yang dibuat setelah kematiannya. Tapi tidak semua tahu… bahwa sebenarnya, ia dikubur di bawah batu ini. Tanpa upacara. Tanpa restu.” Serly menatap batu itu dengan perasaan campur aduk. “Kenapa dia tidak dimakamkan sebagaimana mestinya?” Bagas menunduk. “Karena dia bunuh diri… dan karena ia dianggap telah membuat kutukan bagi keluarga kerajaan.” Serly menoleh cepat. “Keluarga kerajaan?” Bagas terdiam.
“Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, Serly…” katanya akhirnya. “Aku… adalah keturunan dari Prabu Kertanegara. Ayahku adalah adik dari raja. Aku dibesarkan dalam bayang-bayang istana. Tapi aku memilih pergi… meninggalkan gelar dan darah biru.” Serly tak tahu harus merasa apa. “Jadi… kau seorang bangsawan?” Bagas mengangguk. “Aku dan Laras… dijodohkan. Tapi aku menolaknya. Aku… memilih cinta, bukan politik.” Serly menggeleng. “Dan sekarang kau memilihku?”
“Aku memilihmu sejak malam pertama kau menyeberang waktu. Saat wajahmu muncul di tengah kabut hutan ini… aku tahu, kau adalah takdir yang kutunggu.” Serly merasakan dadanya sesak oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Tapi sebelum ia sempat menjawab, suara Laras muncul lagi. “Cinta? Cinta hanyalah kedok yang kau gunakan untuk melarikan diri dari dosa lama, Bagas…” Suara itu kini bukan lagi bisikan. Ia memenuhi telinga Serly seperti teriakan di dalam sumur.
“Serly, kau kenapa?” tanya Bagas panik. Serly menutup telinganya. “Dia… dia ada di dalam kepalaku… Bagas, dia tidak mau pergi!” Tubuh Serly gemetar. “Dia menyalahkanku. Dia bilang aku akan bernasib sama sepertinya.” Bagas menggenggam bahunya erat. “Laras hanya bayangan masa lalu. Dia tak bisa menyentuhmu.” Tapi Serly menatap Bagas, matanya mulai basah. “Tapi dia ada di sini, Bagas. Dan dia tahu… bahwa aku juga mencintaimu terlalu dalam.”
Tiba-tiba, langit mendung menggulung cepat, dan suara petir membelah hening. Dari balik pepohonan, muncul kabut tipis, dan tubuh Laras terlihat perlahan menjelma. Wujudnya kali ini lebih jelas, wajahnya cantik tapi penuh luka, matanya kosong namun penuh kebencian. “Kalian menggali makamku… kalian membuka luka yang seharusnya dilupakan!” Suaranya menggema seperti doa kutukan. Serly berdiri menantang, meski tubuhnya bergetar hebat. “Kau bukan satu-satunya yang mencintai Bagas! Tapi cintaku tidak untuk balas dendam!”
Laras menatapnya tajam. “Kalau begitu… tunjukkan padaku seberapa dalam cintamu, perempuan waktu asing. Apakah kau sanggup tinggal di zaman ini? Mati di zaman ini? Terhapus dari sejarahmu sendiri demi lelaki yang bahkan menolak garis darahnya?” Serly terdiam. Hujan mulai turun, membasahi batu nisan kuno dan tanah merah di bawahnya. Ia menatap Bagas, dan saat itu, ia tahu bahwa jawaban itu bukan tentang keberanian… tapi tentang pilihan.
“Aku tidak takut kehilangan masa depanku,” ujar Serly pelan. “Yang kutakutkan… hanyalah kehilangan dia.” Bagas menatapnya, matanya berkaca. Tapi Laras menjerit—jeritan panjang yang mengguncang pepohonan. Dan dengan sekelebat bayangan hitam, ia menghilang… meninggalkan udara dingin dan kesunyian yang menyayat. Hujan terus mengguyur, dan di tengah deras itu, Serly jatuh terduduk, menggenggam tangan Bagas erat-erat. “Apa yang sedang kita hadapi ini, Bagas?” bisiknya.
Bagas duduk di sampingnya. “Bukan hanya arwah. Tapi sejarah yang tidak pernah selesai. Dan kau… sudah terikat di dalamnya.” Serly menutup matanya. Lagu Laras masih berdendang jauh di dalam. Tapi untuk saat ini, ia memilih mendekap Bagas, percaya bahwa selama cinta mereka masih ada, suara masa lalu tak akan mampu merenggut segalanya.
BAB 5: Gerbang Kedua: Waktu yang Terluka
Petang itu, Serly berdiri di hadapan Candi Kecil yang sudah retak oleh waktu. Udara Malang dingin seperti baru saja dilalui badai, tapi langitnya terang, dan suasana terasa... salah. Ia baru saja kembali dari Singasari setelah peristiwa mencekam bersama Laras dan Bagas. Tapi saat ia menyentuh batu pemicu portal, dan tubuhnya melesat ke masa depan, sesuatu terasa bergeser. Dunia tak lagi utuh seperti sebelumnya.
Serly melangkah keluar dari reruntuhan candi, matanya menyapu sekeliling. Rumah-rumah sekitar masih berdiri, tapi bentuknya sedikit berbeda—atap yang dulu genteng, kini berbahan logam hitam. Suara burung tak terdengar, digantikan dengungan listrik yang menusuk telinga. “Apa ini...?” gumamnya. Ia merogoh ponsel dari tasnya, tapi tak ada sinyal. Bahkan tanggal di layar berubah: 12 April 2035.
"Sepuluh tahun... aku melompati sepuluh tahun?" bisiknya panik. Napasnya memburu. Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara langkah mendekat dari belakang membuatnya menoleh cepat. Seorang pria berseragam hitam muncul dari balik pohon, helmnya menyala merah di sisi kanan. “Identifikasi pengembara waktu. Nomor ID atau ditangkap.”
“A-apa? Siapa kau?” Serly mundur. Pria itu mengangkat alat kecil mirip senjata. “Zona ini di bawah pengawasan Otoritas Waktu Nasional. Kamu berada di luar garis waktu izin.” Serly menelan ludah. Dunia ini seperti bukan rumahnya—seperti masa depan distopia yang belum pernah ia bayangkan. Ia berbalik dan lari, menembus hutan, melewati batu-batu yang berubah bentuk, hingga akhirnya jatuh di tanah basah.
