"Bayangan di Balik Waktu"
BAB 1 - Retakan Waktu
![]() |
Baca Juga : sekuel Elara: Bayang di Balik Tahta. |
Langit Jakarta berwarna kelabu ketika Elara memandangi monitor transparan di lab bawah tanah milik Universitas Teknologi Nusantara. Hanya suara mesin yang berdengung pelan menemani pikirannya yang kalut. Hari ini, ia akan menguji alat eksperimental ciptaannya — sebuah prototipe gerbang waktu berbasis distorsi gravitasi mikro.
Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Elara sudah menjadi nama yang dikenal di kalangan ilmuwan muda. Dengan kecerdasannya yang luar biasa dan dedikasi penuh pada riset, ia berhasil membangun mesin eksperimen waktu yang disebutnya ChronoSphere.
“Sistem stabil... energi cukup... tapi tetap saja, ini gila,” gumamnya sambil menyesuaikan parameter pada panel kendali. Ia tahu, jika percobaan ini gagal,
bukan hanya reputasinya yang hancur — bisa jadi tubuhnya ikut tercerai berai dalam ruang-waktu.
Di sisi lain ruangan, suara rekan kerjanya, Rio, menggema. “El, kau yakin mau masuk sendiri ke dalam itu?” Elara hanya mengangguk singkat, ekspresinya dingin tapi mantap. “Tak ada kemajuan tanpa risiko,” jawabnya, memasuki kapsul silinder berlapis logam transparan.
Detik berikutnya, listrik menyambar, membentuk pusaran cahaya di tengah ruangan. Elara merasakan seluruh tubuhnya terangkat, lalu terdorong, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Suara Rio memudar, digantikan oleh dengung frekuensi yang menusuk telinga.
Waktu runtuh. Ruang berputar. Elara tak lagi melihat apa-apa selain kilatan cahaya yang tak dikenal. Sejenak, ia merasa tak memiliki tubuh. Kesadaran mengambang dalam kegelapan bercahaya. Ia mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.
Kemudian, dengan tiba-tiba, semuanya berhenti. Dunia kembali padat. Ia jatuh menabrak tanah keras, tubuhnya terguling di atas rerumputan liar. Bau tanah, daun kering, dan suara burung aneh menusuk hidung dan telinganya.
Elara membuka mata perlahan. Cahaya matahari terasa asing. Pohon-pohon menjulang tinggi, liar dan tak dikenal. Tak ada gedung pencakar langit, tak ada suara kendaraan, hanya hutan lebat yang tak tersentuh peradaban.
“Dimana... aku?” napasnya terengah. Ia berdiri perlahan, menepuk-nepuk debu di bajunya yang setengah robek karena perjalanan. Alat ChronoSphere di pergelangan tangannya berkedip pelan, lalu mati. Ia mencoba menyalakannya, tapi tak ada respons.
Langkah kakinya tertatih saat ia menjelajahi sekitar. Ia menemukan jalan tanah kecil yang tampak sering dilalui. Dengan logika dan insting bertahan hidupnya, ia memutuskan mengikuti jejak itu. Semakin jauh berjalan, suara air sungai mulai terdengar.
Di kejauhan, asap mengepul dari balik pepohonan. Elara mempercepat langkah, berharap menemukan peradaban — atau setidaknya, manusia. Tapi hatinya juga diliputi kecemasan: apakah ia masih di masa sekarang, atau... di waktu lain?
Ketika ia mencapai sumber asap itu, pandangannya membeku. Di depannya berdiri sekelompok orang berpakaian kain batik dan logam. Mereka membawa tombak, keris, dan mengenakan ikat kepala. Beberapa menaiki kuda. Ini bukan sandiwara atau reenactment.
Seorang pria berperawakan besar menunjuk ke arahnya dan berteriak, “Penunggang petir! Tangkap dia!” Seketika, para prajurit berlari ke arahnya. Elara panik, mencoba lari, tapi tak cukup cepat. Sebuah tombak menghantam tanah tepat di depan kakinya.
Dalam sekejap, ia terkepung. Tangan-tangannya ditarik kasar, tubuhnya diikat. Elara berteriak, mencoba menjelaskan, “Aku bukan musuh! Aku manusia!” tapi mereka tak mengerti. Bahasa mereka terdengar kuno, namun cukup dikenalinya sebagai bentuk awal Bahasa Jawa.Dengan tubuh terikat dan kepala dipaksa menunduk, Elara dibawa menuju desa — atau kota — yang tampaknya menjadi pusat kekuasaan. Ia tak tahu pasti di mana ia berada. Tapi satu hal jelas: ia telah meninggalkan tahun 2025. Dan dunia baru, atau lama, siap mengujinya.
BAB 2 – Dunia yang Terlupa
Elara diangkut menaiki kereta kayu yang ditarik oleh dua ekor kerbau besar. Jalannya berguncang hebat di atas jalan tanah berbatu. Sekelilingnya, hutan berubah perlahan menjadi ladang dan pemukiman kecil yang dikelilingi pagar bambu.
Di kejauhan, dinding tembok bata merah tampak menjulang di antara pepohonan. Ia menyipitkan mata. Itu bukan reruntuhan, melainkan bangunan yang utuh dan hidup. Di gerbang besar bertuliskan aksara Jawa kuno, dua penjaga berjubah berdiri tegak, menatap rombongan dengan penuh curiga.
“Kerajaan Majapahit...” bisik Elara lirih, hatinya terguncang. Ia mengenali simbol-simbol pada gerbang dan bendera — lambang Surya Majapahit, yang selama ini hanya ia lihat dalam buku sejarah. Tapi sekarang, ia hidup di dalamnya.
Ia dibawa masuk melewati pasar yang ramai. Orang-orang mengenakan pakaian tradisional; kain tenun, ikat kepala, dan selendang. Bau rempah, asap sate, dan suara gamelan menciptakan atmosfer yang begitu nyata. Ini bukan simulasi. Ini masa lalu.
Anak-anak menunjuk ke arahnya, berbisik takut dan penasaran. “Wong asing!” “Dhemit saka langit!” seru mereka. Elara hanya bisa menunduk, tak ingin membuat keributan. Ia tahu satu langkah salah bisa membuatnya dianggap ancaman.
Rombongan berhenti di halaman sebuah pendopo luas, dihiasi ukiran naga dan burung garuda. Di atas singgasana batu, duduk seorang lelaki gagah mengenakan mahkota emas — Raja Hayam Wuruk, pemimpin besar Majapahit.
Di samping raja, berdiri sosok tua berjubah hitam dan bersenjata keris: Mahapatih Gajah Mada. Tatapannya tajam seperti mata elang. Elara bisa merasakan aura kewaspadaan dan kekuatan yang terpancar dari pria itu.
“Namamu?” tanya sang raja dengan suara tegas namun tenang. Elara menelan ludah, mencoba mengingat pelafalan Jawa Kuno. “Hamba... bernama Elara, Paduka,” jawabnya terbata, namun cukup jelas untuk dipahami.
Ruangan menjadi sunyi. Beberapa menteri saling berbisik. “Nama yang aneh,” gumam salah satu. Elara tahu bahwa namanya terdengar asing, bahkan tidak cocok untuk budaya lokal. Tapi ia tak bisa berbohong terlalu jauh.
“Dari mana asalmu?” tanya Gajah Mada. Elara diam sejenak. Ia tak mungkin berkata dari abad ke-21. Maka ia menjawab setengah jujur, “Dari tanah jauh yang tak dikenal... Di sana, langit penuh petir dan roda besi melaju cepat.”
Para penasihat saling pandang. Seorang pendeta berbisik, “Mungkin ia utusan dewa... atau iblis.” Raja menatap Elara lebih dalam, lalu memberi isyarat agar tali ikatannya dilepaskan. “Jika kau bukan musuh, kau akan diberi kesempatan menjelaskan.”
Elara mengangguk dalam. Ia tahu saat ini adalah titik penting — kepercayaan adalah segalanya. Ia tak bisa mengungkapkan semua, tapi juga tak bisa berdiam. Maka ia mulai bercerita tentang "negeri jauh" yang penuh cahaya, tentang ilmu pengetahuan dan alat-alat ajaib.
Gajah Mada terlihat ragu, tapi Raja Hayam Wuruk tampak tertarik. “Ilmumu aneh, namun ada logikanya. Kau akan diawasi. Jika benar kau berguna bagi Majapahit, maka kau akan disambut sebagai tamu. Jika tidak... kau akan diusir, atau lebih buruk.”
Seorang abdi perempuan membawakan pakaian bersih untuknya. “Bersihkan dirimu. Kau akan tinggal di paviliun selatan,” kata sang raja. Elara menunduk hormat, penuh rasa lega namun juga cemas. Ia selamat — untuk saat ini.
Malam itu, dari jendela kecil paviliunnya, Elara menatap langit penuh bintang. Jauh berbeda dari lampu kota tahun 2025. Tapi satu hal jelas: ia telah melangkah masuk ke dalam sejarah, dan tak ada jalan pulang. Belum.
BAB 3 – Bayangan Perang
Mentari pagi menyinari langit Majapahit dengan warna keemasan, namun ketenangan itu tidak menenangkan hati Elara. Ia berdiri di beranda paviliunnya, memandang halaman istana yang mulai dipenuhi prajurit berlatih. Suasana damai hanya ilusi—ia tahu badai akan datang.
Desas-desus yang ia dengar di pasar istana tentang pergerakan Daha mulai membuatnya waspada. Ia mengenal sejarah ini. Jika benar ini tahun-tahun menjelang Perang Paregreg, maka kerajaan akan segera berada di ambang kehancuran.
Ia mencoba mengingat pelajaran sejarah dari masa depan. Perang Paregreg adalah konflik antara Majapahit barat dan timur, dipicu oleh perebutan kekuasaan setelah wafatnya Hayam Wuruk. Tapi sesuatu terasa janggal—Gajah Mada masih hidup, dan ini tidak sesuai catatan sejarah.
Elara mulai mencatat peristiwa yang ia lihat dalam sebuah buku kecil dari masa depan yang masih ia bawa. Ia merasa seperti penjelajah waktu sekaligus sejarawan yang terjebak dalam cerita yang belum selesai ditulis.
Ia pergi ke perpustakaan istana—tempat yang nyaris sakral, penuh dengan lontar, prasasti, dan naskah kuno. Seorang pustakawan tua bermata sipit dan berjari keriput menatapnya heran saat ia meminta akses ke dokumen-dokumen strategi perang.
Dengan bahasa yang sopan dan hati-hati, Elara meyakinkan sang pustakawan bahwa ia hanya ingin belajar. Setelah beberapa tatapan ragu, pria tua itu mengangguk dan mempersilakannya masuk ke ruang penyimpanan terbatas.
Elara menghabiskan waktu berjam-jam mempelajari gulungan tua, mencatat posisi benteng Daha, taktik pengepungan, dan kelemahan medan. Ia takjub—catatan militer Majapahit ternyata jauh lebih maju dari yang dibayangkan sejarahwan modern.
Tapi ia juga melihat celah—celah yang bisa digunakan untuk menghentikan perang. Dengan pengetahuannya tentang strategi modern, ia mulai menggambar sketsa pertahanan baru: jaringan pengintai, benteng segitiga, jalur pasokan tersembunyi.
Ia juga menggunakan konsep taktik gerilya, zona mati, dan jebakan tak terlihat. Sketsa kasar ia buat di atas lembar daun lontar, menggunakan tinta tradisional yang terasa asing namun menenangkan.
Hari berikutnya, ia meminta audiensi dengan Gajah Mada. Sang mahapatih, meski masih ragu, memberikan waktu singkat untuk mendengar presentasinya. Di hadapan para panglima, Elara menjelaskan dengan hati-hati.
Ia mengajarkan bagaimana angin dan topografi bisa digunakan untuk keuntungan mereka. Bagaimana sinyal asap, pantulan cahaya, dan taktik pengecoh bisa memperlambat musuh. Beberapa panglima mengernyit, yang lain mulai mengangguk pelan.
Gajah Mada tidak langsung memberi pujian. Ia hanya berkata, “Kau berbicara seperti seorang brahmana dan bertindak seperti seorang ksatria. Tapi perang bukan sekadar taktik. Ini soal kepercayaan.” Elara mengangguk. Ia tahu, kepercayaan lebih sulit ditaklukkan dari benteng mana pun.
Raja Hayam Wuruk akhirnya ikut mendengar ide-ide Elara. Ia tampak tertarik, bahkan mulai menanyakan detail teknis seperti rute logistik dan cara membuat menara pengintai. Elara menjawab semuanya dengan mantap.
Sang raja kemudian berkata, “Kita akan mencoba idemu di perbatasan. Jika berhasil, Majapahit berutang padamu. Jika gagal… kau akan menghadapi Mahapatih.” Elara membungkuk hormat, menerima tantangan itu.
Malam harinya, saat bintang kembali menyala di atas langit yang asing, Elara sadar bahwa misinya tidak hanya bertahan hidup. Ia di sini untuk mengubah sejarah. Atau mungkin… menyelamatkannya.
BAB 4 – Kepercayaan Sang Raja
Hari itu, angin bertiup kencang dari timur. Di medan pelatihan luar istana, Elara berdiri di samping para prajurit yang mengenakan baju zirah ringan dari kulit dan logam. Matanya menelusuri tiap gerakan mereka — kuat, terlatih, tapi belum siap menghadapi perang gaya baru.
Ia menggelar sebuah simulasi taktik berdasarkan idenya — formasi kipas yang memanfaatkan medan hutan dan sungai. Bersama dua panglima muda yang mulai mempercayainya, ia membagi tugas: kelompok penyerang, pengintai, dan penjebak.
Elara membuat replika miniatur medan di atas pasir dengan batu-batu kecil dan ranting, menjelaskan bagaimana serangan kejutan bisa dilakukan dari celah alami di tebing, serta bagaimana menghindari jebakan musuh dengan pola zig-zag acak.
Awalnya, banyak yang menertawakan pendekatannya. Mereka terbiasa dengan kekuatan frontal, adu senjata, dan duel satu lawan satu. Tapi setelah dua simulasi, mereka mulai melihat hasil: kelompok Elara selalu menang.