Suara tawa kecil bergema di pikirannya. “Kau sudah merusak waktu, Serly…” Suara Laras kembali, seperti racun di sela kesadaran. “Bagas akan binasa jika kau terus menyilang. Cinta tak bisa menyelamatkan dua zaman.” Serly menutup telinga. “Diam!” teriaknya. Tapi dunia tetap bisu, dan dirinya terasa terlempar di antara dua kutukan: masa lalu yang tidak selesai, dan masa depan yang hancur.
Malam itu, ia berhasil masuk ke rumahnya yang lama—atau yang tampak seperti rumahnya. Tapi semuanya kosong. Nama orangtuanya tak ada di catatan sipil digital. Seolah mereka tak pernah ada. Ia menyalakan layar besar di ruang tengah, dan di sana, berita muncul: "Ketidaksesuaian Waktu Terjadi: Jejak Arkeolog Hilang Ditemukan di Masa Lampau." Wajah Serly sendiri muncul sebagai buronan lintas-waktu. Dunia menganggapnya hantu sejarah.
Tangisnya pecah. Ia terduduk di lantai, tubuhnya menggigil. “Aku… hanya ingin mencintai seseorang…” isaknya. Tapi dari layar yang lain, wajah Bagas muncul. Lama, membeku seperti hologram dari ingatan. “Serly,” suara itu muncul, direkam dari masa lalu. “Jika kau mendengar ini… berarti kau telah melompati waktu lebih dari yang seharusnya. Kembalilah. Jangan biarkan sejarah menghilangkanmu.”
“Bagas…” bisik Serly, memeluk lututnya. “Aku tak tahu bagaimana caranya kembali padamu.” Malam itu, ia tertidur dalam pelukan kenangan. Tapi saat matahari muncul, ada seseorang di hadapannya. Seorang wanita berambut putih, mengenakan jubah kuno bercampur logam. Matanya tajam, tapi ada belas kasih di sana. “Serly Putri Arka. Kau telah melanggar perjanjian waktu.”
“Siapa kau?” tanya Serly, berdiri gemetar. “Namaku Mahesa Taruna. Aku keturunan Laras. Dan kau harus ikut denganku… sebelum waktu sepenuhnya pecah.” Serly menatapnya tak percaya. “Laras… punya keturunan?” Wanita itu tersenyum pahit. “Tidak secara alami. Tapi dia menanamkan kesadarannya… ke garis waktu alternatif. Dan kini, dia hidup melalui kami. Lewat darah. Lewat dendam.”
Serly menggeleng. “Aku hanya ingin kembali ke Bagas… hanya itu.” Tapi Mahesa mendekat. “Maka kau harus membayar harga waktu. Kau telah menyentuh dua gerbang. Gerbang ketiga tidak akan membuka dengan cinta. Ia butuh pengorbanan.” Serly mundur. “Apa maksudmu?” Mahesa menatap lurus. “Kau harus memilih… antara hidupmu di masa ini, atau nyawa Bagas di masa lalu. Satu harus menghilang.”
Serly terdiam, tubuhnya beku. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa cinta melintasi waktu bukanlah keajaiban—ia adalah luka. Luka yang terus terbuka… hingga satu dari mereka lenyap dari sejarah.
BAB 6: Harga Gerbang Ketiga
Langit tahun 2035 seperti terbakar dari dalam. Awan-awan hitam menggantung rendah, dan garis-garis merah api terlihat melintang seperti urat-urat pecah di langit dunia. Serly berdiri di tepi pelataran candi, yang kini berdiri di tengah zona militer teknologi tinggi. Gerbang ketiga terbuka… tapi tidak stabil. Waktu bergoyang seperti air keruh yang berusaha kembali jernih.
“Kalau kau menyeberang lagi, serpihan waktumu bisa hancur,” ujar Mahesa dengan suara dingin. Ia berdiri di samping alat pemicu waktu, semacam lingkaran logam raksasa dengan nyala biru di tengahnya. “Tapi kalau tidak, Bagas akan lenyap. Lini waktu Singasari akan terhapus oleh retakan ini. Dan kau… akan tetap hidup. Di masa depan.”
Serly menatap pusaran cahaya di tengah lingkaran. Di sana… ada bayangan Bagas, berdiri di tengah hutan Singasari, menatap ke arahnya. Tapi ia tak bisa mendengar suara Serly. Hanya tatapan itu—dalam, sunyi, dan penuh luka. “Tolong kembali…” seperti yang ingin dikatakannya. Hati Serly mencelos.
“Aku tidak bisa memilih,” gumamnya. “Ini bukan pilihan. Ini penyiksaan.” Mahesa menatapnya. “Itu sebabnya disebut harga. Setiap cinta yang menembus takdir… akan ditagih dengan waktu. Dengan jiwa.” Serly menutup mata. Kenangan tentang Bagas muncul satu per satu. Sentuhan hangatnya. Senyum samar di antara kabut hutan. Tatapan yang selalu membuatnya merasa… pulang.
“Bagas… kau akan mati jika aku tak kembali,” bisiknya. “Tapi aku akan mati jika aku kembali. Dan mungkin dunia akan ikut mati bersamaku.” Mahesa menjawab pelan. “Atau… kau bisa mengorbankan dirimu. Melebur ke dalam waktu. Tidak hidup. Tidak mati. Tapi kau akan menjadi pengikat: jembatan bagi waktu yang retak.”
Serly menatapnya. “Apa itu artinya… aku tidak akan pernah bisa bersamanya?” Mahesa mengangguk pelan. “Tapi Bagas akan hidup. Dan Singasari tetap ada. Dunia akan terus berjalan.” Serly terdiam lama. Lalu ia tersenyum… senyum getir yang indah. “Kalau begitu, ajarkan aku… bagaimana caranya mati tanpa menghilang.”
Mahesa tak menjawab. Ia hanya membentangkan tangannya, dan cincin cahaya menyelimuti tubuh Serly. Gerbang waktu mengaum. Dan untuk terakhir kalinya… Serly melihat wajah Bagas.
“Serly?” suara Bagas terdengar samar dari seberang gerbang. “Serly… aku bisa melihatmu!”
Serly tersenyum, air mata mengalir. “Bagas… ingat ini baik-baik…” katanya pelan. “Aku akan selalu menjadi napas di udara Singasari. Menjadi cahaya di antara kabut. Aku tidak akan jauh… meski kau tak bisa melihatku.”
Bagas berteriak. “Jangan! Jangan pergi lagi! Aku… aku mencintaimu, Serly! Aku butuh kau… lebih dari siapa pun!”
Suara Serly pecah, tetapi ia tetap menatapnya. “Aku juga mencintaimu, Bagas… dan karena itulah aku harus pergi.”