Seorang panglima tua bernama Arya Tunjung, yang sebelumnya skeptis, mendekatinya dan berkata, “Ilmumu aneh, tapi berguna. Aku belum pernah melihat cara pikir seperti itu.” Elara hanya tersenyum. Ia tahu itu adalah awal dari penerimaan.
Di dalam istana, Raja Hayam Wuruk mulai membicarakan Elara dalam rapat-rapat kecil. “Orang asing itu membawa angin baru. Aku ingin melihat lebih banyak darinya,” ucapnya pada Gajah Mada. Mahapatih itu hanya mengangguk diam, matanya tetap awas.
Tak lama kemudian, Elara dipanggil langsung ke ruang dalam kerajaan — sebuah kehormatan yang langka. Ruangan itu penuh aroma dupa, dan cahaya lilin menari-nari di dinding ukiran kayu jati yang dipenuhi relief kisah Mahabharata.
Sang raja duduk santai, namun matanya tajam seperti seorang jenderal. “Katakan padaku, Elara. Di negerimu, bagaimana para raja mempertahankan kekuasaan?” Elara menatapnya dengan hormat, lalu menjawab, “Dengan ilmu, teknologi, dan kepercayaan rakyatnya.”
Hayam Wuruk mengangguk pelan. “Aku tak peduli dengan alat ajaibmu. Tapi aku melihat matamu. Kau pernah melihat dunia terbakar oleh perang, bukan?” Elara terdiam. Ingatannya kembali ke berita-berita di tahun 2025—konflik global, kecemasan nuklir, bencana iklim.
“Aku tidak ingin Majapahit menjadi korban sejarah,” lanjut sang raja. “Jika kau bisa membantuku mencegahnya, maka mulai hari ini kau bukan sekadar tamu — kau adalah penasihat.” Elara hampir tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Pengangkatannya diumumkan secara terbatas, hanya di kalangan dalam istana. Beberapa bangsawan keberatan, menganggapnya penghinaan bahwa orang asing menduduki posisi penting. Tapi Hayam Wuruk bersikeras. “Kita tidak boleh sombong di ambang jurang.”
Elara diberikan ruang kerja di dalam istana, lengkap dengan bahan-bahan untuk menulis dan menggambar. Ia mulai membentuk tim kecil: tukang kayu, pengrajin logam, dan seorang juru tulis cerdas bernama Rakai Lintang.
Bersama mereka, Elara membangun prototipe menara pengintai tinggi dari bambu dan sistem komunikasi asap terstruktur. Ia juga mulai mengembangkan semacam kode isyarat sederhana yang bisa disampaikan antar pos dalam hitungan menit.
Di malam hari, ia kadang termenung di beranda, memandang langit yang berbeda tapi sama. “Apakah aku melanggar hukum waktu?” pikirnya. “Apa dampaknya bagi sejarah jika aku ikut campur terlalu dalam?” Tapi ia tahu, ia tak bisa hanya jadi penonton.
Dengan status barunya sebagai penasihat kerajaan, Elara tahu tantangan sesungguhnya baru dimulai. Ia harus menjaga keseimbangan antara apa yang ia tahu dan apa yang boleh ia ubah. Dan di kejauhan, bayangan konflik terus mendekat.
BAB 5 – Intrik di Balik Dinding Istana
Suara langkah-langkah berderak di koridor istana saat Elara menuju ruang kerjanya. Rakai Lintang, si juru tulis setia, sudah menunggu di sana dengan wajah cemas. “Gusti Elara… ada yang aneh pagi ini. Dua panglima membatalkan latihan tanpa alasan.”
Elara meletakkan gulungan sketsanya dan menghela napas. “Apa mereka menyebut alasan apa pun?”
Lintang menggeleng. “Tidak, Gusti. Tapi saya dengar bisik-bisik... beberapa bangsawan tak senang karena Paduka Raja mempercayaimu terlalu cepat.”
Elara duduk perlahan. “Aku sudah menduganya. Mereka tidak suka ada orang luar yang tiba-tiba diberi kuasa.” Ia menatap jauh keluar jendela. “Tapi ini bukan soal suka atau tidak. Ini soal masa depan Majapahit.”
Sore itu, Elara dipanggil untuk menghadiri pertemuan kecil dengan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Ruangan itu sunyi ketika ia masuk, hanya suara air dari kolam kecil yang menenangkan suasana.
“Elara,” ucap sang raja, “ada yang ingin kutanyakan padamu... dengan jujur. Kau bukan hanya tahu banyak, tapi seolah-olah kau telah melihat apa yang akan terjadi.”
Elara menatap langsung ke mata Hayam Wuruk. “Yang Paduka rasakan… tidak salah. Aku memang tahu hal-hal yang belum terjadi. Tapi bukan karena aku penyihir atau dewa.” Ia berhenti sejenak. “Aku datang dari masa depan.”
Gajah Mada berdiri, tangan siap meraih keris. “Kau main-main dengan kami?”
“Tidak, Mahapatih,” jawab Elara tegas. “Aku tidak datang ke sini karena mau. Aku terlempar ke masa ini oleh peristiwa yang bahkan aku tak mengerti. Tapi jika aku di sini, maka tugasku adalah mencegah kehancuran yang akan menimpa negeri ini.”
Hayam Wuruk tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Kemudian ia tersenyum tipis. “Kau tahu... aku sudah menduga sejak awal. Kata-katamu, cara berpikirmu, bahkan tulisanmu—semuanya tak berasal dari dunia ini.”
Gajah Mada perlahan duduk kembali. “Jika benar begitu, maka kau harus membuktikan dirimu. Kata-kata saja tak cukup.”
“Berikan aku satu minggu,” ujar Elara. “Aku akan merancang sistem komunikasi cepat antar-pos terluar Majapahit. Jika berhasil, kita bisa mendeteksi serangan dalam waktu singkat dan mengatur pasukan sebelum musuh mencapai gerbang.”
Hayam Wuruk menoleh ke Gajah Mada. “Setuju?”
Mahapatih mengangguk pelan. “Satu minggu. Tapi jika kau gagal… aku sendiri yang akan mengusirmu dari istana.”
Saat keluar dari ruangan itu, Elara tak bisa menahan degup jantungnya. Tapi di balik tekanan itu, ada nyala semangat. “Baik,” bisiknya pelan, “kalau ini permainan kekuasaan, aku akan bermain dengan caraku sendiri.”
BAB 6 – Mata dan Telinga Majapahit
Di halaman barat istana, Elara berdiri di atas tanah yang baru dibersihkan, menunjuk ke arah bukit kecil tak jauh dari situ. “Di sana akan kita bangun menara pengintai pertama,” katanya kepada Rakai Lintang dan para pengrajin bambu.
“Tapi Gusti,” ujar salah satu pengrajin, “kami belum pernah membangun menara setinggi itu. Bambu bisa patah kalau tidak diperkuat.” Elara tersenyum dan mengeluarkan gambar rancangan dari gulungan kulit kambing.
“Ini bukan hanya soal tinggi,” katanya. “Ini soal keseimbangan dan fondasi. Kita akan gunakan struktur segitiga dan simpul silang. Di negeriku, itu disebut prinsip truss.” Para pengrajin saling berpandangan bingung, tapi mengangguk pelan.