Cahaya meledak. Dunia mendadak diam. Gerbang waktu bergetar hebat lalu menyatu. Dan Serly… lenyap dalam dentuman sunyi. Tidak ada tubuh yang tertinggal. Tidak ada darah. Hanya sehelai syal merahnya yang perlahan jatuh di tanah.
Bagas terduduk di tengah hutan Singasari. Hening. Hujan turun pelan. Angin membawa bisikan halus… suara Serly.
“Aku di sini… selalu di sini…”
Dan di masa depan, Mahesa berdiri sendiri di pelataran kosong. Di tangannya, alat pemicu waktu telah runtuh, hancur selamanya. Tapi di langit, pecahan waktu mulai menyatu kembali. Dunia diselamatkan. Cinta Serly… telah membayar lunas semuanya.
BAB 7: Lahirnya Bayang-Bayang
Kabut pagi menebal di hutan Singasari. Pepohonan berbisik dengan suara yang lebih tajam dari biasanya, seolah bumi sendiri tengah menghela napas panjang. Bagas terbangun dari tidurnya di bawah pohon beringin tua, peluh dingin membasahi wajahnya. Ia menatap langit abu-abu, lalu meraba dadanya—masih terasa, detak jantung yang ditinggal setengah oleh Serly.
Sudah tiga purnama berlalu sejak Gerbang Ketiga menutup. Tapi Bagas tahu… sesuatu belum selesai. Setiap malam, ia bermimpi bertemu Serly di antara kabut. Namun bukan Serly seperti yang ia kenal—wajahnya mirip, tapi matanya kosong, suaranya dingin, dan tangannya tak bisa disentuh.
Pagi itu, saat ia berjalan menyusuri sungai kecil, ia melihatnya. Di antara pepohonan pinus yang menjulang, seorang gadis berdiri membelakanginya. Rambut panjang terurai. Gaun putih kuno, mirip kain masa kini, namun asing. Hatinya bergetar.
“Serly?” bisiknya.
Gadis itu berbalik. Matanya kelam, tapi indah. Wajahnya… Serly. Tapi ada luka panjang di pelipis, dan kulitnya pucat seperti bayangan rembulan. Ia menatap Bagas tanpa emosi.
“Kau siapa?” tanya Bagas, mendekat.
Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan ke arah sungai, air tak menyentuh kakinya, seolah ia tak benar-benar hidup. Lalu ia berkata pelan, hampir seperti nyanyian, “Aku bayangannya. Tapi bukan dirinya. Aku serpihan cinta… yang tersesat di tengah waktu.”
Bagas terpaku. “Apa maksudmu? Serly… di mana dia?”
Gadis itu menatapnya dengan dalam. “Ia memilih untuk mengikat waktu. Mengorbankan tubuh… demi memastikan dunia tidak runtuh. Tapi cinta tidak bisa mati. Maka aku lahir… dari luka waktu dan kenanganmu.”
Bagas menahan napas. “Jadi kau adalah… bagian dari Serly?”
Gadis itu mengangguk perlahan. “Aku tidak punya nama. Tapi aku tahu perasaanmu. Aku tahu mimpi-mimpimu. Aku tahu tanganmu… karena hatinya masih berdenyut melalui diriku.” Ia mendekat. “Jika kau ingin… aku bisa menemanimu. Tapi bukan sebagai Serly. Aku adalah… bayangannya.”
Bagas terduduk. Kepalanya terasa berat. Hatinya berperang. Ini bukan Serly… tapi bagaimana mungkin cinta itu hidup dalam bentuk lain? Apakah benar waktu bisa menciptakan sosok baru dari rasa yang tertinggal?
“Apa yang harus kupanggil kau…?” gumamnya, nyaris tak bersuara.
Gadis itu menatap langit yang mulai cerah. “Panggil aku… Larisa.”
Bagas mengernyit. Nama itu terasa seperti pecahan dua dunia: Laras… dan Serly. Satu musuh, satu kekasih.
Larisa duduk di sampingnya. Hening. Tapi tidak sepi. Ada getaran baru di udara. Waktu belum selesai. Dan cinta… ternyata belum berakhir.
BAB 8: Langkah Larisa
Langkah Larisa tak berjejak di tanah. Setiap kali kakinya menyentuh bumi, rerumputan mengering. Bagas mulai menyadarinya saat mereka berjalan melewati hutan menuju Desa Panawijen. Penduduk desa mulai bermimpi buruk sejak bulan lalu—tentang suara perempuan menangis di candi tua, dan bayangan putih yang melayang di atas sawah.
“Aku merasa… aku pernah ke sini,” kata Larisa dengan suara lemah. “Tapi kenangan itu seperti lukisan yang terciprat air. Samar, kabur… menyakitkan.”
Bagas memandangnya dengan waspada. “Kau tahu tempat ini? Dari ingatan Serly?”
Larisa berhenti. “Aku tidak tahu mana yang ingatan… mana yang milikku sendiri.” Ia menoleh padanya, dan untuk sesaat, matanya berubah. Hitam sepenuhnya. “Terkadang aku mendengar suara yang bukan milikku. Ia menangis. Memanggil namamu.”
Bagas merinding. “Apa kau merasa kau… dikendalikan?”
Larisa menggeleng perlahan. “Tidak. Tapi aku merasa… terbagi.” Ia memegang kepalanya, gemetar. “Ada amarah yang bukan milikku. Ada rindu yang menusuk, tapi aku tak tahu untuk siapa. Dan setiap malam… aku bermimpi tentang api. Dunia terbakar. Dan aku berdiri di tengahnya.”
Malam itu, di penginapan kecil desa, Bagas terbangun karena suara gemuruh. Larisa berdiri di luar, di tengah lapangan, tubuhnya bersinar samar. Matanya hitam. Ia menjerit—suara yang bukan suaranya.
“Aku… bukan dia!! Aku tidak ingin jadi dia!!”
Tanah di sekeliling Larisa retak. Burung-burung beterbangan. Awan berputar di atas mereka.
Bagas berlari dan memeluknya dari belakang. “Larisa! Dengar aku! Kau bukan Serly, tapi kau juga bukan hanya bayangan! Kau adalah—”
“Aku bukan siapa-siapa!!” teriak Larisa. “Aku cuma serpihan luka! Aku terbuat dari pengorbanan! Aku tidak pernah diminta untuk lahir!”
Cahaya meledak dari tubuhnya. Bagas terpental, jatuh ke tanah. Tapi Larisa menangis. Ia gemetar. Air matanya jatuh… tapi ketika menyentuh tanah, tanah itu membeku.
Dari balik pepohonan, sosok berjubah merah muncul. Mahesa.
“Dia tidak stabil,” ucap Mahesa pelan. “Jika dibiarkan… dia akan menghancurkan masa ini, sama seperti ledakan waktu dulu.”
Bagas berdiri. “Aku tidak akan membiarkannya terluka. Dia bagian dari Serly.”
Mahesa menatap tajam. “Atau dia adalah kutukan terakhir dari cinta yang menolak mati.”
Angin menderu. Larisa perlahan berbalik menatap mereka. Tapi bukan dengan wajah Larisa.
Wajah itu… adalah wajah Serly.
Tapi matanya hitam legam.
“Bagas…” suara itu berat, dua suara menyatu dalam satu. “…kau memilihku. Maka kau harus ikut tenggelam bersamaku.”
BAB 9: Kutukan Cinta yang Menolak Mati
Langit di atas Panawijen terbelah. Retakan waktu muncul seperti kilat, tapi tak pernah hilang. Petir membelah hutan, tapi tak ada hujan. Angin berhembus ke arah yang tak lazim, dan suara tangis perempuan menggema dari dalam tanah.
Larisa berdiri di altar batu tua, wajahnya penuh amarah dan luka. Rambutnya berhamburan, matanya—hitam kelam dengan api ungu di tengahnya. Ia bukan Larisa lagi. Tapi bukan juga Serly.
Dia adalah kutukan.
“Dengar aku!” Bagas berdiri di bawah altar, tubuhnya luka-luka. “Aku tahu kau masih di sana, Serly! Jangan biarkan kematian mengambil semua cintamu!”
Suara itu keluar dari mulut Larisa, berat dan dalam, dua suara menyatu: “Cinta tak menyelamatkan. Cinta membuatku terperangkap!”
Kilatan cahaya menyambar pohon di belakang Bagas. Mahesa muncul di antara kabut, membawa sebilah keris bercahaya. “Jika kau ingin mengakhiri ini… satu-satunya jalan adalah membebaskan jiwa yang tersesat di tubuh bayangan. Kau tahu maksudku, Bagas.”
Bagas menatap Mahesa. “Kau ingin aku… membunuhnya?”
Mahesa hanya diam. Tapi sorot matanya tegas: ya.
Larisa melayang turun dari altar, tubuhnya terbungkus aura merah dan ungu. Tanah retak di setiap langkahnya. Suaranya berubah-ubah: Serly menangis, Larisa menjerit, dan sesekali suara lain—lebih tua, lebih mengerikan—berbisik dalam bahasa kuno.
“Bagas… kenapa kau tidak ikut mati bersamaku saja…?”
Bagas menggenggam keris yang diberikan Mahesa. Tangannya gemetar. Tapi hatinya berteriak. “Karena cinta itu bukan tentang ikut mati. Tapi tentang hidup… bahkan jika itu menyakitkan.”
Larisa berhenti. Mata itu—mata Serly—bergetar. Satu tetes air mata jatuh. Tapi wajahnya kembali dingin.
“Lalu biar aku yang membuatmu mati…”
Ia menyerang. Petir menghantam tanah. Bayangan tubuhnya memanjang ke segala arah seperti sayap iblis. Bagas menghindar, melompat ke sisi altar. Mahesa berteriak dari jauh, “Kalau dia sampai menyentuh pusat waktu di altar itu—retakan abadi akan terbuka!”
Larisa menghampiri Bagas, wajahnya berubah-ubah—Serly yang menangis, Larisa yang berteriak, dan sosok tanpa wajah.
Bagas berlari ke arahnya… dan memeluknya.
Pelukan itu menghentikan segalanya. Udara beku. Waktu membeku.
“Kalau kau memang bagian dari Serly…” bisik Bagas, “…maka dengar detak jantungku. Ini detak yang dulu selalu kau cari. Yang membuatmu merasa pulang.”
Larisa terdiam. Aura di tubuhnya perlahan memudar. Tapi kemudian…
Sosok hitam keluar dari punggungnya.
Bayangan tinggi, berjubah, tanpa wajah. Sang Penjaga Retak, makhluk purba yang hidup di luar waktu, yang menggunakan luka cinta untuk membuka gerbang kehancuran.
“Dia… bukan milikku…” Larisa terisak. “Dia menggunakanku…”
Bagas melindunginya. Mahesa melemparkan keris ke arahnya.
“Tusukkan ke bayangan itu sekarang… sebelum dia menyatu penuh!”
Bagas memandang Larisa, lalu ke bayangan yang mulai menyerap tubuhnya.
“Kalau aku gagal… aku akan ikut hancur,” gumamnya.
Larisa menatapnya… dan tersenyum. “Aku akan menunggumu. Di sisi waktu mana pun. Di dimensi mana pun.”
Bagas berteriak—dan melemparkan keris ke dada bayangan itu.
Cahaya meledak.
Waktu berhenti.
Dan segalanya… lenyap dalam putih sempurna.
BAB 10: Dimensi Tanpa Nama
Bagas terbangun di tanah yang tak dikenalnya. Langit di atasnya tak berwarna. Tak ada bintang, tak ada bulan, hanya kabut abu-abu yang bergerak lambat, seperti waktu yang mengambang tanpa tujuan. Tanah di bawahnya berwarna hitam, seakan menyerap setiap langkah yang ia ambil.
Ia mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa berat, seperti ada beban dunia yang mengikat tubuhnya. Napasnya terengah-engah, dan pikirannya masih berputar dengan segala yang terjadi di Singasari.
Larisa. Serly.
Tiba-tiba, suara yang sangat familiar terdengar dari balik kabut, suara itu memanggil namanya, “Bagas…”
Suara itu. Begitu jelas, begitu penuh dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Itu adalah suara Serly. Namun, saat ia berbalik, tak ada siapa-siapa. Hanya kabut.
“Serly?” panggilnya, nada suaranya penuh harap.
Kabut itu terbelah. Sesosok tubuh muncul, dan kali ini, itu bukan Serly yang ia kenal, bukan Larisa dengan segala bayangan gelapnya. Itu adalah seorang wanita yang terlihat sangat mirip dengan Serly, namun ada sesuatu yang sangat berbeda. Matanya, yang sebelumnya penuh cahaya, kini kosong. Hanya ada kehampaan di dalamnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Bagas, perlahan mendekati sosok itu. “Kau… Serly?”
Wanita itu mengangguk pelan. “Aku Serly. Tapi bukan. Aku adalah bagian dari dirimu, bagian dari kenangan yang tak pernah selesai. Aku bukan dia yang kau cintai, dan aku bukan pula bayangannya.”
Bagas terkejut. “Apa maksudmu? Apa yang terjadi pada dunia kita?”