Selama lima hari penuh, mereka bekerja tanpa henti. Elara sendiri ikut mengikat tali, menyusun bambu, dan mengukur sudut. Kepercayaannya tumbuh karena ia tidak hanya memerintah — ia bekerja bersama mereka.
Malam keempat, saat ia sedang memeriksa kekokohan tiang menara, Lintang datang tergesa-gesa. “Gusti, ada masalah. Gulungan rancangannya… hilang dari ruang kerja.”
“Apa?” Elara segera berlari kembali ke ruangnya. Lemari ukiran jati itu terbuka, rak-rak acak-acakan, dan memang — gulungan utama tak ada.
“Ini sabotase,” gumamnya. “Seseorang tidak ingin ini berhasil.” Ia berpaling pada Lintang. “Kita harus percepat pembangunan. Lupakan salinan. Aku akan gambar ulang dari ingatan.”
Dua hari kemudian, menara selesai. Tidak semegah yang ia bayangkan, tapi cukup kuat dan tinggi untuk melihat pergerakan sejauh dua hingga tiga pal mil. Mereka menguji sistem isyarat: kombinasi asap dan bendera warna.
Saat pengujian, Elara memerintahkan dua prajurit di menara dan dua lainnya berjarak di hutan. “Jika pesan sampai dalam waktu sepuluh menit, berarti sistem ini bisa menyelamatkan nyawa,” katanya tegas.
Dan pesan itu sampai… hanya dalam tujuh menit. Elara hampir tak percaya, dan para prajurit bersorak. “Kita baru saja membangun mata dan telinga bagi Majapahit!” katanya bangga.
Di ruang pertemuan, Gajah Mada menatap laporan itu dalam diam. “Aku melihat sendiri,” kata Arya Tunjung yang hadir dalam uji coba. “Sistem itu… ajaib. Tapi nyata.”
Sang Mahapatih akhirnya menoleh ke Elara. “Kau tidak hanya bicara. Kau membuktikan.” Ia mengangguk lambat. “Mulai sekarang, sistem ini akan dibangun di semua perbatasan barat.”
Tapi Hayam Wuruk, yang duduk diam selama rapat, akhirnya bersuara. “Elara, kau sudah membuat sesuatu yang luar biasa. Tapi kau juga membuat musuh… dari dalam istana.”
Elara mengangguk pelan. “Aku tahu, Paduka. Tapi selama aku berguna bagi Majapahit, aku takkan mundur.”
Ketika ia kembali ke paviliunnya malam itu, sebuah surat tanpa nama sudah menunggunya di meja. Hanya satu kalimat tertulis di atasnya: “Yang membawa cahaya, juga menarik bayangan.”
BAB 7 – Bayangan di Balik Singgasana
Pagi itu, Elara duduk termenung memandangi surat misterius itu. “Yang membawa cahaya, juga menarik bayangan…” gumamnya. Kalimat itu tak asing bagi pikirannya yang terbiasa dengan puisi dan metafora. Tapi di sini, itu adalah ancaman.
“Siapa yang mengirim ini, Lintang?” tanyanya saat Rakai Lintang datang membawa sarapan. “Tak ada yang tahu, Gusti,” jawab Lintang. “Penjaga malam bilang, seorang anak kecil meletakkannya di depan pintu, lalu lari ke arah taman belakang.”
Elara berdiri. “Itu berarti pengirimnya tahu cara menyusup ke dalam istana tanpa diketahui. Ini bukan kerja orang sembarangan.” Ia menatap Lintang. “Kita harus cari tahu siapa yang merasa terancam dengan keberadaanku.”
Beberapa hari berikutnya, Elara mengamati lebih saksama setiap wajah di istana. Ia mulai mencatat siapa yang hadir dalam rapat, siapa yang menghindari tatapan, dan siapa yang terlalu sopan untuk jujur.
Dalam sebuah pertemuan kecil di balairung, Gajah Mada menyampaikan kabar bahwa perbatasan timur mulai diganggu oleh kelompok tak dikenal. “Mereka tak membawa panji, tak mengklaim nama kerajaan mana pun. Tapi mereka membakar desa dan mencuri logistik.”
“Kelompok bayangan,” ujar Elara pelan. “Mereka mungkin bukan dari Daha atau kerajaan lain… tapi dari dalam Majapahit sendiri.” Ucapan itu membuat ruangan hening.
“Kau menuduh pengkhianat di antara kita?” Arya Tunjung bertanya tajam.
“Aku tidak menuduh siapa pun,” jawab Elara mantap. “Tapi kita harus waspada. Serangan dari luar bisa diprediksi. Tapi dari dalam... hanya bisa dicegah dengan kejujuran dan pengawasan.”
Setelah pertemuan, Hayam Wuruk memanggil Elara secara pribadi. “Aku percaya padamu, Elara. Tapi kau harus berhati-hati. Banyak bangsawan yang merasa posisi mereka terancam oleh kehadiranmu.”
“Apakah Paduka ingin aku mundur dari tugas ini?” tanya Elara.
Sang raja menatapnya tajam. “Tidak. Aku ingin kau terus maju. Tapi aku juga ingin kau hidup.”
Malam itu, Elara dan Lintang menyusup ke ruang arsip rahasia. Mereka mencari catatan tentang pengiriman logistik dan pasukan. Ternyata, beberapa nama bangsawan muncul berulang kali dalam daftar daerah yang ‘hilang’ dari pemetaan resmi.
“Ini dia…” Lintang berbisik. “Adipati Wreda. Ia menguasai wilayah perbatasan timur. Tapi tidak pernah hadir dalam rapat istana. Semua laporan dikirim melalui perantara.”
“Kita punya arah,” kata Elara. “Kita akan pergi ke sana sendiri. Kita lihat langsung apa yang terjadi.” Ia menggulung peta dan menyelipkannya ke sabuknya.
Sebelum tidur malam itu, Elara membuka kembali surat ancaman. Kini ia menuliskan jawaban di baliknya: “Cahaya tidak takut pada bayangan. Ia justru membuat bayangan itu terlihat.”
BAB 8 – Jejak yang Terhapus
Langit pagi masih kelabu ketika Elara dan Lintang meninggalkan istana lewat gerbang belakang. Mereka menyamar sebagai pedagang tinta dan kain, membawa dua ekor kuda dan perbekalan seperlunya. “Kita menuju timur, ke tanah Adipati Wreda,” ujar Elara pelan.
“Apakah tidak berbahaya, Gusti?” tanya Lintang sambil menatap jalanan sempit yang mulai ditingkahi gerimis. “Segala hal yang layak dikhawatirkan pasti berbahaya,” jawab Elara sambil tersenyum tipis. “Tapi kebenaran lebih penting.”
Dua hari perjalanan membawa mereka ke desa-desa yang tampak murung. Lumbung kosong, ladang terbakar sebagian, dan penduduk tampak takut saat ditanya soal siapa yang memimpin. “Kami tak berani bicara,” ujar seorang lelaki tua. “Pengawal Adipati bisa muncul kapan saja.”
Di salah satu warung kecil, seorang perempuan paruh baya berbisik pada Elara, “Jika kalian bukan mata-mata Adipati… pergilah ke kuil tua di hutan bambu. Di sana, kalian bisa bertemu orang yang tahu lebih banyak.”
Malam itu mereka mendatangi kuil yang dimaksud. Suasana mencekam, hanya suara dedaunan yang berbisik. Seorang pria tua dengan sorban lusuh muncul dari balik pilar batu. “Kalian bukan orang sini. Dan bukan pula utusan Adipati. Siapa kalian?”
Elara membuka tudung kepalanya. “Namaku Elara. Aku datang dari istana. Kami menyelidiki kehancuran desa-desa dan hilangnya logistik. Aku butuh jawaban.”
Pria itu mengamati Elara lama sebelum akhirnya mengangguk. “Namaku Raksa. Aku mantan juru tulis milik Adipati Wreda… sebelum aku menyaksikan sendiri kejahatannya.”
Raksa membawa mereka masuk ke dalam ruang bawah tanah kuil. Di sana ada tumpukan catatan tua dan peta. “Adipati Wreda bekerja sama dengan sekelompok penyelundup laut dari utara. Ia menjual logistik Majapahit untuk emas dan senjata.”
Lintang ternganga. “Jadi ini semua pengkhianatan demi kekayaan?”
“Bukan hanya itu,” kata Raksa gelap. “Ia sedang membangun pasukan bayangan. Prajurit tak resmi, dilatih diam-diam. Aku mendengar rencananya... untuk merebut tahta bila Hayam Wuruk melemah.”
Elara mencatat semua nama, rute penyelundupan, dan tanda tangan palsu yang digunakan. “Ini bukti. Tapi kita tidak bisa bawa langsung ke istana tanpa risiko. Kita butuh saksi dan strategi.”
Saat mereka bersiap untuk kembali, Raksa memegang tangan Elara. “Kau orang aneh. Kau bicara seperti dari masa depan… dan matamu menatap seperti pernah melihat kerajaan jatuh.” Elara hanya tersenyum samar.
Perjalanan kembali mereka tidak semudah sebelumnya. Dua kali mereka dikejar pasukan berpakaian hitam tanpa lambang. “Mereka tahu kita membawa sesuatu,” bisik Elara saat bersembunyi di balik batu.
Di malam terakhir sebelum tiba di istana, Elara berkata pada Lintang, “Ini hanya awal. Tapi aku tahu satu hal: masa depan bisa diubah, selama kebenaran masih punya suara.”
Di kejauhan, sinar obor dari tembok Majapahit mulai tampak. Tapi di hati Elara, ia tahu bahwa bayangan besar baru saja mulai bergerak.
BAB 9 – Di Balik Tirai Kekuasaan
Elara dan Lintang tiba di istana menjelang fajar. Langit belum benar-benar terang saat mereka diterima oleh penjaga gerbang belakang. “Bawa kami langsung ke Mahapatih,” ujar Elara tanpa basa-basi.
Di dalam ruang pribadi Gajah Mada, Elara membentangkan peta, catatan Raksa, dan daftar nama-nama yang terlibat dalam pengkhianatan. Mahapatih membaca dengan mata menyipit. “Adipati Wreda… aku sudah curiga sejak lama, tapi tak pernah memiliki bukti.”
“Bukti ini bisa mengubah segalanya,” kata Elara. “Tapi jika kita terlalu cepat bertindak, mereka akan menyembunyikan jejak. Kita perlu strategi.” Ia menatap Gajah Mada dengan sorot mata serius.
Gajah Mada mengangguk pelan. “Kita butuh saksi. Raksa harus dihadirkan dalam sidang istana.” Elara menggeleng. “Terlalu berbahaya. Biarkan aku yang bicara atas namanya. Aku akan ambil risiko itu.”
Keesokan harinya, sidang istana digelar. Para bangsawan, panglima, dan penasihat berkumpul. Raja Hayam Wuruk duduk di singgasananya, tenang namun penuh wibawa. Elara melangkah maju, membawa gulungan di tangannya.
“Paduka dan para bangsawan,” ucap Elara lantang, “hari ini aku membawa bukti pengkhianatan. Logistik Majapahit dicuri, dijual ke luar negeri, dan pasukan bayangan sedang dibangun untuk menjatuhkan kerajaan ini dari dalam.”
Gumam dan bisik-bisik mulai terdengar. Salah satu bangsawan, Wirabhumi, berdiri. “Apa buktinya? Siapa saksimu? Atau ini hanya ilusi dari orang asing yang belum kita kenal asal-usulnya?”
Elara menatap tajam. “Jika tidak percaya padaku, setidaknya percayalah pada logika dan bukti yang kutunjukkan. Tanda tangan di dokumen ini adalah palsu. Dan barang-barang yang hilang sesuai dengan daftar pemetaan milik istana.”
Seorang panglima, Adikara, menyela, “Aku memimpin perbatasan barat dan tahu bahwa kiriman suplai tak pernah sampai. Jika Elara benar, ini bukan fitnah. Ini peringatan.”
Gajah Mada berdiri. “Aku mendukung penyelidikan lebih lanjut. Dan jika benar Adipati Wreda terlibat, maka hukum Majapahit harus ditegakkan, tak peduli darah biru sekalipun.”
Hayam Wuruk angkat tangan, meredakan kegaduhan. “Kita akan mengirim pasukan rahasia untuk menyelidiki markas Wreda. Jika benar, ia akan diadili.” Ia menatap Elara dalam-dalam. “Tapi jika salah, maka kau akan menanggung akibatnya, Elara.”
Seusai sidang, Elara berjalan di lorong istana saat suara lembut memanggil dari balik tiang. “Gusti Elara… boleh bicara sebentar?” Seorang wanita muda dengan busana bangsawan menyapa, wajahnya anggun namun teduh.
“Siapa namamu?” tanya Elara.
“Namaku Dyah Praba,” jawabnya. “Aku keponakan Wreda… tapi aku tidak setuju dengan tindakannya. Aku bisa bantu—jika kau percaya padaku.”
Elara menatapnya, mencoba membaca niat di balik mata tenang itu. Dunia istana, pikirnya, tak pernah sederhana. Sekutu bisa jadi musuh, dan musuh… bisa saja kunci penyelamatan Majapahit.
BAB 10 – Sekutu dari Dalam
Elara menatap Dyah Praba, mencoba membaca bahasa tubuhnya. “Kau bilang ingin membantu… tapi apa yang membuatku harus percaya padamu?” tanyanya tajam.
Dyah Praba tidak gentar. “Aku melihat pamanku menjebloskan orang-orang tak bersalah ke penjara bawah tanah. Ia memaksa para petani menyerahkan hasil panen, lalu menyalahkan perampok. Aku pernah bicara padanya, dan hampir dibunuh.”
“Apa yang kau ketahui tentang markas rahasianya?” Elara bertanya sambil berjalan menjauh dari lorong, mengajak Dyah ke ruangan lebih aman.
“Di lereng Gunung Penanggungan. Ia membangun semacam benteng tersembunyi di dalam hutan jati. Ada gudang senjata, tempat latihan pasukan, dan tahanan. Aku bisa tunjukkan jalannya.”