Serly menghela napas berat, dan di mata yang kosong itu, ada kesedihan yang mendalam. “Kau terjebak di sini, di luar waktu, di dimensi tanpa nama. Di dunia ini, waktu tidak mengalir seperti yang kau tahu. Tak ada masa lalu, tak ada masa depan. Semua terhenti di titik ini. Tidak ada yang bisa kembali.”
“Aku harus kembali!” teriak Bagas. “Aku harus kembali ke Serly! Aku harus kembali ke masa itu, ke dunia kita!”
Serly menatapnya, wajahnya seperti dipenuhi dengan penderitaan yang sangat dalam. “Tidak ada kembali, Bagas. Cinta kita tidak bisa hidup di sini. Di luar waktu ini, kita hanyalah bayang-bayang. Jika kau tetap di sini, kau akan melupakan semuanya… bahkan aku.”
Bagas merasakan hatinya hancur. “Tidak! Aku tidak akan melupakanmu! Tidak akan pernah!”
Namun, sosok Serly itu tersenyum sedih. “Kau tidak mengerti. Di dunia ini, kita hanya ada sebagai ingatan. Kita akan terhapus, perlahan-lahan, hingga hanya ada sisa-sisa waktu yang hilang. Aku… aku bukan Serly yang kau kenal. Aku hanyalah cermin dari kenangan yang kau bawa.”
Pada saat itu, kabut mulai bergerak lebih cepat. Suara-suara aneh terdengar di sekelilingnya, suara bisikan yang saling bertabrakan, suara dari dimensi yang tak dikenal. Waktu itu sendiri mulai bergetar. Bagas merasa tubuhnya mulai terpecah, dan semakin dekat dengan kehampaan yang menelan semuanya.
“Bagas, kau harus membuat pilihan,” suara Serly itu terdengar lagi, lebih lemah, lebih jauh. “Kembali atau tinggal. Pilih.”
Bagas merasakan tubuhnya mengapung, seakan diterjang gelombang tak terlihat. Semua terasa kabur. Ia tahu, waktu ini hanya akan menguji seberapa besar cinta yang ia miliki untuk Serly. Di mana pun mereka berada, apakah ia bisa melepaskan kenangan untuk melangkah maju?
“Kembali ke dunia yang hilang…” bisik suara itu. “Atau tetap di sini, bersama kenangan yang abadi?”
BAB 11: Gerbang Kehampaan
Bagas terhuyung, tubuhnya seperti terbakar oleh cahaya tak kasat mata. Setiap kali ia berusaha menginjakkan kaki, tanah di bawahnya retak dan menghilang. Kabut di sekitarnya semakin tebal, dan suara-suara mengerikan bergema dari segala arah. Ia tak tahu lagi apa yang nyata dan apa yang hanyalah khayalan.
“Serly…” suara itu berbisik lagi, kali ini lebih jelas dan lebih memaksa. “Jika kau ingin kembali, kau harus menyerahkan satu bagian dari dirimu. Bagian yang paling penting.”
Bagas memegang dadanya, seakan mencoba meraih sesuatu yang hilang. “Apa yang harus kupersembahkan? Aku tak bisa meninggalkanmu di sini. Tidak begitu saja.”
Serly—atau sosok yang mirip dengannya—muncul kembali, kali ini lebih dekat. Matanya yang kosong kini dipenuhi dengan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap. “Kau harus memilih, Bagas. Kenanganmu, atau masa depanmu. Yang akan bertahan di dunia yang kau kenal hanyalah salah satu dari kami.”
“Tidak!” teriak Bagas. “Aku tak akan memilih. Aku… aku mencintaimu!”
Serly tersenyum, namun senyumnya itu kosong, penuh penderitaan. “Cinta tak selalu bisa membuat kita bertahan. Terkadang, cinta malah mengikat kita pada hal-hal yang tak bisa diubah. Waktu, kenangan, semuanya itu… hancur, Bagas.”
Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai berguncang. Gelombang cahaya hitam muncul dari bawah, menggulung semuanya. Bagas merasa dirinya terhanyut, namun ia berusaha untuk tetap berdiri. Di kejauhan, sebuah gerbang besar terbuka, penuh dengan bayangan yang berputar-putar.
“Gerbang Kehampaan…” suara itu terdengar lagi, lebih mengerikan. “Jika kau melewati gerbang itu, kau akan kembali ke dunia yang hilang. Tapi ada harga yang harus dibayar.”
Serly menghilang ke dalam bayangan, menyisakan hanya suara itu. “Satu-satunya cara untuk melanjutkan perjalanan ini… adalah meninggalkan semuanya yang ada. Kenanganmu, jiwamu, dan bahkan cintamu.”
Bagas memandang gerbang itu dengan penuh kebingungannya. Di dalam gerbang, ia bisa melihat bayangan dirinya, bayangan Serly, dan bayangan kehidupan mereka yang dulu. Namun semua itu terlihat seperti ilusi, seperti potongan-potongan puzzle yang tak pernah bisa disatukan.
“Bagaimana jika aku memilih untuk tetap di sini?” tanya Bagas, matanya penuh dengan keresahan. “Apa yang akan terjadi pada kita? Apa yang terjadi pada dunia?”
“Dunia ini tak akan bertahan, Bagas,” suara itu menjawab. “Semua yang ada di luar waktu hanya akan hancur. Kau dan Serly, kalian tak akan bisa menemukan kedamaian di sini. Kalian adalah bagian dari dimensi yang terjebak—kalian hanya akan menghancurkan semuanya.”
Air mata mulai mengalir di wajah Bagas. “Lalu, apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku bisa melupakan semuanya? Bagaimana bisa aku memilih antara cinta dan waktu?”
Suara itu berhenti. Hening. Lalu, sebuah jawaban datang, dengan bisikan yang hampir tak terdengar: “Kau harus melupakan Serly. Dan dalam melupakan dia, kau akan menemukan dirimu sendiri.”
Bagas merasa dunia di sekelilingnya mulai berputar. Bayangan dirinya, bayangan Serly, semua mulai mengabur. Ia melihat sosok Serly sekali lagi, namun kali ini Serly itu tampak berbeda—tak ada lagi senyuman, tak ada lagi harapan. Hanya ada kekosongan.
“Bagas,” suara Serly itu terdengar penuh dengan penderitaan, “Cinta tak bisa mengalahkan waktu. Terkadang, kita harus membiarkan pergi, agar yang lainnya bisa hidup.”
Bagas merasa hatinya robek. “Aku tak bisa! Aku tak bisa membiarkanmu pergi!”
“Ini bukan tentang pilihan. Ini tentang apa yang bisa bertahan di antara kehancuran,” jawab Serly. “Cinta ini bukan hanya milik kita. Cinta ini adalah bagian dari dunia yang lebih besar.”
Dengan langkah pelan, Serly mulai mundur, menyerah pada kekosongan yang mengelilinginya. “Jika kau ingin kembali ke dunia nyata, Bagas, kau harus menutup gerbang ini. Kau harus memilih untuk hidup tanpa kenangan kami.”
Bagas menggenggam dada, merasakan getaran yang mengguncang dirinya. Air mata membasahi pipinya. “Aku tak akan bisa hidup tanpa ingatanku tentangmu…”
Serly menghilang. Begitu saja.
Gerbang itu terbuka lebih lebar. Cahaya hitam mulai mengalir ke arah Bagas. Kini, pilihan ada di tangannya: menutup gerbang itu dan kembali ke dunia yang nyata, atau terus melangkah ke dalam kekosongan, menyerahkan dirinya pada waktu yang hilang.
Dengan berat hati, Bagas mengangkat kaki dan melangkah menuju gerbang itu.
BAB 12: Kenangan yang Hancur
Cahaya hitam itu semakin mendekat. Bagas bisa merasakan getaran di dalam tubuhnya, seperti ada ribuan jarum halus yang menembus jiwanya. Waktu di sekitarnya berhenti, dan suara-suara itu—suara Serly, suara bayangannya—semakin jauh, seperti gema dari dimensi yang terpisah.
Gerbang Kehampaan terbuka lebih lebar, menghisap segala yang ada di sekelilingnya. Bayangan masa lalu mulai mengalir keluar, tak berbentuk, namun penuh dengan kenangan—kenangan akan Serly yang tersenyum, kenangan akan percakapan mereka di bawah pohon besar di Singasari, kenangan akan saat-saat mereka bersama, penuh dengan harapan.
Namun, di balik kenangan itu, ada kegelapan yang terus berkembang. Sesuatu yang lebih besar, lebih mengerikan daripada yang Bagas bayangkan. Sesuatu yang sudah lama ada di luar waktu, menunggu untuk menelan segala yang ada di dalamnya.
“Apa yang harus kulakukan?” Bagas berteriak pada kegelapan itu, pada dirinya sendiri. “Apa yang harus kuberikan untuk kembali padamu, Serly?”
Di ujung gerbang itu, sosok Serly muncul kembali—namun kali ini, dia tidak tersenyum. Wajahnya penuh dengan penderitaan yang tak bisa disembunyikan. Matanya kosong, seolah ia telah kehilangan sesuatu yang sangat penting.
“Serly…” kata Bagas, suaranya bergetar. “Aku… aku tak bisa hidup tanpamu. Aku… aku akan mengorbankan apa saja. Aku akan kehilangan diriku, jika itu yang bisa membuat kita kembali.”
Serly hanya menatapnya dengan tatapan kosong, hampir tak mengenali siapa dirinya lagi. “Kau tidak mengerti, Bagas. Waktu ini, kenangan ini, cinta ini… mereka tidak bisa bertahan. Jika kau kembali, kau akan kehilangan semuanya. Bahkan aku. Bahkan kenangan tentang kita.”
Bagas maju selangkah, tangannya meraih sosok Serly. “Aku tidak peduli! Aku tidak peduli jika aku harus kehilangan segalanya. Aku hanya ingin kembali padamu! Aku ingin hidup dalam dunia yang kita bangun bersama, di mana waktu dan cinta berjalan bersamaan.”
Namun, Serly menghindar. “Kau akan terperangkap, Bagas. Semua yang kau miliki akan hancur jika kau tidak melepaskan kenangan itu.”
Bagas terhenti, tubuhnya terhuyung. Suara itu kembali terdengar—suara dari luar waktu, suara yang lebih tua, lebih mengerikan. “Bagas… kau tidak bisa kembali. Semua yang ada di luar waktu hanya akan menghilang. Bahkan kamu, bahkan Serly.”
“Jangan katakan itu!” teriak Bagas, matanya terbakar dengan tekad. “Aku tidak akan menyerah!”
Tiba-tiba, gerbang itu mengeluarkan teriakan keras, dan segala sesuatu di sekelilingnya mulai berputar semakin cepat. Bayangan hitam itu semakin mendekat, siap menghisap seluruh dunia yang ada di dalam gerbang. Dalam sekilas, Bagas melihat wajah Serly sekali lagi—wajah yang penuh dengan rasa cinta yang tulus, namun juga penuh dengan kesedihan.
“Bagas, jika kau ingin menyelamatkanku… kau harus melepaskan kenangan itu,” kata Serly, suaranya serak, penuh keputusasaan.
Bagas menatapnya dengan wajah yang penuh air mata. “Aku… aku tidak bisa melupakanmu! Tidak bisa!”
Serly berjalan ke arahnya, menggenggam tangan Bagas dengan erat. “Jika kau terus bertahan, kau akan menghancurkan semuanya, Bagas. Waktu yang kita miliki, cinta yang kita jalin—itu semua bukan milik kita lagi. Mereka adalah bagian dari dunia yang lebih besar. Kita hanya bisa ada sebagai kenangan.”
“Tidak!” teriak Bagas, kepalanya dipenuhi kekacauan. “Tidak! Aku akan membawamu kembali!”
Serly menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. “Kau tidak bisa kembali ke dunia yang sudah hilang, Bagas. Kau harus memilih. Pilih antara mencintai kenangan itu dan mengorbankan masa depanmu, atau melepaskannya dan hidup di dunia yang baru. Dunia tanpa kita.”
Bagas merasa jantungnya terhimpit. Semua yang ia tahu, semua yang ia inginkan, semuanya terancam hilang dalam sekejap. “Tapi… bagaimana aku bisa hidup tanpa kenangan itu? Tanpa cinta kita?”
Serly menghapus air mata Bagas. “Kau bisa hidup tanpa kenangan itu, karena aku akan selalu ada di dalam hatimu. Aku akan selalu ada, meski tak ada lagi waktu yang kita jalani bersama.”
Dengan kekuatan yang tersisa, Bagas menggenggam keris pemberian Mahesa, dan dengan satu langkah besar, ia berjalan ke gerbang yang semakin gelap. Ketika ia sampai di ambang gerbang, ia menoleh sekali lagi ke Serly.
“Jika ini adalah akhir, aku akan memilih untuk melupakan kenangan kita… demi dunia yang baru,” kata Bagas, suaranya bergetar.
Serly tersenyum terakhir kalinya. “Aku akan selalu mencintaimu, Bagas… di mana pun kita berada.”