Malam itu, Elara memanggil Gajah Mada dan Lintang. “Dyah Praba bisa jadi kunci masuk. Tapi ini berbahaya. Jika jebakan, kita habis.” Gajah Mada menatapnya serius. “Kau yakin bisa mempercayainya?”
Elara mengangguk pelan. “Dia benci pamannya. Dan jika kita diam saja, Wreda akan menghancurkan Majapahit dari dalam.” Mahapatih akhirnya menyetujui rencana itu—dengan syarat satu regu bayangan akan ikut mengintai dari kejauhan.
Tiga malam kemudian, mereka menyelinap keluar dari istana. Dyah memandu mereka melewati jalur rahasia, menembus hutan jati gelap pekat. “Kita hampir sampai,” katanya lirih. Namun suara ranting patah di belakang membuat semuanya membeku.
“Lintang, ke belakang!” perintah Elara. Tapi sudah terlambat—anak panah melesat dan nyaris mengenai Dyah. Dari balik pepohonan, pasukan bertopeng menyerbu.
Pertarungan terjadi. Lintang bertarung dengan trisula pendek, Dyah menarik keris kecil dari balik selendangnya. Elara memanfaatkan senjata kecil dari masa depan—sebuah tongkat listrik mini yang ia sembunyikan di sepatu botnya.
“Mereka tahu kita datang,” teriak Gajah Mada yang muncul bersama pasukan bayangan. “Ini jebakan!” Tapi Elara merespons cepat, “Tidak! Mereka tidak tahu siapa kita. Mereka mengira kita penyusup biasa!”
Setelah mengalahkan pasukan pertama, mereka menyelinap lebih dalam. Dyah menunjukkan pintu rahasia yang tersembunyi di balik akar pohon besar. “Lewat sini. Tapi di dalam… akan lebih berbahaya.”
Mereka masuk ke ruang bawah tanah yang lembab dan gelap. Dari kejauhan terdengar suara rintihan. “Tahanan,” kata Dyah. “Beberapa di antaranya mantan pejabat yang menolak bekerja sama dengan pamanku.”
Elara melihat wajah-wajah kurus dan pucat. Ia menggenggam tangan salah satu tahanan yang gemetar. “Aku berjanji, kalian akan bebas. Tapi kami harus keluar dari sini hidup-hidup lebih dulu.”
Saat mereka mencoba keluar, mereka dikepung dari dua sisi. Dari lorong gelap muncullah Adipati Wreda sendiri, dengan jubah perang dan senyum sinis. “Kukira hanya satu tikus dari istana. Ternyata sekawanan.”
Elara berdiri di depan, menatapnya tanpa gentar. “Kau boleh menguasai hutan, Wreda. Tapi Majapahit tidak akan pernah tunduk pada pengkhianat sepertimu. Bahkan bayangan pun akan tercerai oleh cahaya.”
BAB 11 – Pengkhianatan dan Pertempuran
Adipati Wreda melangkah maju, suara sepatunya menggema di lorong batu. “Aku tahu seorang aneh dari utara akan membawa masalah. Tapi aku tak menyangka, putri masa depan akan jadi musuh utamaku.”
Elara menyipitkan mata. “Kau tahu siapa aku sebenarnya?” Wreda tersenyum miring. “Oh, Elara... banyak mata dan telinga di istana. Bahkan di sekelilingmu. Kau pikir hanya Dyah yang tahu rahasia?”
Dyah Praba terkejut. “Apa maksudmu, Paman?” Wreda menatapnya dingin. “Kau pikir aku biarkan kau berkeliaran tanpa tahu setiap langkahmu? Aku sudah lama tahu kau mulai berpaling.”
Tiba-tiba, dari balik lorong, muncul sosok bersenjata lengkap—panglima Adikara. Wajahnya kelam, matanya penuh luka lama. Elara menatap tak percaya. “Kau… berpihak padanya?”
“Aku lelah tunduk pada kebijakan yang lemah,” geram Adikara. “Majapahit membutuhkan penguasa kuat. Dan Adipati Wreda akan jadi raja berikutnya. Kau hanyalah gangguan dari masa yang tak seharusnya ada.”
Gajah Mada melangkah ke depan, mencabut kerisnya. “Maka aku akan jadi gangguan terakhir yang kau hadapi, Adikara.” Ketegangan memuncak. Tidak ada jalan kembali.
Tanpa aba-aba, pertempuran pecah di dalam lorong sempit. Elara menarik Lintang mundur. “Cari jalan lain! Bebaskan para tahanan!” Lintang mengangguk dan menyelinap ke arah sel lain.
Elara menghadapi dua prajurit bersenjata. Dengan kelincahan hasil latihan modern dan sedikit trik teknologi dari masa depan—ia berhasil menjatuhkan mereka. Namun luka kecil mulai menghiasi lengannya.
Gajah Mada dan Adikara bertarung sengit, dua legenda hidup dengan keahlian yang nyaris seimbang. Setiap serangan dibalas dengan kejam, setiap tebasan mengandung dendam bertahun-tahun.
Sementara itu, Dyah Praba bertarung melawan prajurit pamannya sendiri. “Kau masih bisa kembali!” teriaknya. Tapi lawannya hanya balas menyeringai. “Dan meninggalkan kemewahan yang ditawarkan Wreda? Tidak, terima kasih.”
Teriakan Lintang terdengar dari lorong belakang. “Aku temukan jalan keluar! Tapi kita harus cepat, mereka menutup pintu utama!”
Elara berlari menuju suara Lintang, membawa sekelompok tahanan yang berhasil dibebaskan. “Ke sini!” Ia menunjukkan lubang sempit yang mengarah ke luar benteng—jalur pelarian terakhir.
Saat mereka keluar, Elara menoleh ke belakang. Gajah Mada masih bertarung. Ia ingin kembali, tapi Dyah menarik lengannya. “Percayalah padanya. Kita harus selamat dulu.”
Ledakan kecil terdengar dari dalam—jebakan yang dipasang Elara dengan alat sederhana dari masa depan meledak, menghambat pasukan Wreda mengejar mereka.
Di luar hutan, saat fajar menyingsing, Elara menatap langit merah. “Ini belum berakhir. Tapi kita baru saja membuka mata Majapahit akan pengkhianatan paling kelam. Sekarang saatnya menyalakan api pemberontakan.”
BAB 12 – Api dalam Senyap
Malam turun dengan sunyi yang mencurigakan. Di sebuah rumah pengrajin topeng di pinggiran Trowulan, Elara, Lintang, Dyah Praba, dan para penyintas bersembunyi. “Kita tak bisa bertahan lama di sini,” ujar Lintang, menatap jendela dengan gelisah.
Elara mengangguk. “Kita tak perlu bertahan. Kita akan bergerak.” Ia membuka gulungan peta Majapahit dan menunjukkan titik-titik yang ia tandai merah. “Di tempat-tempat inilah kita tanamkan api.”
“Apa maksudmu?” tanya Dyah. Elara tersenyum tipis. “Kita akan bangun jaringan dalam bayang-bayang. Pengrajin, pedagang, pelaut, bahkan pengemis. Kita buat mereka jadi mata dan telinga kita. Dan pada waktunya, jadi tangan yang menyerang.”