Gerbang itu menutup. Dunia yang hancur perlahan menghilang, meninggalkan hanya kegelapan.
BAB 13: Dunia Baru, Tanpa Kenangan
Bagas terbangun di dunia yang asing. Di sekelilingnya, tidak ada lagi kabut hitam yang menelan waktu, tidak ada lagi bayangan Serly yang menyiksa batinnya. Dunia ini terang, namun terasa kosong. Langitnya biru, namun tidak ada awan. Tanahnya kering dan gersang, seolah-olah dunia ini tidak pernah tahu tentang hujan, atau kehidupan yang tumbuh dengan alami.
Langkahnya berat. Setiap gerakan tubuhnya terasa seperti sebuah kenangan yang hilang, seolah ia berjalan tanpa arah, tanpa tujuan. Ia mencoba mengingat, namun setiap kali ia mencoba meraih sesuatu—sebuah wajah, sebuah suara—semua itu menghilang, seperti kabut yang terbawa angin.
"Apa yang terjadi?" Bagas bergumam pada dirinya sendiri. “Kenapa aku di sini?”
Tidak ada jawaban. Dunia ini hanya menyambutnya dengan kesunyian yang mencekam.
Ia memandang sekeliling, mencari petunjuk, namun hanya ada kehampaan. Beberapa bangunan runtuh di kejauhan, reruntuhan yang tampaknya berasal dari zaman yang jauh lebih kuno. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, dan ia bisa merasakannya di dalam dirinya. Suatu kehampaan yang meresap ke dalam jiwanya, seperti sebuah kekosongan yang menggerogoti segalanya.
Tiba-tiba, suara itu muncul lagi—suara yang familiar, namun kali ini terdengar lebih jauh dan lebih asing. "Bagas…"
Bagas berhenti, tubuhnya membeku di tempat. Suara itu, meskipun jelas, tidak membawa rasa kenangan yang ia kenal. Itu bukan suara Serly yang ia ingat. Suara itu… lebih jauh. Lebih dalam. Ada keanehan dalam setiap kata yang keluar dari suara itu.
"Siapa yang memanggilku?" Bagas berteriak, suaranya bergema di dalam kehampaan ini.
Dari balik reruntuhan, muncul sosok seorang wanita. Dia mengenakan pakaian yang sangat kuno, dengan rambut panjang yang terurai. Namun wajahnya tertutup bayangan, dan ia berjalan perlahan mendekat.
"Siapa kamu?" tanya Bagas, langkahnya mundur, merasa ada sesuatu yang tak beres.
Wanita itu berhenti tepat di hadapannya, wajahnya masih tertutup bayangan. "Kau… Bagas, bukan?"
Bagas mengangguk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Wajah wanita itu masih gelap, namun ada perasaan yang mengusik hatinya. Rasanya seperti ada sesuatu yang pernah ia kenal, namun entah apa.
“Di sini, kenangan tidak ada lagi,” wanita itu berkata, suaranya penuh dengan kesedihan. “Semua yang kau tinggalkan, semua yang kau lupakan, mereka semua menjadi debu.”
“Apa maksudmu?” tanya Bagas, bingung. “Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi dengan dunia ini?”
Wanita itu menghela napas, perlahan membuka wajahnya. Bagas terperangah. Wajah wanita itu… ada sesuatu yang familiar. Di balik bayangannya, ada mata yang hampir sama dengan mata Serly. Namun tidak, itu bukan Serly. Itu adalah sesuatu yang lebih tua, lebih dalam, dan lebih gelap.
“Aku adalah bagian dari dunia yang kau tinggalkan, Bagas. Dunia yang dilupakan. Dunia ini adalah tempat bagi mereka yang memilih untuk melepaskan kenangan mereka.”
“Dunia yang dilupakan?” Bagas mengerutkan kening. “Kenapa aku ada di sini? Aku… aku memilih untuk kembali! Aku memilih untuk hidup, untuk mencintai!”
Wanita itu tersenyum pahit. “Kau memilih untuk melupakan, dan dalam melupakan, kau menghidupkan dunia ini. Tapi dunia ini tidak akan memberi apa yang kau harapkan. Kau kehilangan segalanya, bahkan dirimu sendiri.”
Bagas merasa tubuhnya semakin lemah. Setiap kata yang keluar dari wanita itu mengikis jiwanya, seolah-olah ia sedang mengingat sesuatu yang telah hilang, sesuatu yang sangat penting. Namun, ia tidak bisa ingat.
“Siapa… siapa kamu?” tanya Bagas, suaranya terputus-putus.
Wanita itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba, tanah di sekitar mereka mulai bergerak. Reruntuhan bangunan yang ada di kejauhan mulai terangkat, membentuk sebuah pilar besar yang mengelilingi mereka. Dalam sekejap, Bagas merasa dirinya terjebak di dalam sebuah lingkaran yang tak bisa keluar.
“Aku adalah penjaga kenangan yang hilang, Bagas. Aku adalah bagian dari dunia yang tercipta dari mereka yang melepaskan segala yang ada,” wanita itu menjelaskan dengan suara yang lebih dalam. “Kau telah membuka gerbang ini, dan kau sekarang adalah bagian dari dunia ini. Dunia yang tak memiliki waktu, tak memiliki kenangan, dan tak ada lagi harapan.”
“Tidak!” teriak Bagas, tubuhnya gemetar. “Aku tidak bisa hidup di sini! Aku… aku harus kembali ke Serly! Aku harus kembali!”
Wanita itu menggelengkan kepala. “Serly sudah hilang. Semua yang kau cintai telah terhapus oleh waktu. Kau hanya tinggal bayangan dari dunia yang tak pernah ada.”
“Tidak!” Bagas menjerit. “Aku akan menemukan jalan keluar! Aku akan kembali, aku akan membuat waktu kembali seperti semula!”
Tapi wanita itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong. “Waktu sudah selesai, Bagas. Tidak ada yang bisa kembali. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi.”
Bagas merasakan hatinya hancur. Kenangan tentang Serly, tentang hidupnya yang dulu, semuanya terasa seperti serpihan yang tak bisa disatukan. Namun di balik kepedihan itu, ada satu hal yang tetap hidup—tekad yang tidak bisa dimusnahkan.
“Jika aku harus melupakan semuanya, aku akan mencari jalan baru,” kata Bagas dengan penuh keyakinan, meski suaranya bergetar. “Aku tidak akan menyerah. Aku akan hidup, apapun yang terjadi.”
BAB 14: Akhir yang Tak Terucapkan
Dunia di sekitar Bagas runtuh lebih cepat daripada yang bisa ia pahami. Reruntuhan bangunan di sekelilingnya berputar, melayang, seakan berusaha menariknya kembali ke dalam kekosongan yang ia coba hindari. Langitnya gelap, tak ada bintang. Hanya ada kegelapan, seperti bayangan yang menelan segalanya. Dunia ini—dunia yang pernah ia kenal—telah hilang. Segalanya kini ada di ujung kehancuran. Tak ada lagi Serly, tak ada lagi harapan, hanya sebuah dunia yang kosong.
“Kenapa… kenapa ini semua terjadi?” Bagas berseru, tangannya gemetar saat ia meraih debu yang melayang di udara. “Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini! Aku tidak mau melupakanmu, Serly!”
Di depan matanya, sebuah cahaya kecil mulai muncul, seolah memanggilnya. Bagas tahu itu bukan kebetulan. Itu adalah sebuah harapan terakhir, sebuah janji yang tak terucapkan, sebuah janji untuk menemukan jalan kembali—atau mungkin, untuk melupakan semuanya.
Bagas berlari menuju cahaya itu, meskipun dunia di sekelilingnya semakin hancur. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seperti ada beban yang tak bisa ia lepas. Kenangan tentang Serly, kenangan yang telah ia tinggalkan, mulai kembali datang seperti angin kencang yang menerpa wajahnya.
Tiba-tiba, di tengah kegelapan, sosok itu muncul lagi—Serly. Tapi kali ini, dia berbeda. Dia tidak lagi tersenyum, tidak lagi mengingatkan Bagas tentang cinta mereka. Wajahnya penuh dengan kesedihan, dengan luka yang tak bisa dijelaskan.
“Serly…” bisik Bagas, hatinya serasa tercabik. “Kenapa kau ada di sini? Kenapa kita tidak bisa bersama? Aku… aku tidak bisa melupakanmu.”
Serly menatapnya dengan tatapan kosong, matanya penuh dengan air mata yang tak terjatuhkan. “Kau sudah memilih, Bagas. Pilihanmu telah membawa kita ke sini. Dunia ini adalah hasil dari keputusan yang kita buat.”
“Tidak!” teriak Bagas, tubuhnya gemetar. “Aku tidak pernah memilih ini! Aku hanya ingin kembali ke dunia yang kita bangun bersama! Aku tidak ingin hidup tanpa kenangan itu! Tanpa kamu!”
Serly mendekat, tangannya menyentuh wajah Bagas. “Kau harus melepaskan itu, Bagas. Jika kau ingin hidup, jika kau ingin melangkah ke depan, kau harus melepaskan kenangan kita. Kau harus melepaskan masa lalu itu, meskipun itu menyakitkan.”
Bagas terhuyung, merasa seolah dunia berputar di sekelilingnya. “Tidak… aku tidak bisa hidup tanpa kamu! Tanpamu, aku tak punya apa-apa lagi. Semua yang ada di diriku adalah kenangan kita!”
Serly menggenggam tangan Bagas, dan dalam sekejap, mereka berdiri di tepi jurang, tempat di mana dunia yang hancur itu terbelah. Dunia ini tak ada lagi. Hanya ada mereka berdua, berdiri di batas waktu, tempat yang tak terjangkau oleh apa pun, kecuali pilihan terakhir.
“Bagas… jika kau ingin aku kembali, kau harus membayar harga yang sangat tinggi,” suara Serly mengalun lembut, namun penuh dengan kepedihan yang dalam. “Tapi kau juga tahu, bahwa dalam menginginkan aku kembali, kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”
Bagas mengangkat wajahnya, menatap Serly dengan mata penuh tekad. “Aku tak peduli. Aku akan memilihmu. Apa pun yang harus kulakukan. Aku akan memberikan apa saja—semuanya—untuk kembali kepadamu.”
Serly meneteskan air mata, wajahnya memudar dalam cahaya yang semakin redup. “Kau tidak mengerti, Bagas. Aku akan kembali, tapi tidak dengan cara yang kau inginkan. Kenangan itu, kita… semuanya akan hilang. Aku akan menjadi bayangan, seperti yang lain. Aku akan menghilang dalam waktu yang tidak pernah ada.”
Bagas menggenggam tangan Serly dengan segenap kekuatan. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kita bersama. Tak peduli apapun harga yang harus kubayar.”
Serly menarik tangan Bagas, dan dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Keheningan yang dalam menyelimuti mereka, dan dalam gelap itu, hanya ada satu suara yang terdengar. Suara Serly, sangat dekat di telinga Bagas, namun juga seolah jauh, seperti datang dari dimensi yang tak terjangkau.
“Kau akan selalu mencintaiku, Bagas. Di dunia yang baru ini… aku akan selalu ada di hatimu. Bahkan jika kita tak pernah bersama lagi.”
Bagas merasakan sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan, seolah jiwanya tercabik. Dan dalam detik itu, dunia yang dulu ada di sekitar mereka—dunia mereka—berubah menjadi bayangan yang hilang. Waktu pun terhenti.
Bagas terjatuh di tempatnya, terisak tanpa suara, merasa seperti bagian dari dirinya hilang untuk selamanya. Ia telah memilih, ia telah menerima takdir. Namun harga yang harus dibayar jauh lebih tinggi dari yang bisa ia bayangkan. Dunia tanpa Serly—tanpa kenangan itu—terlalu sepi untuk dijalani.
Di bawah langit yang gelap, di tengah kehampaan yang menyelimuti, Bagas akhirnya berbisik pada dirinya sendiri, sebuah kata yang seolah tak mampu diucapkan oleh siapa pun.
“Aku akan mencintaimu selamanya, Serly. Meski dunia ini telah hancur, meski kita terpisah oleh waktu dan ruang… aku akan selalu mencintaimu.”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penutupan: Inilah akhir dari perjalanan panjang Bagas dan Serly, sebuah perjalanan yang penuh dengan emosi, pengorbanan, dan pilihan yang tak mudah. Semua yang mereka jalani, semua yang mereka cintai, berakhir dengan sebuah perpisahan yang tak terucapkan, namun tetap abadi dalam hati mereka. Dunia ini mungkin telah hancur, namun kenangan mereka—meskipun hilang—tetap akan hidup selamanya, terukir di dalam jiwa mereka.
Apa yang terjadi setelah ini? Itu adalah cerita lain yang masih tersembunyi, di balik bayang-bayang waktu yang tak pernah selesai.
---------------------------------------------- TAMAT ----------------------------------------------
Baca juga :
sekuel Elara: Bayang di Balik Tahta.
Komentar
Posting Komentar