Di tempat lain, Adipati Wreda tengah duduk di ruang rahasia. Di hadapannya berdiri seorang lelaki berjubah gelap. “Cari wanita dari masa depan itu,” ujarnya dingin. “Gunakan siapa pun. Bunuh siapa pun. Aku ingin kepalanya di hadapanku sebelum bulan purnama.”
Kembali ke markas Elara, mereka mulai mengirim pesan rahasia—dalam bentuk ukiran kecil pada anyaman bambu, simbol-simbol pada tenunan kain, dan suara genderang yang hanya dimengerti oleh orang-orang dalam jaringan.
“Ini gila,” kata Lintang sambil menyandarkan diri di dinding. “Kita melawan orang yang punya setengah Majapahit di genggamannya.” Elara menatapnya tajam. “Kita tak butuh setengah kerajaan. Kita hanya butuh harapan dan waktu.”
Satu per satu, orang-orang mulai bergabung. Seorang juru tulis istana, seorang pembuat perahu, bahkan anak kecil yang bekerja sebagai penyampai pesan. Mereka semua punya alasan untuk menumbangkan Wreda.
Suatu malam, seorang mata-mata dari dalam istana datang tergopoh-gopoh, berlumuran darah. “Ada pemberontakan kecil di pelabuhan utara… tapi gagal. Mereka semua ditangkap. Dan mereka menyebut nama Elara sebelum mati.”
“Itu akan mempercepat pengejaran,” gumam Dyah cemas. Elara berdiri. “Justru itu pertanda waktunya hampir tiba. Kita harus percepat rencana.” Ia menatap peta lagi. “Besok malam, kita serang gudang logistik Wreda.”
Serangan itu berlangsung cepat dan mematikan. Elara dan kelompok kecil menyelinap ke dalam gudang, menyabotase persediaan senjata. Api membakar lumbung dan memancing perhatian besar.
Dari atas bukit, Elara melihat kobaran api memantul di langit malam. “Ini akan jadi nyala pertama,” katanya. Tapi sebelum sempat turun, anak panah melesat—Lintang menjerit tertahan.
“Lintang!” Elara berlari menghampirinya. Panah menancap di bahu kiri Lintang. Darah merembes deras. “Kita disergap!” teriak Dyah sambil menarik kerisnya.
Dari balik bayangan, pasukan berseragam hitam menyerbu. Mereka bukan prajurit biasa—ini pasukan rahasia Wreda. Elara mencabut senjata kecil dari ikat pinggangnya. “Lindungi Lintang! Jangan biarkan mereka lolos!”
Pertempuran di bawah cahaya api terasa seperti neraka. Tapi api bukan hanya membakar gudang—ia membakar ketakutan. Untuk pertama kalinya, rakyat sekitar keluar dari rumah, melempar batu, menusuk dari balik pintu.
Saat fajar menyingsing, Elara berdiri di tengah ladang hangus, Lintang terbaring dengan perban kasar di bahunya. “Kita kirim pesan malam ini,” katanya lelah, “bahwa bayangan telah bangkit, dan mereka tak akan berdiam lagi.”
BAB 13 – Darah dan Janji
Malam di Trowulan tak lagi sunyi. Rakyat mulai berbisik tentang “Api Bayangan”—kelompok rahasia yang menyerang pasukan Wreda dan membakar gudang senjata. Elara kini bukan sekadar asing dari masa depan. Ia jadi simbol harapan.
Tapi harapan itu rapuh. Di sebuah rumah persembunyian, Lintang berbaring lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya demam akibat infeksi. Elara duduk di sisinya, memegang tangan lelaki yang diam-diam sudah menjadi bagian dari jiwanya.
“Kau harus bertahan,” bisik Elara. “Kita hampir sampai, Lin. Aku tak akan biarkan kau mati di masa yang bahkan bukan milikmu.”
Tiba-tiba pintu diketuk keras. Dyah Praba masuk, wajahnya panik. “Kita disusupi. Seseorang dari dalam jaringan menjual informasi. Wreda tahu tempat ini. Kita harus pergi. Sekarang!”
Elara berdiri, bingung. “Kalau kita bergerak, Lintang bisa mati.” Dyah menggenggam lengannya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua pasti mati.”
Dalam waktu singkat, mereka kemas barang. Tapi saat hendak keluar dari pintu belakang, seorang pria berjubah merah muncul. “Terlambat,” katanya. “Kalian dikepung.”
Elara mengenal wajahnya. Juru tulis istana yang mereka percaya. “Kau…” Pria itu tertawa kecil. “Aku tak menjualmu, Elara. Aku menyelamatkan diriku. Semua orang punya harga. Kau pun akan tahu nanti.”
Pasukan Wreda masuk dari segala sisi. Panik, Elara menarik Lintang ke bahunya. Mereka melarikan diri melewati lorong rahasia, tapi tembakan panah berdesing. Satu anak panah menembus kaki Dyah Praba.
Mereka akhirnya sampai ke sungai belakang. Dalam keputusasaan, Elara mendorong perahu kecil ke air. “Kita bawa Lintang. Dyah, kau naik dulu—aku akan tahan mereka.” Dyah terdiam. “Tidak. Aku tinggal. Kau harus selamat.”
Elara memeluknya erat. “Jangan jadi pahlawan. Aku butuhmu.” Dyah menggenggam pundaknya. “Dan aku butuh kau hidup, Elara. Bawa api itu sampai istana. Aku akan memadamkan jejak.”
Saat Elara dan Lintang menghilang di kejauhan, Dyah berbalik menghadap pasukan. Ia menarik kerisnya, darah mengucur dari kakinya. “Ayo,” katanya lantang. “Selesaikan ini!”
Di dalam perahu, Elara menangis dalam diam. Lintang mengerang pelan. “Kau... harus teruskan ini. Meski aku tak bisa berdiri lagi.” Elara mencium keningnya. “Kau akan sembuh. Kita akan menang bersama.”
Tapi di hatinya, Elara tahu. Mereka sudah kehilangan terlalu banyak. Kemenangan tidak akan datang tanpa lebih banyak darah. Ia menatap langit malam. “Kalau ini harus menjadi pengorbanan… maka biar aku yang menghitung nyawanya.”
Di kejauhan, asap membumbung dari tempat Dyah berdiri. Tak ada sinyal. Tak ada kabar. Hanya abu dan keheningan. Elara mengepalkan tangan. “Aku bersumpah… pengkhianat dan pembunuh akan diadili. Di masa ini… atau masa depan.”
Dan malam itu, di atas air yang tenang dan langit yang kejam, seorang wanita dari masa depan berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menumbangkan kekuasaan kegelapan, atau mati bersamanya.
BAB 14 – Kudeta di Dalam Gerbang
Matahari belum muncul saat Elara tiba kembali di Trowulan. Kota itu tenang seperti mayat hidup, tapi ia tahu: bara api menyala di bawah permukaan. Pasukan rakyat telah tersebar, menyamar sebagai penjual, pemusik jalanan, bahkan pendeta pura.
“Kita akan serang saat upacara penobatan,” ujar Elara di ruang bawah tanah tua, markas terakhir mereka. “Wreda pikir dia sudah menang. Tapi kita akan runtuhkan tahtanya tepat di depan seluruh Majapahit.”
Lintang, masih lemah tapi tak mau tinggal diam, berdiri di sisi Elara. “Kita tak punya banyak senjata. Tapi kita punya taktik. Dan kepercayaan.” Elara menatapnya, matanya mengandung rasa terima kasih dan cinta yang tak sempat terucap.
Gema genderang terdengar di kejauhan—tanda upacara dimulai. Di alun-alun, Adipati Wreda berdiri di atas panggung megah, mengenakan jubah raja. Di hadapannya, rakyat yang dipaksa datang bersorak palsu. Gajah Mada duduk di sisi, mata tajam menatap kerumunan.
Tapi di antara kerumunan itu, ratusan pasang mata memperhatikan. Semua menunggu isyarat. Seorang pemusik meniup seruling panjang—melodi yang seolah biasa, tapi sebenarnya aba-aba.
Dalam sekejap, ledakan asap meletus dari belakang panggung. Pasukan rakyat menyerbu, meneriakkan kata sandi: "Bayangan bukan lagi bayangan!" Kerumunan kacau. Wreda berdiri dengan panik, berteriak, “Tangkap mereka! Ini pengkhianatan!”
Elara melompat ke atas panggung dengan dua keris di tangan. Di hadapannya, Wreda menarik pedang berlapis emas. “Kau harusnya mati di masa depanmu!” Wreda berteriak. “Kau menghancurkan sejarah!”
“Tidak,” jawab Elara tajam. “Aku menyelamatkan masa lalu dari tirani.” Mereka bertarung di atas panggung, di tengah api dan teriakan. Pertarungan antara dua dunia—kekuatan dan kebenaran.
Di sisi lain, Gajah Mada melempar jubahnya dan berdiri. “Prajurit sejati tidak melindungi penguasa lalim.” Ia mengangkat senjatanya dan memimpin serangan ke arah pengawal Wreda.
Lintang dan Dyah (yang ternyata selamat dan memalsukan kematiannya) muncul dari sisi timur alun-alun, membawa panji Api Bayangan. “Hari ini,” teriak Dyah, “kita rebut kembali Majapahit!”
Pasukan Wreda mulai goyah. Beberapa prajurit berbalik melawan komandannya sendiri. Rakyat bergabung, melempar batu dan senjata seadanya. Majapahit, yang selama ini diam, kini meraung.
Elara menebas pedang emas Wreda. Pria itu jatuh bersimpuh, darah di bibirnya. “Sejarah... akan melupakanmu,” katanya dengan napas tersengal. Elara berlutut di depannya. “Justru karena itu, aku melawan.”
Dengan pukulan terakhir, Wreda roboh. Teriakan kemenangan menggema. Tapi Elara tidak bersorak. Ia hanya berdiri di tengah panggung yang hangus, matanya menerawang pada api, pada pengorbanan, pada janji-janji yang ditepati dengan darah.
Gajah Mada mendekatinya. “Kau tak dari zaman ini. Tapi kau mengubahnya lebih dari siapa pun. Kau membuat Majapahit mengingat harga dari ketidakadilan.”
Elara menatap langit pagi yang perlahan cerah. “Ini belum akhir. Tapi hari ini… Majapahit punya masa depan. Dan aku, akhirnya… punya tempatku.”
BAB 15 – Pulang ke Mana
Tiga hari telah berlalu sejak kudeta. Langit Trowulan cerah, tapi tanahnya masih hangat oleh darah. Api Bayangan telah menang. Wreda tewas. Para pengikutnya menyerah. Tapi kemenangan bukan tanpa luka.
Di balairung istana yang mulai diperbaiki, Elara duduk di dekat jendela batu, menatap taman yang dulu hancur dan kini sedang ditanami kembali oleh rakyat. Ia memegang sebuah ukiran kecil dari kayu: simbol jaringan mereka. Api yang abadi.
Lintang duduk di sebelahnya, lengan kirinya masih dibebat. “Kau pendiam akhir-akhir ini,” katanya lembut. Elara menghela napas. “Karena aku tahu waktuku di sini terbatas.”
“Maksudmu... kembali ke masa depan?” tanya Lintang, menahan sesuatu dalam suaranya. Elara menatapnya dalam. “Aku tak tahu bagaimana caranya. Tapi aku bisa merasakannya. Dunia itu memanggilku kembali.”
Dyah Praba masuk, membawa pesan dari Gajah Mada. “Majelis Agung telah berkumpul. Mereka ingin menjadikanmu penasehat kerajaan, Elara. Dengan gelar kehormatan.” Elara tersenyum samar. “Aku bukan bagian dari sejarah ini.”
“Justru karena itu,” kata Dyah dengan lembut, “kau bisa menjaga agar sejarah tak terulang.”
Malam itu, Elara berjalan sendirian ke halaman pura yang remuk oleh waktu. Ia membawa perangkat kecil dari masa depan—jam digital yang sudah lama rusak. Tapi malam itu, angka di layar menyala kembali.
20:25. Tanggal berkedip. Di langit, cahaya aneh muncul, membentuk pusaran tak wajar. Elara berdiri terpaku, hatinya berdebar. “Waktu memanggilku pulang.”
Tapi langkahnya tertahan. Dari balik bayangan, Lintang muncul. “Kalau kau pergi... dunia ini akan kehilangan cahaya paling jernih yang pernah singgah.” Elara menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku... juga kehilangan rumahku saat datang ke sini. Tapi kalian memberiku yang baru.”
“Lalu, apa yang akan kau pilih?” bisik Lintang. Elara mendekat, menggenggam tangannya. “Aku bisa kembali dan hidup seperti dulu. Atau tetap di sini dan membangun sesuatu yang tak pernah ditulis dalam buku sejarah.”
Cahaya langit semakin terang. Angka jam mulai mundur. Detik-detik terakhir. Elara menoleh padanya. “Kalau aku tinggal… aku akan jadi bagian dari sejarah yang kau pertaruhkan nyawamu untuk ciptakan.”
Tiba-tiba, layar jam berhenti. Tidak padam, tidak hilang. Hanya... berhenti. Seolah waktu memberinya pilihan. Elara menatapnya lalu tersenyum. “Mungkin... masa depan bisa menunggu.”
Cahaya perlahan memudar. Tak ada pusaran. Tak ada ledakan. Hanya angin yang tenang dan malam yang kembali biasa. Di kejauhan, ayam jantan berseru pelan. Elara menatap langit. Ia memilih. Ia tinggal.
Di tahun 2025, di sebuah museum kecil, seorang peneliti muda menemukan jam digital tua yang tak pernah padam, dengan angka yang berhenti di "20:25". Ia tak tahu artinya. Tapi di sebelahnya, tertulis satu kalimat: "Ia tinggal demi harapan yang belum ditulis."
Dan di Majapahit, Elara berjalan di antara rakyat, bukan sebagai pengunjung waktu, tapi sebagai bagian dari tanah itu. Ia bukan lagi bayangan masa depan—ia adalah terang masa lalu. Dan Majapahit, untuk pertama kalinya, benar-benar bangkit.
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar